Mohon tunggu...
Sinta Nuriyaa
Sinta Nuriyaa Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kewarganegaraan Ganda: Solusi atau Tantangan bagi Indonesia?

7 Juli 2024   10:36 Diperbarui: 7 Juli 2024   10:45 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Wacana pemberian hak kewarganegaraan ganda bagi diaspora Indonesia telah memicu perdebatan di berbagai kalangan, termasuk di parlemen. Anggota Komisi I DPR, Fadli Zon, dengan tegas menyatakan perlunya pengkajian ulang terhadap wacana ini, karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (Lazuardi, 2020). Pendapat Fadli Zon ini menyoroti beberapa poin penting yang perlu kita telaah lebih dalam.

Pertama, berdasarkan Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 23 UU Nomor 12 Tahun 2006, seseorang yang telah mencapai usia 18 tahun atau sudah kawin harus memilih salah satu kewarganegaraannya dan WNI hanya diperbolehkan memiliki satu status kewarganegaraan saja (Suryatni, 2020). Undang-undang ini jelas menegaskan prinsip kewarganegaraan tunggal yang dianut Indonesia. Dengan demikian, wacana pemberian hak kewarganegaraan ganda bagi diaspora secara langsung bertentangan dengan aturan yang berlaku saat ini.

Selain itu, penting untuk dicatat bahwa ide kewarganegaraan ganda ini bukanlah hal baru. Wacana ini telah dibahas sejak lama, dan niat di baliknya mungkin memang baik, yakni untuk memperkuat ikatan dengan diaspora yang memiliki kontribusi signifikan bagi negara (Bakarbessy & Handajani, 2012). Namun, setiap perubahan besar dalam hukum kewarganegaraan harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan mempertimbangkan berbagai implikasi yang mungkin terjadi.

Fadli Zon dengan bijak mengingatkan bahwa jika pemerintah tetap bersikukuh untuk mewujudkan wacana ini, maka harus disertai dengan argumentasi kuat dan melalui proses pengkajian dan studi mendalam. Kajian ini harus mencakup analisis komprehensif tentang keuntungan dan kerugian yang mungkin timbul bagi negara. Jangan sampai, niat baik ini justru berbalik menjadi bumerang yang merugikan Indonesia di masa depan.

Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah perbandingan dengan negara lain. Sebagai contoh, India dan Cina, dua negara dengan populasi besar, tidak menerapkan kewarganegaraan ganda. Sebaliknya, mereka memberikan akses khusus kepada diaspora tanpa memberikan status kewarganegaraan ganda. Model ini mungkin bisa menjadi acuan bagi Indonesia untuk memberikan hak istimewa kepada diaspora tanpa harus mengubah prinsip dasar kewarganegaraan tunggal (Djusfi, 2019).

Di sisi lain, perlu juga dipertimbangkan kebutuhan dan aspirasi diaspora Indonesia sendiri. Banyak diaspora yang tetap memiliki keterikatan emosional dan kultural dengan tanah air. Mereka mungkin ingin berkontribusi lebih banyak tanpa harus kehilangan status kewarganegaraan di negara tempat mereka tinggal saat ini (Charity, 2016). Dalam konteks globalisasi, di mana mobilitas manusia semakin tinggi, kebutuhan untuk memiliki kewarganegaraan ganda bisa menjadi relevan.

Namun, segala keputusan harus tetap berlandaskan pada kepentingan nasional. Argumentasi yang solid, kajian mendalam, dan studi komparatif dengan negara lain harus menjadi dasar sebelum mengambil langkah lebih lanjut. Pemerintah dan DPR harus bekerja sama dalam merumuskan kebijakan yang tidak hanya menguntungkan diaspora, tetapi juga melindungi kepentingan nasional dan menjaga integritas hukum yang berlaku (Jazuli, 2017).

Dalam menghadapi wacana kewarganegaraan ganda ini, mari kita harapkan adanya diskusi yang konstruktif, berbasis data, dan berorientasi pada kepentingan terbaik bagi Indonesia. Semoga, apapun keputusan yang diambil, akan membawa manfaat jangka panjang bagi negara dan seluruh warga negaranya, baik yang tinggal di dalam negeri maupun di luar negeri.

 

Referensi 

Bakarbessy, L., & Handajani, S. (2012). Kewarganegaraan ganda anak dalam perkawinan campuran dan implikasinya dalam hukum perdata internasional. Perspektif, 17(1), 1--9.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun