Mohon tunggu...
Sindy Riani P.N.
Sindy Riani P.N. Mohon Tunggu... Pengacara - Lawyer

Hukum, Ekonomi, Sosial, Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tak Jadi Upgrade Daya, Quo Vadis Polemik Oversupply PLN

22 September 2022   13:04 Diperbarui: 25 September 2022   07:15 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada mekanisme ini, PLN sebagai offtaker harus mengambil semua risiko pasar yang ada dengan membeli listrik yang sebenarnya tidak diperlukan, sedangkan IPP terbebas untuk menanggung potensi kerugian akibat fluktuasi pasar. 

Pada tahun 2017, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (EFFA) memperkirakan bahwa PLN harus membayar sekitar USD 3,16 milyar per GW kapasitas terpasang dari PLTU batu bara untuk selama masa perjanjian jual beli listrik atau power purchase agreement (PPA) (Chung, 2017). 

Dengan estimasi bahwa 26,8 GW PLTU Batu bara akan dibangun sampai tahun 2027, maka PLN harus bisa memberikan kepastian pembayaran sekitar USD 84,7 milyar atau sekitar IDR 1.270 trilyun selama masa PPA (greenpeace,2019)

Seiring berjalannya waktu, lambat laun, keberadaan klausul ini rupanya telah "melambungkan" cadangan listrik PLN hingga mencapai 50% dari yang idealnya hanya sebesar 30%. 

Tak hanya itu, skema tersebut juga turut menimbulkan tagihan pembelian listrik dari IPP tahun 2021 yang diperhitungkan mencapai lebih dari Rp 102-103 triliun. 

Oleh karenanya, tidak berlebihan jika Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa memandang skema ini sebagai kebijakan yang cukup mengerikan. Tak heran jika saat ini PLN tengah berjuang keras mencari solusi guna meningkatkan permintaan listrik dan melakukan efisiensi (katadata.co.id).

Berbeda halnya dengan kondisi yang terjadi di Singapura dan Iran. Kedua negara tersebut sukses meningkatkan efisiensi melalui pertimbangan ekonomi dan transisi dari monopoli ke kondisi pasar yang lebih kompetitif (liberalisasi). 

Keduanya telah menerapkan sistem pasar terbuka atau open market operation (OEM) dalam sistem jual beli energi listrik di masing-masing teritorinya. 

Jauh sebelum itu, bahkan negara-negara eropa seperti Belanda, Jerman, dan Belgia sudah terlebih dahulu menerapkan konsep pasar daya dengan menerapkan EOM system tersebut.

Sistem EOM ini merupakan sistem di mana pembeli dan penjual dapat secara bebas untuk terlibat dalam transaksi jual beli energi listrik tanpa intervensi pemerintah. 

Melalui mekanisme EOM ini nantinya PLN dapat dengan bebas untuk menyerap daya listrik sesuai kebutuhan beban dengan memilih kombinasi pembangkitan yang menghasilkan biaya pokok penyediaan (BPP) terendah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun