Keesokan harinya, Tama kembali menunggu Adhel keluar kelas. Ia mengulurkan tangan lagi, mengajak Adhel pergi. Kekesalan Adhel pada Tama sebenarnya sudah jauh berkurang sepulangnya dari sekre HMHI kemarin. Meskipun begitu, Adhel masih belum mau menggenggam tangan Tama. Jadi kali ini Adhel mengeluarkan pulpen untuk menyambut uluran tangan kekasihnya itu. Tama tidak keberatan. Mereka berdua lalu berjalan bergandengan pulpen menuju parkiran mobil.
Setelah perjalanan yang terasa panjang karena sepi obrolan, mobil Tama berhenti tak jauh dari sebuah lapangan sederhana dengan tanah yang telah disemen. Tama mengambil mainan Lego dari dalam mobil sebelum berjalan menuju lapangan. Adhel heran dengan mainan Lego tersebut tetapi ia tidak berkomentar apa-apa. Ia mengikuti saja.
Di tengah lapangan, anak-anak tampak asyik bermain sepakbola. Hanya ada satu anak kecil yang tampak asyik sendiri di salah satu sudut lapangan. Anak laki-laki berumur enam tahun yang sedang menggambar lapangan bola di tanah. Sesekali mata sang anak tertuju pada teman-temannya yang sedang bermain bola. Ia hanya bisa menonton, tak pernah bisa ikut bermain.
“Reza!” panggil Tama.
Anak kecil itu menoleh. Melihat Tama, wajah yang tadinya sendu berubah cerah.
“Kak Tama!” Reza menghampiri Tama dan memeluknya. Tama merangkulnya dengan tangan kiri. Tangan kanannya berada di balik punggung menyembunyikan Lego.
Dengan gerakan yang didramatisir, Tama menampakkan mainan Lego di depan wajah Reza, dan memberikannya.
“Wuaaaah..! Terimakasih Kak!” seru Reza senang. Adhel hanya diam memperhatikan.
“Reza, kenalin nih, Kak Adhel,” Tama memperkenalkan Adhel pada Reza.
“Halo, adik manis..” Adhel mengulurkan tangan. Reza menyalaminya.
“Aku Reza. Oh.. jadi ini kakak cantik yang sering Kak Tama ceritain ke aku?” Tama tersenyum.
“Ayo dibuka Legonya,” seru Tama. Mereka bertiga pun lalu bermain bersama menyusun Lego.
Sambil bermain, Adhel mengajak Reza ngobrol.
“Kenapa Reza gak ikut main bola?” tanya Adhel pada Reza.
“Aku ga boleh main, Kak. Teman-teman ga pernah ngajak aku. Mama juga ngelarang aku main bola...” jawab Reza polos.
“Loh, kenapa?” Adhel terkejut.
“Kata Mama, aku Hemofilia. Mama larang aku main bola biar aku ga sakit...”
Seperti ada yang menggores hati Adhel. Selama sedetik, ia merasa sesak. Pelan-pelan Adhel meninggalkan Lego di tangannya. Ia lalu berdiri menuju kursi semen, dan duduk di sana. Tama mengikuti Adhel. Mereka berdua duduk bersebelahan sambil memandangi Reza yang asyik dengan Lego-nya.
“Mungkin Reza ga ingat, waktu itu umurnya empat tahun. Dia main bola sama teman-temannya, terjatuh, dan mengalami pendarahan internal yang menekan sendi lutut. Jika terlambat ditangani, dia mungkin akan cacat seumur hidup. Sejak saat itu, ibunya melarang dia main bola. Sementara ibu-ibu tetangga, melarang anak-anaknya main sama Reza,”
Jeda sejenak.
“Kamu sering ke sini?” tanya Adhel.
“Kalau lagi ga sibuk, biasanya seminggu sekali,” jawab Tama tersenyum tipis. Adhel tidak berkata apa-apa, masih menatap Reza. Ia teringat sepotong percakapannya dengan Tama dulu.
“Kenapa ga suka main bola?”
“Aku ga bisa main bola, Adhel,” jawab Tama ringan. “Lagipula gak pernah diajak juga. Hahaha...”
Saat itu tak sebersit pun Adhel berpikir itu karena Tama mengidap hemofilia. Kini ia tahu. Adhel membayangkan, mungkinkah masa kecil Tama seperti Reza? Tak pernah diajak bermain oleh teman-temannya karena takut Tama celaka tanpa sengaja? Apakah, seperti Reza, Tama selalu bermain sendirian? Hanya bisa melihat anak-anak lain ceria bermain bola? Berat bagi Adhel membayangkan masa kecil tanpa teman seperti itu. Dada Adhel benar-benar mulai sesak. Matanya mulai berkaca-kaca. Tanpa bisa dibendung, setetes air mata meluncur cepat di pipinya yang halus.
“Loh, ada Tama rupanya,” tiba-tiba seorang perempuan muda muncul dari samping Tama. Adhel spontan menghapus air matanya.
Tama menyambut kehadiran perempuan itu dengan senyum dan salam hangat. Tak lupa ia memperkenalkan Adhel pada ibu dari Reza itu.
