Mohon tunggu...
Sint Jan
Sint Jan Mohon Tunggu... -

Seorang Pengamat Biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Jokowi Harus Dijatuhkan

11 November 2015   15:59 Diperbarui: 17 November 2015   11:42 107055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: PelitaOnline"][/caption]“Dalam setahun masa kekuasaan Jokowi ini, hidup masyarakat semakin susah,” ujar Fadli Zon. Pernyataan wakil ketua DPR itu sangat benar terjadi di masa Jokowi. Namun tentunya akan sangat berbahaya sekali apabila kita men-generalisir pernyataan tersebut berlaku pada seluruh masyarakat Indonesia. Pastinya, selama satu tahun pemerintahan Jokowi ada pihak-pihak yang dikecewakan dan terganggu pendapatannya. Itulah sebabnya Jokowi harus segera dilengserkan.

Seperti diketahui, tidak banyak yang bisa dilakukan Jokowi, seorang Presiden yang tidak memiliki posisi strategis dalam partai maupun kekuatan finansial yang mumpuni, dalam satu tahun pemerintahannya. Banyak intrik dan kegaduhan politik diciptakan untuk menguji kekuatan Jokowi, yang terbukti bisa diselesaikan Jokowi walaupun menghabiskan energi yang tidak sedikit.

[caption caption=""Korban" Jokowi - Nelayan yang tangkapannya berlimpah"]

[/caption]

Pemerintah yang Mengecewakan

Pemerintahan Jokowi memang mengecewakan, terutama bagi beberapa pihak berikut. Pertama tentunya adalah para oposisi dan haters, yang memang tidak punya alasan logis untuk menjelaskan ketidaksukaannya. Prinsip mereka adalah “Jokowi selalu salah, kalau Jokowi benar, segera cari kesalahannya...”. Mudah sekali untuk menemukan tokoh-tokoh haters terutama di media sosial, orang-orang seperti Jonru, Paonganan, Ratna Sarupmpaet, Nanik S. Deyang Dll. adalah orang2 pertama yang bersorak apabila satu kesalahan kecil saja dilakukan Jokowi, dan langsung memalingkan muka apabila Jokowi menghasilkan prestasi.

Tapi tidak apa. Haters tidak bisa dipungkiri keberadaannya dalam negara demokrasi. Hanya di negara demokrasi semu saja, seperti Turki misalnya, haters atau oposisi harus dibungkam “dengan cara apapun”. Beberapa haters toh hanya mengail di air keruh. Jonru atau Situs2 media abal-abal atau berbau "Islam" seperti posmetro, nbcindonesia, piyungan, arrahmah, voa-islam dll. hanya berharap keuntungan dari semangat haters yang menggebu-gebu. Perhatikanlah betapa banyakna iklan-iklan di situs tersebut. Semakin banyak haters yang mengamini mereka semakin besar profit yang didapat. Entah ajaran agama apa yang mereka anut, tapi pastinya agama itu menghalalkan fitnah untuk mencari uang.

"Haters biasanya sering menuntut Jokowi untuk segera menyelesaikan janji-janji kampanyenya, di saat bersamaan mereka selalu mengganggu dan tidak mengakui pekerjaan yang sedang dilakukan Jokowi"

[caption caption="Persahabatan antara Erdogan - Jokowi mengguncang iman haters, sehingga perlu dibuat tafsiran-tafsiran yang konyol"]

[/caption]

