Ayahku seorang guru Pegawai Negeri Sipil . Pada awal  pengangkatan ayahku jadi guru ditempatkan di sebuah SMP Negeri di kecamatan Cimanggu, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah selama 6 tahun. Untuk tinggal sementara kami sekeluarga mengontrak rumah di desa Cilempuyang yang jaraknya kurang lebih 500 meter dari tempat kerja ayahku.
Pada waktu itu akhir tahun 1979 di desaku belum ada listrik jadi masih menggunakan minyak tanah baik itu teplok atau petromak. Ada tradisi yang unik aku dan tetanggaku untuk menyambut adzan ketika adzan sudah berkumandang di radio, saya dan tetangga saya tidak langsung buka puasa tapi  menghitung 1,2,3 seperti aba-aba start lari berulang kali untuk menebak saat mulainya berkumandang suara adzan di masjid dekat rumah kami dimana jarak rumah kami dengan masjid sekitar 100 meter dan saya dan tetangga saya tidak tahu siapa yang adzan dan kapan waktunya. Untuk menyalakan pengeras suara di masjid waktu itu menggunakan sumber daya dari aki yang secara berkala di stroom atau charge.
Di desa kami ini dulu saat musim ramadan jarang terdengar bunyi suara petasan atau kembang api karena mayoritas warganya yang kurang mampu dan untuk beli petasan juga cukup jauh.
Ketika habis tarawih biasanya ada pembagian jaburan (makanan ringan) seperti biasa dan yang istimewa dari jaburan ini adalah semua dimasak sendiri oleh warga jadi bukan produk pabrik yang biasa zaman sekarang hidangkan .
Setelah menikmati jaburan kalau pas malam minggu atau liburan biasanya sudah ijin orang tua untuk tidak pulang ke rumah tapi berkeliling main ke tempat teman dengan penerangan obor atau nonton video vhs betamax di rumah pak dokter beramai-ramai bersama para warga karena kebetulan di rumah dinas dokter dan puskesmas menggunakan sumber daya listrik dari diesel genset.
Jika  sudah bosan balik lagi ke masjid untuk tidur dan tempat yang paling favorit untuk tidur adalah lubang bedug yang diameternya 1 meter dan panjang sekitar 1 meter yang jadi rebutan teman-teman.Â
Tapi yang nakalnya teman teman yang tidak kebagian tidur di dalam lubang bedug itu adalah usil dengan menabuh bedug tersebut sehingga yang tidur di lubang itu jadi terganggu tidurnya tapi menabuhnya juga tidak keras karena kalau keras keras akan terdengar sampai keluar masjid dan bisa dimarahi warga sekitar.
Setelah bertugas selama 6 tahun, Ayahku di pindahkan ke SMP Negeri di kota Solo, provnsi Jawa Tengah  dan dekat dengan rumah kami yang kami tinggalkan saat tugas dulu.Â
Di tempat kami ini ada beberapa tradisi yang tidak saya jumpai di desa sebelumnya yaitu ada kondangan atau kenduri setiap menyambut tanggal 21 Ramadan yaitu setiap warga membawa nampan dengan menu nasi gurih  beserta lauk mirip dengan nasi liwet khas solo lalu didoakan pemuka agama terus dibawa pulang dan jika malam takbiran warga mengganti menu nasi gurih dengan membuat kue apem sebagai sarana untuk didoakan tapi tradisi pada masa kecil itu sudah sangat jarang yang mempraktekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H