"Janjinya hidup makmur di negeri orang, Ini malah jadi budak di negeri sendiri".
Penggalan dialog di film Cross the Line ini cukup menggambarkan bagaimana peliknya kehidupan bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tidak mudah bagi mereka untuk menjalani hidup, setidaknya mereka perlu berjuang lebih keras untuk bisa menjalani hidup dengan baik.
Cross the Line merupakan film garapan Roby Ertanto. Film ini dibintangi oleh Shenina Cinnamon dan Chicco Kurniawan. Film produksi KlikFilm Productions bersama Canary Studio dan Summerland ini sukses mendapat sambutan baik setelah penayangan perdananya dalam Festival Jakarta World Cinema Week pada 25 Oktober 2022.
Film ini mengangkat tema yang jarang disentuh oleh para senias lain. Mengambil latar belakang pelabuhan, dermaga, dan kapal bisa dikatakan film ini adalah film langka karena tak banyak film indonesia yang mengangkat latar belakang dunia perkapalan.
Film ini menceritakan sepasang kekasih yang hidup dalam kemiskinan. Mereka mencoba peruntungan mereka sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Singapura untuk memperbaiki kehidupan mereka menjadi lebih baik. Alih-alih bekerja di Singapura, Maya (Shenina Cinnamon) dan Haris (Chicco Kurniawan) justru terjebak di pelabuhan. Hal ini membuat mereka harus dihadapkan dengan berbagai masalah yang begitu pelik yang mempengaruhi hubungan mereka.
Tak hanya menyoroti perjuangan cinta Maya dan Haris, film ini juga menampilkan bagaimana realitas sosial dan sisi gelap kehidupan orang-orang yang bekerja di kapal. Bagaimana para buruh kapal harus bekerja dengan gaji yang tidak sesuai, fasilitas kerja yang tidak layak dan korup, hingga para pekerja yang rentan menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual.
Realitas sosial dalam film ini dikemas dengan begitu apik. Roby Ertanto sebagai sutradara mencoba menceritakan kisah Haris dan Maya dari sudut pandang yang realistis. Penonton diajak untuk melihat bagaimana gelap dan kejamnya dunia pelabuhan. Roby menggambarkan itu dengan tidak melebih-lebihkan, semua terlihat apa adanya.
Film ini juga memperlihatkan kompleksitas masalah yang jauh lebih pelik. Sisi gelap dunia perkapalan digambarkan secara gamblang. Salah satu yang menjadi sorotan adalah bagaimana penggambaran perdagangan manusia di perkapalan yang mana boleh jadi itu sesuai dengan realita di lapangan.
Nuansa suram dan suasana gelap serta banyak pesan tersirat turut menyelimuti film ini. Kritik dan pesan itu tak hanya ditampilkan dalam bentuk dialog semata. Pesan-pesan itu disampaikan secara tersirat melalui bagaimana cara pengambilan gambar, set, warna, musik, peran yang dimainkan hingga kerja-kerja artistik lainnya.
Film ini hanya berdurasi 70 menit. Meskipun berdurasi singkat, film ini mampu menampilkan cerita yang padat dengan premis yang berat. Salah satu film yang layak untuk ditonton, yang dapat membuka pikiran kita mengenai peliknya kehidupan kapal.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H