Pihak kedua yang dikecewakan Jokowi adalah partai pengusungnya. Sejak mendeklarasikan diri sebagai pengusung Jokowi dalam Pilpres, partai-partai KIH memiliki harapan tinggi terhadap Jokowi, yaitu sama dengan perkiraan banyak orang, bahwa Jokowi akan mudah disetir. Harapan itu lambat laun sirna sejak Jokowi tidak menempatkan satupun ketua parpol dalam kabinetnya. Selanjutnya, harapan PDIP untuk bisa menjadikan Budi Gunawan sebagai Kapolri-pun kandas, dikalahkan permainan cantik Jokowi. Jokowi sadar bahwa di Indonesia, ada tiga kekuatan utama yang tidak boleh jatuh ke tangan partai. Mereka adalah TNI, KPK, dan Polri. Jaksa tidak terlalu penting karena terbukti selama ini penangkapan jaksa-jaksa nakal oleh KPK tidak menimbulkan kegaduhan. Tapi coba saja petinggi Polri atau TNI dicokok KPK, langsung ribut negeri ini. Demi mencegah masuknya pengaruh PDIP ke Polri, Jokowi memang mengakomodir Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri. Tujuannya tentu saja “test the water”, memunculkan penolakan dari publik dan blunder dari pihak Budi Gunawan. Dengan alasan penolakan publik itulah, Jokowi memiliki alasan kuat untuk mengajukan calon lain yang lebih kredibel sebagai Kapolri. Para pendukung Budi Gunawan – terutama legislatif – harus kecewa karena artinya Polri bebas dari pengaruh parpol. Lalu bagaimana dengan kriminalisasi AS dan BW ? Kedua tokoh itu memang disinyalir tidak netral. Lihat saja bagaimana praktik petral yang jelas-jelas merugikan negara dan menjadi sumber bancakan pejabat selama puluhan tahun tidak tersentuh oleh mereka, sedangkan oleh Jokowi Petral bisa dibubarkan dengan mudah.

Kekecewaan selanjutnya yang dialami parpol pendukung adalah ketidakmampuan Jokowi untuk melindungi mereka dari jeratan hukum. Siapa bisa bilang KPK dilemahkan Jokowi ketika anggota DPR dari PDIP, HANURA, dan NASDEM berhasil dicokok KPK. Tidak main-main, yang ditangkap KPK adalah pentolan alias setingkat sekjen partai. Baru-baru ini malah pimpinan PKB dipanggil KPK. Sungguh satu kekecewaan bahwa Jokowi tidak bisa mengeluarkan pengaruhnya untuk mencegah penangkapan tokoh-tokoh parpol KIH.

Kekecewaan lain dialami oleh pecahan PPP dan Golkar, yang berharap Jokowi menggunakan “kekuasaannya” untuk segera melegalkan mereka, namun yang terjadi Jokowi malah menggantungkannya dan menyerahkan segalanya ke meja pengadilan. Jokowi tentunya lebih memilih untuk didukung partai-partai yang solid seperti PAN, daripada “pecahan” partai yang belum tentu bisa dipegang komitmennya. Dalam prinsip peperangan jaman dahulu, seorang pengkhianat biasanya memang tidak akan dipercaya lagi sepanjang hidupnya, karena kapanpun mereka bisa berbalik mengkhianati majikannya.

Selanjutnya kekecewaan partai-partai terhadap Jokowi adalah “pelit-nya” pemerintah menjadikan BUMN sebagai ATM partai-partai. Seperti diketahui, KIH dan KMP kompak menuntut menteri Rini mundur karena sulit sekali menembus BUMN selama Rini masih memegang kendali. Jokowi memberi sedikit angin segar dengan menempatkan orang parpol dan relawan sebagai komisaris BUMN, tapi selagi Rini berkuasa jangan harap bisa dilakukan penyelewengan terhadap BUMN. Alhasil, seperti kita lihat, parpol-parpol yang kasnya seret karena selama ini menggantungkan nasib dari “setoran” BUMN berteriak-teriak meminta reshuffle kabinet alias mengganti Rini dengan orang yang lebih “lunak”. Semoga saja Jokowi tidak bergeming karenanya.

 [caption caption="Jokowi menuangkan air untuk Gubernur... Pencitraan ?"]

