Mohon tunggu...
Singgih Deka
Singgih Deka Mohon Tunggu... -

easy reading is damn hard writing!

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Startegi Penilaian Kualitas Terjemahan

5 Maret 2012   01:50 Diperbarui: 4 April 2017   16:58 3132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembahasan mengenai produk terjemahan sulit untuk lepas dari aspek mutu terjemahan. Ada berbagai macam cara untuk menilai kualitas hasil terjemahan, seperti Teknik cloze (Cloze Technique), Teknik membaca dengan suara nyaring (Reading-Aloud technique), Uji pengetahuan, Uji performansi (Performance Test), Terjemahan balik (Back translation), Pendekatan berdasar padanan (Equivalence-based Approach) dan Instrumen penilaian (Accuracy and readibility-rating instrument) (Nababan, 2004).

Teknik cloze (Cloze Technique),

Teknik ini dikenalkan oleh Nida dan Taber (1969). Teknik ini menggunakan tingkat keterpahaman pembaca terhadap teks sasaran sebagai indikator kualitas terjemahan. Hal ini dilakukan oleh pembaca dengan cara menebak atau memprediksi kata-kata yang dihapus dari suatu teks terjemahan. Namun demikian, teknik ini memiliki beberapa kelemahan misalnya, (1) tidak mengukur seberapa akurat pesan BSu dialihkan ke BSa, (2) tidak mempertimbangkan kompetensi pembaca sasaran, (3) seandainya tertebak pun tidak bisa dijadikan jaminan bahwa teks tersebut sudah akurat. (Hartono, 2011:101)

Teknik membaca dengan suara nyaring (Reading-Aloud technique),

Teknik ini juga dikenalkan oleh Nida dan Taber (1969), seperti teknik cloze, teknik ini melibatkan pembaca dalam menentukan kualitas terjemahan. Teknik ini dilakukan dengan meminta pembaca untuk membaca hasil terjemahan, apabila tidak lancar maka diasumsikan bahwa penerjemahan kurang berkualitas. Hal ini tentu saja kurang relevan, tidak menjamin jika lancar membacanya maka kualitasnya pun baik. Selain itu, kelancaran membaca berkaitan pula dengan faktor-faktor psikologis, sehingga sulit menemukan korelasi langsung antara kelancaran membaca dan kualitas hasil terjemahan.

Uji Pengetahuan

Pengujian ini dilakukan untuk menilai teks teknik. Hal ini dilakukan dengan menguji pengetahuan pembaca tentang isi teks BSa. Pertama, pembaca teks BSa diminta untuk membaca suatu teks terjemahan, kemudian menjawab pertanyaan yang telah disiapkan oleh penilai. Jika pembaca Bsa dapat menjawab sejumlah pertanyaan dengan benar dan sama banyaknya dengan pembaca BSu, maka hal tersebut mengindikasikan tingkat kualitas terjemahan (Brislin dalam Nababan, 2004). Namun lebih lanjut Nababan menjabarkan kelemahan teknik ini yaitu, (1) diasumsikan pembaca dibolehkan membaca teks terjemahan selama menjawab pertanyaan, sehingga hal tersebut belum mampu digunakan sebagai alat ukur kualitas terjemahan, (2)sulit untuk membandingkan pembaca BSa dan pembaca BSu terlebih berkaitan dengan interpretasi; banyak hal yang harus dilibatkan seperti, kompetensi tiap-tiap pembaca danlatar belakang budayanya. Seperti halnya uji pengetahuan, strategi ini umumnya digunakan untuk menilai kualitas teks teknik. Pengujian dilakukan dengan performansi teknisi dengan menggunakan teks terjemahan untuk memperbaiki suatu peralatan. Kelemahan strategi ini tentu saja dalam hal menilai teks non-teknik seperti karya sastra. Disamping itu, masih ada kemungkinan si teknisi tersebut telah ahli sehingga dengan teks yang kurang berkualitas pun masih mampu memperbaiki suatu peralatan tersebut.

Terjemahan balik (Back translation),

Terjemahan balik dikemukakan oleh Brislin. Misalnya, teks Bahasa Inggris (teks A) diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (teks B), kemudian hasil terjemahan diterjemahkan kembali ke dalam teks Bahasa Inggris (A’). Setelah itu, teks A dibandingkan dengan A’. Apabila kedua teks tersebut semakin sama, maka hasil terjemahan teks B semakin akurat. Penerjemahan adalah proses kreatif, jadi sulit mengharapkan hasil yang sama dalam setiap penerjemahan. Teks yang sama diterjemahkan oleh penerjemah yang berbeda, maka hasilnya akan lain pula. Bahkan, teks yang sama dilakukan oleh penerjemah yang sama tetapi dilakukan pada waktu yang berbeda, akan menghasilkan teks yang berbeda. Oleh karena itu strategi ini sulit untuk dijadikan penilaian kualitas suatu terjemahan.

Pendekatan berdasar padanan (Equivalence-based Approach)

Pendekatan ini dikenalkan oleh Katharina Reiss. Strategi ini menggunakan hubungan padanan antara BSu dan BSa sebagai kriteria penentuan kualitas terjemahan. Berdasarkan strategi ini, hal-hal yang perlu dibandingkan ialah, (1) tipe teks, (2) ciri kebahasaan yang digunakan, (3) faktor ekstralinguistik. Tipe teks merujuk pada fungsi utama bahasa dalam suatu teks. Ciri kebahasaan merujuk pada ciri semantik, gramatikal dan stilistik. Kemudian, faktor ekstralinguitik merujuk pada dampak pada strategi verbalisasi, pemahaman yang berbeda terhadap suatu isi teks, persepsi yang berbeda terhadap suatu fenomena tertentu. (Lauscher dalam Nababan, 2004).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun