"Kalau saya tetap diusung di Pilgub DKI, itu sudah takdir Tuhan"
Demikianlah pernyataan Tri Rismaharini menjelang bursa cagub DKI beberapa bulan yang lalu. Kalimat itu keluar setelah beberapa kali penolakannya untuk maju pilgub, hingga kemudian muncul kalimat "Takdir Tuhan". Entah firasat apa yang hinggap di benak Risma ketika ia berani dengan lantang menolak tawaran Mega untuk maju dalam Pilgub DKI kecuali apabila sudah "ditakdirkan Tuhan". Megawati tampaknya memahami ucapan Risma itu walaupun kenyataannya masih misterius. Kini siapa sangka lambat laun misteri kalimat itu mulai terungkap dan bisa menjadi petunjuk atas apa yang akan terjadi ke depannya. Berikut penjelasannya.
“Peperangan” Pilgub DKI
Suasana Pilgub DKI begitu panas karena menjadi pertarungan politik tiga kekuatan utama di Republik ini : PDIP (Megawati) vs Gerindra (Prabowo) vs Demokrat (SBY). DKI Jakarta merupakan “benteng” terakhir yang harus dikuasai sebelum melangkah ke tingkat nasional. Oleh karena itu tidak aneh apabila ketiga kelompok mengeluarkan “amunisi”-nya yang terakhir. SBY mengajukan anaknya sendiri Agus Harimurti Yudhoyono (yang seringkali disingkat menjadi AHY agar seperti bapaknya). PDIP mengajukan Ahok, dan Gerindra mengajukan Anies-Sandiaga Uno
. Dari ketiganya, mungkin hanya Gerindra yang tampak kurang serius dalam mengeluarkan amunisi terakhirnya. Kemungkinannya hanya dua : Pertama memang tidak punya amunisi yang berharga, kedua skenario utama mereka untuk merancang pertarungan head-to-head melawan Ahok hancur karena Demokrat mengusung AHY. Lalu bagaimana dengan PDIP ?
Ahok tentunya adalah amunisi yang sangat berharga. Walau demikian kasus “Al Maidah 51” merusak jalan mulus Ahok menuju kursi DKI 1. Dua kelompok rival Ahok sangat memanfaatkan momentum ini untuk menghambat naiknya Ahok. Perhatikanlah bagaimana Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan kelompok pengajian SBY ikut serta meramaikan demo 4 November yang lalu. Terlalu jelas upaya “penunggangan” dalam aksi umat Islam yang damai itu, walaupun tentunya masih ada hal-hal yang belum terungkap sepenuhnya seperti pendanaan aksi dan sebagainya.
Aksi demo 4 november tidak bisa dipungkiri turut menggerus dukungan terhadap Ahok. Tapi bukan berarti lawannya akan menang dengan mudah. Mari hiraukan survey LSI yang menyebutkan dukungan terhadap Ahok jatuh hingga tinggal 10%. Rasa-rasanya tidak mungkin ada penurunan suara petahana sedrastis itu. Saya lebih percaya survey indikator yang menyebutkan suara AHY berhasil menyusul Ahok,
sedangkan Anies masih di posisi terbawah. Masyarakat tampaknya lebih “mencari aman” dengan memilih Agus yang rupawan, muslim dan memiliki wakil birokrat berpengalaman daripada Anies-Sandi yang belum terbukti kualitasnya. Walau demikian, angka mereka yang belum menentukan pilihan ternyata masih sangat tinggi. Besar kemungkinan mereka masih menunggu perkembangan status hukum Ahok atau perkembangan politik terbaru. Dalam masa beberapa bulan ke depan masih ada kemungkinan-kemungkinan yang tidak terduga.
Munculnya Risma
PDIP tentunya tidak akan tinggal diam menghadapi situasi yang “kurang menguntungkan” ini. Pertaruhan DKI terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja tanpa perlawanan. Saat ini satu strategi ala Megawati tengah dijalankan, yaitu “wait and see”. PDIP menunggu saat yang tepat untuk mengeluarkan pelurunya sambil menunggu musuh lengah. PDIP jelas mengetahui bahwa membela Ahok secara terang-terangan sekarang ini akan kontra produktif, bisa-bisa PDIP dituduh “musuh Islam”. Oleh karena itu PDIP akan menunggu energi musuh berkurang, salah satunya lewat demo tanggal 2 Desember nanti. Entah apa yang akan terjadi pada tanggal itu, yang pasti seluruh alternatif sudah sangat diperhitungkan oleh PDIP.
Sesuai janji Presiden bahwa pemerintah tidak akan mengintervensi kasus Ahok, besar kemungkinan Ahok akan menjalani persidangan dan menjadi terpidana (walau mungkin hukumannya tidak lama). Sesuai undang-undang yang berlaku, kepala daerah yang berstatus terpidana otomatis diberhentikan dan wakilnya akan maju. Dalam hal ini, Djarot akan naik menjadi Gubernur dan berhak memilih wakil yang akan mendampinginya. Satu hal yang bisa dilakukan PDIP untuk tetap memuluskan kemenangan pilgub DKI adalah dengan mengajukan “amunisi terakhirnya”-nya, yaitu Tri Rismaharini untuk menjadi wakil gubernur bagi Djarot apabila Ahok dipidana.
PDIP harus bisa meyakinkan masyarakat yang belum menentukan pilihan bahwa pasangan Djarot – Risma merupakan solusi terbaik untuk Jakarta. Pertama, mereka berdua adalah birokrat berpengalaman, Djarot bekas Bupati Blitar dan Risma bekas Walikota Surabaya. Kedua, memilih mereka tidak akan melanggar Al Maidah 51. Ketiga, mereka bisa menjalin hubungan baik dengan Jokowi serta menjalankan pembangunan Jakarta sesuai “rel” yang telah berlangsung, menghindari pembangunan yang mangkrak dan terjadinya begal anggaran. Masyarakat tampaknya tidak terlalu mempermasalahkan posisi Risma yang menjadi "wakil" bagi Djarot karena mengetahui pada akhirnya mereka berdua akan berjalan beriringan.
Apabila strategi PDIP berhasil, bukan tidak mungkin ramalan Risma yang menyebutkan bahwa ia akan ke Jakarta “apabila ditakdirkan Tuhan” akan terjadi. Bahkan dalam satu kesempatan RIsma pernah mengatakan "Bila perubahan itu terjadi, yang menurunkan perubahan itu adalah Tuhan dan sudah bukan ranah manusia lagi". Untuk itu, mari kita menunggu perkembangan dan perubahan yang terjadi beberapa bulan ke depan. Yang pasti, rakyat Jakarta layak mendapatkan pemimpin yang terbaik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H