Dengan alasan menyuarakan aspirasi rakyat, mahasiswa melakukan demonstrasi menolak rencana pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak. Demonstrasi yang kemudian ternyata lebih banyak menimbulkan kerusakan, minimal kemacetan yang amat menyusahkan rakyat seperti saya.
Yang nampak bagi saya, demonstrasi mahasiswa dan beberapa "elemen" rakyat seperti buruh tidak lebih seperti "rengekan" anak kecil kepada orangtuanya yang minta dibelikan mainan atau supaya keinginannya dipenuhi, bukan sebuah cara yang cerdas dan dewasa. Bahkan rengekan itu seringkali berubah menjadi "amukan" kekanak-kanakan persis seperti anak kecil yg melemparkan apa saja yang ada ditangannya atau berguling-guling untuk menambah "rasa" pada rengekannya.
Memiriskan, karena hal itu menunjukkan hasil atau kualitas pendidikan di Negeri ini yg ternyata kurang atau tidak mencerdaskan dan mendewasakan anak-anak bangsa. Yang lebih ironis, pemerintah malah menganggap demonstrasi tersebut adalah hal yang "wajar", bahkan meminta supaya dilakukan dengan "santun", walaupun kemudian pemerintah juga menyiapkan polisi dan TNI sebagai "anak yg lebih besar" untuk menjaga "para anak kecil" itu. Dan anak yg lebih besar ini melakukanya dengan "cara" mereka sendiri yang juga kekanak-kanakan, yang sering membuat anak-anak kecil itu malah "menangis".
Pemerintah sendiri sibuk dengan urusan "asap dapur"-nya, sibuk dengan "dagangannya" yaitu tanah air Indonesia ini dan sibuk bersolek dengan "hutang-hutang" yang mereka terus tumpuk. Sampai akhirnya pemerintah lupa bahwa anak-anak ini kelak akan menjadi besar dan mereka yang akan mengurus "rumah" Indonesia ini, atau pemerintah memang tidak memikirkannya (mudah-mudahan tidak!).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H