“Oohh.. ini toh calon istrinya Tama..” komentarnya. Adhel tersipu malu, sementara Tama mendadak salah tingkah. “Kenapa ga dari dulu toh diajak main kemari?” sahut sang ibu lagi.
“Kak Tama.. bantuin aku bikin mobil-mobilan..” seru Reza sambil mengacungkan salah satu potongan legonya. Tama segera menghampiri dan membantunya. Ibu Reza mengisi tempat duduk Tama.
“Reza lucu banget ya Mbak. Kalau Reza dan Tama gak cerita, saya ga akan tahu kalau dia hemofilia. Dia kelihatan sangat sehat.” ucap Adhel pelan.
Sang ibu tersenyum.
“Semoga dia selalu sehat. Saya selalu berdoa, Reza bisa hidup normal seperti orang lain. Bisa bermain, bisa belajar, bisa bekerja, bisa menikah..” Ia melirik Adhel saat menyebut kalimatnya yang terakhir, menggodanya. Adhel tersenyum getir. Menikah...?
“..dan saya yakin bisa kok. Lihat Tama. Dia hidup sehat, sukses, bahagia... . Kalau Tama bisa, Reza pasti juga bisa, kan?”
Adhel tidak tahu harus menjawab apa.
***
PEMANDANGAN TERINDAH KETIGA: PANTAI
Setelah menemui Reza dan ibunya, Tama mengajak Adhel ke pantai. Sore itu cuaca sangat cerah. Matahari bersinar hangat, bergerak perlahan menuju peraduan. Pantai itu relatif sepi. Tempat yang pas untuk orang yang sedang ingin menyendiri, atau yang sedang bersama kekasih, menyaksikan matahari terbenam. Mereka berdua duduk di atas pasir, menikmati keindahan senja dengan langit yang penuh dengan gradasi warna merah, oranye, dan kuning.
“Tahu gak kenapa aku suka pantai?” tanya Tama dengan mata menerawang. Adhel tidak menjawab, hanya menoleh dan menatap Tama, menunggu jawaban.
“Karena mereka sangat pengertian. Ketika ombak membentur kakiku, mereka membelah tanpa melukaiku.” sahut Tama menatap ombak. Adhel mengikuti arah pandang Tama. “.. dan pasir ini...” sahut Tama seraya meraup pasir.
”..mereka merenggang dan membiarkan kakiku terbenam. Aku capek menjelaskan tentang kondisiku pada orang-orang. Sementara pantai.. mereka tidak perlu penjelasan. Aku sangat suka pantai, karena saat ini, sangat sedikit orang yang mau mengerti seperti mereka..”
Adhel tidak berkomentar. Mungkin Tama benar. Tama hanya ingin dimengerti, diterima, tanpa perlu banyak menjelaskan.
Wahai pantai, ajari aku agar mengerti dan menerima ia apa adanya, sepertimu...pinta Adhel dalam hati.
Matahari sepenuhnya tenggelam. Hanya sisa-sisa warna jingga yang menerangi langit. Tak lama lagi gelap. Waktunya pulang. Tama berdiri, mengulurkan tangan pada Adhel. Adhel menatap tangan Tama sesaat, menatap wajah Tama, lalu dengan keyakinan dan kepercayaan yang lebih kuat dari sebelumnya, Adhel dengan mantap menyambut uluran tangan Tama. Pantai tersenyum menyaksikan keduanya berlalu.
***
PEMANDANGAN TERINDAH KEDUA: KERLAP-KERLIP BINTANG
Adhel merebahkan diri ke atas kasur, menatap langit-langit kamar dalam diam. Mengetahui semuanya dengan lebih jelas, ternyata tidak membuatnya semakin mudah... Adhel menghela napas. Ia membalikkan badan. Dengan posisi telungkup ia memain-mainkan lampu meja. On.. off.. on.. off.. membuat kamarnya sesaat gelap, sesaat terang, begitu terus berganti-ganti.
Selama ini, sebelum ia tahu Tama mengidap hemofilia, ia merasa dunianya terang. Ia bisa melihat masa depannya yang bahagia dengan amat jelas. Pengakuan Tama di taman itu membuat masa depannya tiba-tiba gelap. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia takut. Takut kehilangan Tama, tapi juga takut akan masa depannya bila bersama Tama. Ia harus bagaimana?
Tuhan, tolong beri aku petunjuk.. Apakah tidak apa kalau aku bersamanya dalam gelap? Apakah benar, kalau bintang terlihat lebih indah dalam gelap? Aku butuh cahaya itu, Tuhan..
Adhel berhenti memainkan lampu. Ia mematikannya. Ruangan seketika menjadi gelap. Tapi tidak gelap gulita. Mengapa? Karena dari balik kaca jendela, bintang-bintang mengirimkan kerlap-kerlip cahayanya.
Bersambung... (Catatan: Cerpen ini diadaptasi dari skenario dan film Flickering Light oleh Bicky Perdana Putra. Flickering Light yang diproduksi oleh 89 Project dapat diunduh di sini)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H