Malam yang sunyi, kuhempaskan tubuhku ke atas kasur kesayanganku. Rasanya lelah sekali hari ini harus menyelesaikan tugas yang bukan milikku. Tapi rasanya aku tak tega jika melihat sahabat terbaikku mendapatkan kesulitan, apalagi setelah tadi ia dimarahi oleh guru karena tugasnya belum selesai. Entah apa yang terjadi, ia tidak mau memberi tahukan alasan mengapa tidak biasanya tugasnya belum selesai. Aku dan Rana pun juga masih tak diberitahunya meskipun kami telah membantunya menyelesaikan tugasnya sampai malam begini.
“Tumben baru pulang selarut ini. Apa sih tugasmu?” tanya kakakku yang tiba-tiba masuk ke kamarku.
“Tugasnya Indi, kak. Padahal itu tugasnya 3 hari yang lalu dan tidak terlalu sulit, hanya disuruh buat makalah tentang futsal saja. Bahkan dia sama sekali belum mengerjakannya. Entah apa yang terjadi dia tidak mau bercerita,” jelasku panjang lebar. Aku memang selalu nyaman jika meluapkan isi hatiku pada kakak perempuanku satu-satunya itu.
“Mungkin memang ada sesuatu. Tunggulah sampai dia mau berbicara pada kalian! Tidurlah!” ucap kakakku.
“Yaa,” balasku lelah.
“Kalian” kakakku akan langsung menyebutkan kata itu jika aku berbicara tentang Rana ataupun Indi. Kalian yang dimaksud kalimat tadi adalah aku dan Rana. Bukan hanya kakakku saja tetapi ibu dan ayah kami bertiga tahu tentang kedekatan kami selama dua tahun di SMP ini. Aku masih memikirkan Indi tapi kantukku tak bisa kutahan dan memaksaku untuk segera tidur. Aku pun terlelap.
“WOOAAA!!!” aku berteriak kaget dan spontan terbangun dari tidurku. Untung tak ada yang mendengar teriakanku. Aku mimpi buruk malam ini. Dalam mimpi itu, Indi membicarakan kejelekanku dan Rana dibelakang kami. Entah pertanda apa ini tapi aku sama sekali tak peduli apa itu. Kulirik jam masih menunjuk pukul 2 malam. Kuputuskan untuk sholat malam untuk menenangkan pikiranku.
Esok paginya, tiba-tiba Indi menghampiri aku dan Rana yang sudah datang lebih dulu. Ia datang seperti biasa, dengan senyum cerahnya, membuat aku dan Rana tak kuasa menanyakan apa yang terjadi padanya kemarin. Ya, mungkin saja kemarin dia sedang malas. Kira-kira begitu apa yang aku dan Rana pikirkan.
“Rana! Trisa!” ujarnya lalu memeluk kami berdua.
“Lepas! Apa kamu tidak tahu, hari ini sangat panas dan ruangan kelas ini sudah mulai pengap dengan kedatangan teman yang lain.” Rana memaksa melepaskan pelukan Indi.
“Iya iya! Eh, nanti pulang sekolah jalan-jalan, yuk. Aku tahu tempat makan terbaru di sini!” kata Indi tiba-tiba.
“Baiklah!” jawabku dan Rana serempak.
Selama pelajaran berlangsung, aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Aku memang tidak sebangku dengan mereka berdua. Indi satu bangku dengan Rana. Mereka terlihat bahagia. Sementara aku, setelah ajakan Indi tadi aku merasakan sesuatu yang mengganjal di hatiku. Entah perasaan apa ini tapi yang pasti seperti suatu kekhawatiran ditinggal oleh orang tersayang.
Sepulang sekolah…
“Sudah izin, kan?” tanya Indi.
“Sudah. Kita mau kemana memangnya?” balasku.
“Kita ke studio musik sepupuku,” jawab Indi.
“Hah? Katanya kamu tahu tempat makan terbaru di sini. Kenapa nyasar di studio musik, sih?” kesal Rana yang doyan makan.
