Perjalanan tengah malam sebetulnya sangat ingin ku hindari karena aku tidak bisa menunaikan ibadah sholat malam dengan khusyu. Pekerjaanku sebagai seorang sopir taksi online, mau tidak mau sesekali mengambil orderan malam karena sepi orderan di siang hari.
Malam itu, malam yang dingin dan gelap. Aku selesai mengantarkan penumpang ke tujuan dengan jarak yang lumayan cukup jauh. Aku memutuskan untuk mengambil rute jalan tol, selain bisa berhenti sejenak di rest area untuk beristirahat, aku pun bisa menunaikan ibadah sholat di mushola.
Mushola kecil di pojok rest area itu dengan pintunya yang terbuka disertai dengan sejuknya angin malam, tampak mengundangku untuk melaksanakan sholat. Pencahayaan yang redup dan sunyi senyap tidak mengurangi keteguhan niatku untuk beribadah.
Sayup-sayup terdengar suara azan yang sangat merdu, aku heran di tengah malam begini ada yang mengumandangkan azan padahal itu bukan waktunya untuk sholat wajib. Sebelum mengambil wudhu, aku sempatkan melihat ke dalam mushola untuk memastikan ada orang lain selain aku karena sebelumnya aku yakin bahwa aku adalah satu-satunya orang yang berada di situ. Dan memang benar, tidak terlihat ada seorangpun di dalam sana.
Duh, aku mulai dihinggapi rasa takut, ku kalahkan rasa takut itu dengan berwudhu. Lalu aku memasuki mushola untuk mulai sholat. Selesai sudah aku melaksanakan sholat, Aku lanjutkan untuk berdzikir dan berdo’a. Seketika aku dikejutkan lagi oleh suara azan yang merdu dan lantang! Selesai bedzikir dan berdo’a aku bergegas keluar meninggalkan mushola, tapi sebelum melangkah keluar, suara azan itu kembali terdengar, lebih keras dan semakin mendesak. Dari awal sebelum masuk mushola aku sudah ketakutan tapi sungguh aku sangat penasaran siapa yang mengumandangkan azan di tengah malam berkali-kali.
Aku memutuskan untuk mencari sumber suara itu. Dengan keberanian yang terkumpul, aku berjalan ke arah mihrab. “Siapa di sana? Siapa yang mengumandangkan azan?” Aku mencoba berkomunikasi dengan suara yang gemetar.
Hening sejenak, kemudian terdengar suara serak dan perlahan menjawab, “Nama saya Soleh, saya adalah muazin yang meninggal dalam perjalanan pulang dari mushola ini beberapa waktu yang lalu.”
Jantungku berdebar keras, darahku seolah membeku mendengar penjelasan itu. Aku merasa ingin lari meninggalkan mushola, namun kakiku terasa berat, tidak bisa bergerak!
“Mengapa kamu masih ada di sini?” dengan suara yang tercekat, aku bertanya lagi.
“Saya tidak bisa meninggalkan tempat ini.” Soleh menjawab, suaranya semakin lembut. “Jiwa saya tidak bisa tenang, karena saya meninggalkan tugas saya tanpa pengganti.”
Aku yang dilanda rasa takut dan bingung, terlintas dalam pikiranku, mungkin hanya aku yang bisa menolong Soleh.
Dengan spontan aku bertanya lagi, “Apa yang bisa saya lakukan untuk membantumu?”
Soleh hanya meminta satu hal, “Sampaikan kepada keluarga saya di desa, bahwa saya mencintai mereka dan saya sudah tenang. Beritahu mereka untuk menemukan muazin baru untuk mushola ini, agar saya bisa pergi degan damai.”
Setelah berpikir sejenak, aku menyanggupi permintaan Soleh.
“Baik, saya akan sampaikan amanatmu. Besok akan saya cari desa di mana tempat kamu tinggal dan menyampaikan pesanmu” janjiku kepada Soleh.
Setelah itu, suasana di mushola tampak menjadi lebih terang, seolah-olah Soleh merasa lega. Keesokan harinya, aku menepati janjiku untuk berkunjung ke desa di mana Soleh tinggal dan menyampaikan pesan terakhirnya kepada keluarganya. Mereka sangat berduka, tapi juga merasa lega mendapatkan kabar pasti tentang nasibnya Soleh. Perasaanku menjadi lebih ringan setelah peristiwa itu. Aku merasa telah melakukan sesuatu yang baik, sebuah tugas yang tidak pernah aku bayangkan akan terjadi dalam perjalanan hidupku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H