Akad murabahah menjadi salah satu jenis transakai jual beli yang paling unggul dalam perbankan syariah di Indonesia, sudah seharusnya menerima perhatian yang cermat dari sudut pandang hukum Islam. Walau pada umumnya sering dianggap sebagai sarana pembiayaan yang sesuai dengan syariat, akantetapi dalam kenyataannya sering terjadi pertentangan dan memunculkan berbagai spekulasi di lapangan sehingga rawan terhadap penyimpangan dari prinsip - prinsip syariat Islam. Artikel opini ini akan mengkaji akad murabahah dalam penerapan perbankan syariah di Indonesia dengan mengidentifikasi potensi masalah hukumnya dan memberikan beberapa saran untuk evaluasi kedepannya.
Prinsip kejujuran (shidq) dan keadilan ('adl) merupakan fondasi fundamental dari akad murabahah. Pada akad ini, bank syariah bertindak sebagai penjual yang harus menyampaikan dengan jelas dan terperinci harga barang yang diperoleh dari pihak ketiga serta penambahan keuntungannya. Transparansi informasi inilah yang menjadi faktor penting dalam menjamin tercapainya prinsip keadilan dan terhindarkan dari pemerasan terhadap nasabah. Seperti yang sudah disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 188Â yang beris dan janganlah di antara kamu ada yang mengambil harta milik yang lain dengan cara yang tidak benar, dan janganlah kamu mengajukan masalah harta itu kepada penguasa, agar kamu bisa mendapatkan bagian dari kekayaan orang lain dengan tindakan yang salah, sementara kamu menyadari hal tersebut.
Pada ayat ini menggarisbawahi betapa pentingnya sikap jujur setiap melaksanakan transaksi, termasuk dalam akad murabahah. Sikap tidak jujur, seperti menyembunyikan informasi harga pokok barang serta biaya yang diperlukan maka dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Oleh sebab itu, trasparansi menjadi aspek yang tidak bisa dinegosiasikan dalam pelaksanaan akad murabahah.
Akantetapi dalam kenyataannya, masih banyak dijumpai persoalan tentang minimnya transparansi terhadap prosedur penetapan harga pokok barang dan tingkat keuntungan bank. Persoalan ini dipengaruhi dari berbagai faktor, seperti kerumitan rantai suplai barang, minimnya regulasi yang khusus dan terperinci serta terdapat tekanan dari dalam bank untuk menggapai sasaran profitabilitas. Dari ketidakjelasan ini dapat memunculkan keraguan terhadap keselerasan akad murabahah dengan prinsip syariat Islam serta memberi kesempatan adanya riba yang tersembunyi. Seperti yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah ayat 275 bahwa Allah memperbolehkan transaksi jual beli dan melarang praktik riba.
Dalam ayat ini, menyampaikan dasar dengan jelas mengenai diizinkannya transaksi jual beli asalkan tidak terdapat unsur riba di dalamnya. Maka dari itu, penerapan murabahah yang jelas sudah seharusnya menjamin tidak adanya unsur riba yang terselubung seperti biaya tambahan yang tidak dijelaskan secara terperinci kepada nasabah.
Adapun masalah lain yang timbul terkait penetapan keuntungan (margin) yang ditentukan oleh bank. Walaupun prinsip dasarnya adalah keuntungan yang disetujui secara sukarela oleh kedua pihak, tetapi dalam pelaksanaannya seringkali keuntungan yang dikenakan terlalu besar sehingga membebani nasabah. Permasalahan ini bisa dihubungkan dengan aspek dharar (bahaya dan kerugian) dalam hukum Islam, dimana akad yang menimbulkan kerugian atau bahaya bagi salah satu pihak dinilai tidak valid. Seperti yang tertera dalam Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 mengenai Murabahah menjelaskan bahwa bank diwajibkan untuk dengan jelas menginformasikan kepada nasabah mengenai harga dasar barang beserta biaya yang diperlukan.
Kutipan fatwa diatas menekankan esensi transparansi dalam penentuan harga dan laba. Apabila dalam menetapkan margin keuntungan terlalu tinggi sampai mengakibatkan kesulitan bagi nasabah, maka pelaksanaannya bisa dianggap bertentangan dengan prinsip syariat. Sehingga, bank syariah perlu memastikan dengan benar terhadap margin keuntungan yang dikenakan tetap pada tingkat yang wajar dan tidak bersifat pemerasan.
Di samping itu, penerapan praktik mark-up dari sejumlah bank syariah juga mendapatkan perhatian. Walaupun secara teknis mark-up berbeda dari bunga, apabila prosedur penentuannya tidak jelas dan tidak mengacu pada harga pokok yang tepat, maka ini bisa dipandang sebagai riba yang tersembunyi. Oleh sebab itu, diperlukan pengawasan yang ketat terhadap praktik mark-up agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.Seperti yang dinyatakan dalam QS. Al-Imran ayat 130 yaitu hai para pengikut iman! Hindarilah mengambil riba yang berlipat ganda, dan takutlah kepada Allah supaya kamu memperoleh kebahagiaan.
Pada ayat ini menyampaikan peringatan tegas mengenai riba, dimana pada konteks murabahah bisa muncul apabila mark-up diterapkan dengan tidak wajar. Dengan ini, bank syariah perlu memastikan bahwa praktik mark-up dilakukan dengan benar-benar mempresentasikan harga pokok yang jelas dan keuntungan yang telah disetujui bersama.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyoroti betapa krusialnya kejelasan dalam aktivitas perbankan syariah. Di Pasal 2 dinyatakan bahwa aktivitas usaha perbankan syariah harus berlandaskan pada prinsip syariah, ekonomi yang demokratis, serta sikap kehati-hatian.