[/caption]

Indonesia Hancur Kalau Dipimpin Jokowi

Kalimat yang konon diucapkan Jusuf Kalla itu menjadi kalimat sakti yang sangat diagung-agungkan kalangan oposisi dan haters, melebihi ayat Al Quran sekalipun. Semua ayat Al Qur’an maupun Sunnah yang mewajibkan berbaik sangka menjauhi fitnah seakan-akan tidak berlaku lagi lewat “sabda” Jusuf Kalla tersebut. Memang bagi Haters, lebih baik Indonesia hancur daripada dipimpin Jokowi. Bagi mereka, harga diri mereka yang tercoreng lewat kemenangan Jokowi lebih penting daripada kemajuan dan keberlangsungan hidup Republik Indonesia.

Tapi anggaplah ucapan Jusuf Kalla itu betul, Indonesia akan hancur apabila dipimpin oleh Jokowi, maka bagi kalangan orang beriman, tentunya harus disikapi dengan baik sangka terlebih dahulu. Apabila yang dimaksud JK adalah kehancuran tatanan kehidupan Indonesia yang selama ini dikuasai mafia, maka JK tampaknya benar.

Bukan tanpa alasan rakyat Nusantara jaman dahulu mengangungkan Dewa Siwa, sang Dewa Kehancuran, karena mereka percaya setelah kehancuran akan muncul kehidupan yang lebih baik. Begitu juga dengan keadaaan negeri ini, yang setelah berpuluh tahun berada dalam zona kenyamanan nan koruptif, kini seakan terguncang arus perubahan. Selama zaman Soeharto, rakyat dibuat terlena dengan harga-harga yang murah walaupun kesejahteraan sangat sulit untuk dicapai. Kekayaan, bagi Soeharto, hanya berhak dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat negeri ini, terutama yang memiliki akses dengan kekuasaan. Di jaman Soeharto, Jangan harap buruh bisa memperjuangkan kenaikan gaji sesering sekarang atau menghina Presiden sesuka hati. Perbedaan utama antara Jokowi dan Soeharto adalah orientasi pembangunan. Apabila Soeharto berjiwa Jawa Sentris, Jokowi berjiwa Nusantara Sentris. Jokowi berusaha menstabilkan harga dan supply barang di seluruh pelosok Nusantara melalui pembangunan infrastruktur. Efeknya tentu saja kenaikan harga, karena sebagai contoh, apabila asumsinya produksi beras tetap sedangkan harga beras di Papua bisa dikurangi, maka tentu saja permintaan beras di Papua akan meningkat. Efeknya, stok beras di Jawa akan berkurang dan harganya akan naik. Begitu pula dengan stok barang yang lainnya. Oleh karena itu peningkatan produksi pertanian menjadi kewajiban yang terelakkan dari pemerintah.

Setahun pemerintahan Jokowi pastinya sangat mengecewakan para Mafia yang selama ini menikmati sistem yang korup. Langkah Jokowi untuk melawan mafia tentu saja akan mendapat perlawanan. Contohnya, ketika Jokowi memberi kewenangan kepada Bulog untuk mengimpor sapi, para mafia impor langsung menimbun stok untuk menyebabkan kelangkaan daging sapi di pasaran. Selanjutnya, tekanan Jokowi terhadap Freeport langsung disikapi dengan munculnya isu penggunaan konsultan lobi politik. Satu terobosan terpenting, pembubaran Petral dalam hal ini dipastikan akan menimbulkan keributan karena banyak pihak yang berkepentingan di dalamnya. Dalam kasus asap, terlihat jelas upaya mafia hutapn untuk memaksimalkan kerusakan di awal pemerintahan Jokowi. Mereka mempercayai prinsip “paling mudah menebang pohon ketika pohon itu baru tumbuh” – waktu sekarang ini adalah paling tepat untuk membakar hutan karena mereka yakin ketika pemerintah sudah lebih kuat pada tahun-tahun berikutnya, akan sangat sulit untuk melakukan hal itu. Berbeda dengan zaman SBY ketika pembakaran hutan bisa dilakukan rutin setiap tahunnya. Di bidang kelautan, kerugian mafia sudah tidak perlu dijelaskan lagi. Penenggelaman kapal-kapal asing sudah tentu menghasilkan kerugian yang tidak sedikit bagi para mafia ikan. Terbukti lewat kosongnya cold storage di Philipina, Malaysia, dan Thailand.

