Tentu saja caranya dengan menguasai ibu kota. Benar sekali jika Aidit pernah bilang “Jawa adalah Kunci”. Untuk menguasai Indonesia, yang perlu dilakukan hanyalah menguasai Jawa khususnya Jakarta. Langkahnya antara lain dengan mengerahkan massa “perusuh” serta ditambah dukungan militer. Pengerahan massa bukanlah hal yang sulit. Terbukti dengan keberhasilan beberapa kali pengerahan massa (yang secara diam-diam) diorganisir Gerindra. Misalnya demo-demo buruh yang diadakan KSPI, demo anti komunis FPI, hingga demo anti Ahok yang terakhir. Tidak perlu berpikir keras untuk bisa membaca hal tersebut. Jokowi paham soal itu, sehingga ia melepas Sutiyoso yang dianggapnya tidak bisa mengendalikan FPI padahal keberadaan FPI tidak terlepas dari pengaruh Bang Yos.
Jangan aneh apabila buruh yang demo seragamnya itu-itu saja, atau kenapa buruh bodetabek ikut demo urusan UMR Jakarta atau menolak Tax Amnesty... Pokoknya jangan aneh...Show Off massa ini tujuannya tidak lain untuk merongrong pemerintah dan menghambat kemajuan pembangunan. Bagaimanapun, keberhasilan pemerintah adalah acaman terbesar bagi oposisi.
Penguasaan ibu kota seperti yang pernah terjadi beberapa kali dalam sejarah, dilakukan dengan cara menjalankan kerusuhan. Kita sudah mahfum bahwa mustahil sebuah kerusuhan terjadi tanpa pihak-pihak yang "mengorganisir" dan "mengizinkan" peristiwa tersebut. Untuk mendukung suasana itu, dimunculkanlah isu-isu pemantik kerusuhan seperti sentimen SARA, Kebangkitan PKI, dan nasib buruh. Apabila kita mau teliti sedikit, maka semua isu tersebut tampaknya sengaja diangkat oleh "orang-orang Prabowo". Isu-isu SARA dihembuskan oleh PKS-FPI-Amin Rais Dkk, isu PKI dihembuskan Kivlan Zein, dan gerakan buruh diorganisir Said Iqbal. Semua itu terlalu telanjang untuk dilihat.
Setelah skenario mengusung “RK” dan “Risma” kandas, Prabowo cukup frustasi karena ia tahu tidak ada yang bisa mengalahkan elektabilitas Ahok. Yusril terlalu tua dan tidak populer di kalangan pemilih muda. Sandiaga Uno terlalu hijau dan kurang “menjual”. Sjafrie Sjamsoeddin kurang “menjual” juga. Ah sudahlah terpaksa pilihan jatuh pada Anies Baswedan yang kebetulan baru dilepas dari kabinet. Diharapkan Anies bisa menarik simpati anak muda dan sebagian pendukung Jokowi.
Selain itu sepertinya Anies bisa “dikondisikan” tidak seperti Ahok. Skenario Gerindra untuk "menggoyang" Jakarta sepertinya bisa berjalan mulus dengan naiknya Anies. Untungnya SBY tidak menyetujui skenario tersebut sehingga ia mengusung calon sendiri yang tidak lain adalah putranya. Pemerintah mendukung langkah tersebut dengan mengerahkan partai-partai pendukung pemerintah untuk merapat ke SBY. Bagaimapun Agus yang memiliki latar belakang militer ditambah sokongan politik dianggap lebih kompeten untuk "menjaga" Jakarta apabila Ahok gagal terpilih.
So, urusan Pilgub Jakarta ini sangat serius karena menyangkut nasib kehidupan bernegara. Entah apa yang akan terjadi apabila kursi gubernur dipegang oleh kelompok oposisi. Apakah program-program pemerintah pusat akan dihambat, atau bisa jadi perebutan kekuasaan secara “tidak konstitusional” akan terjadi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H