“Siapa juga bilang mau makan, hehe. Kamu kan punya suara bagus, jangan disembunyikan! Sebelum kamu kehilangan suaramu,” jawab Indi sembari menarik aku dan Rana.
“Bukannya suaramu lebih bagus dari aku?” balas Rana sambil menyesuaikan langkahnya dengan langkahku dan Indi, ia memang lebih pendek dari kami.
“Bisa jadi!” jawab Indi sambil tersenyum. Rana menatapku sembari berjalan. Tatapan itu. Ya, aku tahu arti tatapan itu. Sekalipun Rana tak pernah mengatakannya aku tahu apa yang ingin ia sampaikan. Itu artinya, ia khawatir dengan keadaan Indi.
Di studio musik, kami memainkan semua alat musik yang ada. Indi kemudian meminta microphone pada sepupunya dan bernyanyi bersama kami. Kami sangat bahagia sampai-sampai aku lupa akan kekhawatiranku dengan keadaan Indi.
Sesampainya aku di rumah, ponselku bordering menandakan ada pesan masuk. Dari grup sosmed teman sekelasku. Pengirimnya Indi, ia mengatakan untuk datang ke rumahnya besok yang bertepatan hari Minggu untuk makan bersama ulang tahun ayahnya. “Oke, kami datang,” begitu balasan teman-teman. Tapi aku tak berani mengetikkan apapun. Justru aku semakin khawatir. Aku yakin Rana juga begitu.
Esoknya semua berjalan lancar dan tak ada masalah apapun di rumah Indi saat makan bersama. Aku rada tenang dan menganggap ini hanya kekhawatiranku saja. Aku pulang ke rumah bersama dengan Rana juga Rafiar, Uji, dan Adit, sahabat dekatku setelah Rana dan Indi.
Malam harinya aku dikejutkan dengan pesan dari Indi yang mengatakan selamat tinggal. Aku dan Rana, yang juga menerima pesan itu langsung berlari menuju rumah Indi. Aku berlari di tengah dinginnya malam menuju halte, ayah, ibu maupun kakakku sedang tidak di rumah. Sampai di rumah Indi, aku dan Rana mendapat sebuah surat dari satpam di rumah Indi.
Untuk sahabatku, Rana dan Trisa. Terima kasih untuk dua tahun ini. Maaf aku tak bisa memberi kalian apa-apa. Aku harus pergi. Aku tahu kalian sudah khawatir dengan keadaanku, tapi maaf aku tak bisa memberi tahu kalian yang sebenarnya secara langsung, aku takut kalian akan mencegahku pergi. Aku sakit, ada masalah di tenggorokanku dan aku akan operasi Selasa besok. Itulah kenapa tugasku tidak selesai karena hari itu aku mengetahui kebenaran penyakitku selama beberapa bulan terakhir dan juga kenapa aku ingin kita bernyanyi bersama.
Aku akan pindah ke rumah pamanku bersama kedua orang tuaku. Di kota pamanku, penyakitku ini akan lebih cepat sembuh dibanding dengan kota kita. Setelah aku sembuh, orang tuaku akan kembali tapi aku tetap di sini untuk melanjutkan belajarku. Aku kan bersekolah di sini. Seperti mimpiku, aku ingin menjadi dokter paru-paru yang hebat. Aku akan mewujudkannya di kota ini. Tapi aku tak akan lupa dengan mimpiku menjadi penyanyi. Aku juga akan berusaha mewujudkannya di sini setelah aku sudah sembuh total. Aku akan kembali suatu saat nanti. Sampai bertemu di saat kita sudah sukses dengan impian masing-masing. Ceritakan yang terbaik tentangku pada teman-teman. Sampaikan maaf dan terima kasihku. Hiduplah dengan baik.
Begitulah, aku dan Rana tak kuasa menahan tangis. Kami berpelukan, menantikan kapan saat yang dijanjikan Indi tiba. Saat kita sudah sukses. Baiklah, sembuhkan penyakitmu, kejar mimpimu dan sampai jumpa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H