Profesi ini digambarkan sebagai pekerjaan yang keras, terkesan tradisional, dengan hasil yang tak tentu karena panen tergantung dengan musim atau iklim sehingga kalah saing dengan pekerjaan kantor perusahaan di kota yang notabene tak perlu memakan kekuatan fisik, kantor berpenyejuk udara, dan sistem upah yang terjamin.Â
Kondisi seperti ini yang membuat sebagian besar petani  dan anak-anak muda yang bermukim di desa memilih berurbanisasi mencari pekerjaan di kota, bahkan sebagian besar keluarga petani sendiri pun berharap anaknya kelak tidak kembali menggeluti usaha pertanian.
Kurangnya regenerasi profesi petani muda yang mumpuni dalam penggunaan alat pertanian modern, hanya bertumpu pada kelompok petani usia tua dan masih menggunakan alat tradisional membuat pemanfaatan lahan tidak optimal dan hasil panen berjalan lambat sementara kebutuhan pangan masyarakat Indonesia sangat besar.Â
Akibatnya, alih-alih memberi kontribusi besar pada PDB, Indonesia sebagai negara agraris justru mengimpor dan menguras devisa untuk memenuhi kebutuhan 250 juta penduduk Indonesia dengan produk-produk pangan seperti beras, gula, bawang merah, garam, hingga daging.
 Hal ini tentu terkesan mubazir, karena sesungguhnya Indonesia sangat potensial untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangan masyarakatnya. Namun, belum optimalnya pertumbuhan tenaga kerja muda profesional dan andal dalam berbagai teknologi pertanian modern hingga manajemen pertanian yang mau turut serta bekerja mengelola sektor vital ini menjadi faktor pendukung dari problem ini.
Pemerintah jelas mengharap pada yang muda untuk tidak serta merta memberi asumsi pesimistik pada profesi petani. Stigma seperti ini harus ditransformasikan secara lebih optimis, bahwa petani adalah pengusaha dalam bidang pertanian. Profesi petani berpeluang juga menjadi orang sukses dengan pengelolaan dan penggunaan alat teknologi yang mengoptimalkan usahanya.Â
Menjadi seorang petani pun bukan sekedar pekerjaan fisik berat yang melulu bergantung pada kekuatan laki-laki. Perlu ditekankan bahwa diperlukan pendidikan yang tidak bias gender, dalam artian profesi petani tidak memandang gender dari seorang muda untuk ikut terjun dan mengembangkan usaha ini. Perempuan muda milenial pun bisa mengambil bagian dalam manajemen sektor-sektor vital dari agrobisnis.
Mengambil Peran
Gerakan Pemuda Tani (GEMPITA) dari Kabupaten Lombok Utara menjadi salah satu nyata dari bentuk sinergitas yang dilakukan oleh pemerintah dan pemuda daerah dalam upaya mempertahankan kesinambungan profesi tani di daerah Lombok Utara.Â
Diketuai oleh Rahadi Al Ubayya, GEMPITA ditujukan untuk memberdayakan anak-anak petani untuk tetap menggeluti usaha bertani dan mengolah ladang tanpa takut termakan stigma negatif. Â Kurang-lebih 1500 Ha lahan dimanfaatkan sebagai area pertanian jagung dan dikelola langsung oleh 1.500 petani yang 80% nya adalah pemuda.
Manajemen lahan pertanian yang dilakukan oleh gerakan Pemuda Tani Indonesia diprakarsai oleh Menteri pertanian, Amran Sulaiman. Dalam hal ini kementerian bersama dengan pihak perbankan bekerja sama untuk membantu mulai dari pemberian fasilitas, alsintan (alat mesin pertanian), pupuk, benih, hingga KUR (Kredit Usaha Rakyat).