Adalah sangat mustahil mafia yang bisnisnya terganggu akan tetap diam. Bagi mafia-mafia yang kehilangan penghasilan jutaan dolar berkat “keusilan” Jokowi, tentu saja bagi mereka akan lebih baik jika Jokowi dijatuhkan atau minimal dirusak kredibilitasnya. Adalah sangat mudah bagi mereka mengeluarkan uang ratusan hingga ribuan dolar untuk membuat isu-isu miring yang bisa merusak nama baik Jokowi. Isu rekayasa suku Anak Dalam, penggunaan konsultan lobi, dll. adalah sebagian dari isu yang dihembuskan barisan sakit hati, yang dengan mudahnya disebarluaskan kelompok haters. Sedikit banyaknya tentu saja energi pemerintah terkuras untuk menanggapi isu-isu miring tersebut sehingga Kapolri mengeluarkan surat edaran hate speech untuk membendungnya.

[caption caption="Perlu bayar berapa Obama untuk berjumpa Jokowi ?"]

[/caption]

Penutup

Apakah Jokowi akan jatuh ? Bagi saya hal itu bisa saja terjadi tapi artinya negara ini telah kalah dalam peperangan melawan para mafia. Masa kegelapan akan dialami lagi untuk masa yang entah sampai kapan berlangsungnya.  Di sisi lain, Jokowi tidak punya beban untuk mundur dari posisinya sebagai Presiden. Toh ia naik tanpa mengeluarkan banyak modal selain niat memperbaiki negeri ini, selain itu dalam sejarah ia sudah tercatat sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia. Kalau sekiranya Jokowi merasa perannya sudah tidak dibutuhkan lagi oleh rakyat Indonesia, ia bisa mundur kapan saja dengan pikiran "nothing to loose". Tapi sekali lagi, pembangunan bangsa ini akan mundur apabila pemerintahan berhenti di tengah jalan.

Akhirul kalam, Jokowi hanyalah manusia biasa yang pastinya memiliki banyak kekurangan. Jokowi juga bukan Dewa yang bisa mengabulkan seluruh janji kampanyenya dalam waktu singkat. Negeri sudah sangat parah keadaannya  ibarat seorang yang terkena penyakit kanker, untuk bisa sembuh kembali, perlu dijalani serangkaian proses yang pahit seperti "kemoterapi" untuk membunuh sel-sel kanker yang ganas. Beberapa kebijakan Jokowi juga dirasakan pahit, tapi semua itu dilakukan untuk menyembuhkan sakitnya negeri ini.

Di balik seluruh pekerjaan pemerintah tentulah terdapat banyak kekurangan yang harus dikritisi, misalnya berkaitan dengan penandatanganan perpres, tempat kelahiran Soekarno, wacana pencabutan subsidi listrik dan lain-lain. Jokowi juga punya kelemahan dalam segi komunikasi, misalnya saat menghadiri beberapa event internasional, Jokowi cukup pede mengandalkan bahasa Inggrisnya yang pas-pasan. Semua itu setidaknya membuktikan jika tidak ada setingan yang dilakukan dalam acara. Seperti diketahui, pada masa Presiden2 sebelumnya, acara sudah dirancang sedemikian rupa mencakup siapa yang akan bertanya, apa pertanyaannya, hingga jawabannya. Untuk menyikapinya tentu saja kembali kepada diri kita sendiri, apakah kita akan menertawakan kelemahan Jokowi yang berarti menertawakan bangsa sendiri, atau bangga atas berbagai kelemahan dan kelebihan yang dimiliki pemimpin bangsa ini.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun