Mohon tunggu...
Sinta Devi
Sinta Devi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Akuntansi UPN "Veteran" Yogyakarta

Menulis Artikel

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perspektif Hukum Islam Mengenai Praktik Gharar dalam Transaksi Perbankan Syariah di Indonesia

15 Oktober 2024   09:00 Diperbarui: 15 Oktober 2024   09:42 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Praktik gharar dalam transaksi perbankan syariah di Indonesia menjadi isu yang menarik untuk dibahas, terutama dalam konteks penerapan prinsip-prinsip syariah yang mengatur kegiatan ekonomi. Gharar secara etimologis berarti ketidakpastian atau spekulasi dalam kontrak. Dalam hukum Islam, praktik ini dianggap merugikan salah satu pihak karena adanya ketidakjelasan dalam objek transaksi, harga, atau waktu pelaksanaan, yang dapat mengarah pada potensi sengketa di kemudian hari. Oleh karena itu, pengaturan mengenai gharar sangat penting dalam menjaga keadilan dan kepastian dalam transaksi perbankan syariah.

Dalam konteks perbankan syariah, praktik gharar seringkali muncul dalam bentuk produk-produk yang menawarkan imbal hasil yang tinggi tanpa adanya kejelasan mengenai risiko yang dihadapi. Misalnya, dalam produk investasi yang tidak transparan terkait dengan aset yang dikelola, atau dalam kontrak pembiayaan yang tidak jelas tentang jangka waktu dan ketentuan-ketentuan yang mengikat. Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah yang menuntut adanya kejelasan (tabarru’), keadilan, dan transparansi dalam setiap transaksi.

Dari perspektif hukum Islam, gharar dipandang sebagai suatu hal yang dilarang (haram). Hal ini berlandaskan pada sejumlah hadis dan kaidah fiqh yang menegaskan pentingnya kepastian dalam transaksi. Misalnya, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Janganlah kalian menjual barang yang tidak ada padamu” (HR. Abu Dawud). Dalam konteks ini, larangan jual beli barang yang tidak jelas atau tidak ada fisiknya, menunjukkan betapa pentingnya transparansi dan kepastian dalam transaksi. Oleh karena itu, praktik gharar dalam perbankan syariah harus dihindari agar tidak melanggar prinsip-prinsip syariah yang ada.

Dari aspek regulasi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki peran penting dalam mengawasi dan memberikan pedoman mengenai transaksi perbankan syariah di Indonesia. DSN MUI memberikan fatwa-fatwa mengenai produk-produk perbankan syariah agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, termasuk dalam hal penghindaran praktik gharar. Fatwa-fatwa ini bertujuan untuk memberikan panduan bagi perbankan syariah dalam merancang produk yang tidak hanya memenuhi syarat syariah, tetapi juga adil dan transparan bagi nasabah.

Namun, tantangan dalam pengawasan dan penerapan prinsip penghindaran gharar masih ada. Banyak produk perbankan syariah yang dikembangkan dengan imbal hasil yang menggiurkan, tetapi tidak diimbangi dengan penjelasan yang memadai mengenai risiko yang terkandung. Hal ini dapat menyebabkan nasabah terjebak dalam spekulasi yang berpotensi merugikan, tanpa menyadari bahwa mereka terlibat dalam praktik gharar yang dilarang dalam syariah. Oleh karena itu, penting bagi lembaga perbankan syariah untuk meningkatkan transparansi dalam setiap produk yang ditawarkan serta memberikan informasi yang jelas kepada nasabah mengenai risiko dan potensi imbal hasil.

Di samping itu, pendidikan dan literasi keuangan syariah bagi masyarakat juga perlu ditingkatkan. Banyak nasabah yang belum memahami secara mendalam tentang prinsip-prinsip syariah dalam transaksi keuangan, sehingga mereka mudah terpengaruh oleh iming-iming keuntungan yang tinggi tanpa mempertimbangkan aspek kehalalan dan kepatuhan terhadap syariah. Oleh karena itu, upaya edukasi dari pihak perbankan syariah, lembaga keuangan, dan pemerintah sangat penting dalam menciptakan masyarakat yang cerdas dan paham akan produk-produk keuangan syariah.

Di sisi lain, praktik gharar dalam perbankan syariah juga harus dilihat dalam konteks inovasi dan pengembangan produk. Di era digital dan perkembangan teknologi keuangan, berbagai produk baru bermunculan dengan struktur yang kompleks. Meskipun inovasi diperlukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, setiap inovasi harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah yang ada. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara para pemangku kepentingan, seperti pemerintah, OJK, DSN MUI, dan dunia usaha, untuk memastikan bahwa setiap produk keuangan yang ditawarkan tidak mengandung unsur gharar dan tetap berorientasi pada keadilan.

Kesimpulannya, praktik gharar dalam transaksi perbankan syariah di Indonesia merupakan isu yang perlu menjadi perhatian serius. Dari perspektif hukum Islam, gharar jelas dilarang karena dapat merugikan salah satu pihak dalam transaksi. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan yang ketat dari regulator, transparansi dari lembaga perbankan syariah, serta peningkatan literasi keuangan syariah di masyarakat. Hanya dengan langkah-langkah ini, kita dapat menciptakan ekosistem perbankan syariah yang tidak hanya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, tetapi juga adil dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat.

Referensi

Ascarya. (2007). Akad dan produk bank syariah.

Shohih, H., & Setyowati, R. (2021). PERSPEKTIF HUKUM ISLAM MENGENAI PRAKTIK GHARAR DALAM TRANSAKSI PERBANKAN SYARIAH. Dialogia Iuridica, 12(2), 69–82. https://doi.org/10.28932/di.v12i2.3323

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun