Mohon tunggu...
Sindy NurSafitri
Sindy NurSafitri Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

Mahasiswi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Juvenile Deliquency dan Penanganannya melalui Peer Konseling

8 Desember 2019   23:39 Diperbarui: 9 Desember 2019   00:02 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh: Sindy Nur Safitri

E-mail: safitrisindy27@gmail.com

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), data yang terkumpul dari laporan masyarakat dan pengakuan pelaku tindak kriminalitas yang tertangkap oleh polisi selama tahun 2007 tercatat 3145 remaja berusia kurang dari 18 tahun menjadi pelaku tindak kriminal, sedangkan pada tahun 2008 meningkat menjadi 3280 remaja dan tahun 2009 lebih banyak menjadi  4213 remaja. 

Ditelaah dari data tersebut, kasus kenakalan remaja yang tercatat mengalami kenaikan setiap tahunnya, sedangkan dari angka tersebut masih banyak kasus kenakalan remaja yang tidak tercatat atau tidak dilaporkan, baik dari pelaku atau dari korban itu sendiri.

Kenakalan remaja adalah penyimpangan perilaku dari norma, peraturan, dam hukum yang terbentuk dalam budaya masyarakat yang dilakukan oleh remaja. 

Remaja dimulai dari umur 12 tahun sampai 22 tahun, yaitu masa peralihan dari masa anak-anak yang rentan, karena masa pencarian jati diri dan mulai melangkah untuk mempersiapkan masa dewasa. Seperti pernyataan Santrock (2012), bahwa kenakalan remaja adalah kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal. 

Kategori kenakalan remaja dapat berupa terjadinya tawuran di lingkungan sekolah, membolos sekolah, pemakaian napza atau obat-obatan terlarang, pencurian, dan penyimpangan perilaku yang melanggar norma budaya dan peraturan hukum lainnya

Terjadinya kenakalan remaja bukan tanpa sebab. Suminar (2012) menyatakan bahwa kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan dalam pemenuhan tugas perkembangan, beberapa anak gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang sudah dimiliki orang lain seusianya selama masa perkembangan. Ada dua faktor yang menjadi penyebab timbulnya kenakalan remaja, yaitu faktor internal yang dipengaruhi oleh masalah yang terjadi dalam keluarga atau pendidikan moral dalam keluarga. 

Keluarga merupakan penentu pembentukan karakter dan moral anak, jika dalam sebuah keluarga terjadi gesekan seperti broken home dan tidak adanya bimbingan secara berkala atau pengabaian tanggung jawab orangtua terhadap anak dapat memicu awal dorongan anak untuk berperilaku menyimpang. 

Selain itu, bisa juga diamati dari cara mendidik, kebanyakan seorang anak akan menolak didikan yang kasar dan keras karena saat anak yang belum tahu apa-apa atau masih dalam proses perkembangan dari masa anak-anak ke masa remaja diberi tekanan dengan didikan yang keras dan kasar dapat membentuk karakter anak yang keras dan kasar juga. disebabkan penolakan tersebut, seorang anak akan melampiaskan apa yang menjadi bebannya di rumah dengan kegiatan diluar rumah yang membuatnya merasa nyaman. 

Maka peran penyebab faktor eksternal akan sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan sikap dan moral anak. Faktor eksternal berasal dari teman sebaya atau kelompok sosial yang diikuti, jika anak menemukan tempat nyaman diluar rumah dan naluri seorang anak remaja suka mencoba-coba terhadap hal baru muncul, maka akan berdampak negatif jika teman sebaya atau kelompok sosial yang diikuti menyimpang dari norma atau hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Sedangkan Konseling sebaya menurut Hunainah (2012) merupakan tingkah laku yang saling membantu serta memperhatikan secara interpersonal diantara teman sebaya, dilakukan oleh individu non-profesional dalam bidang layanan konseling. Bimbingan konseling sebaya berlangsung dalam kehidupan sehari-hari seperti yang terjadi dilingkungan sekolah. Keterampilan yang dibutuhkan dalam membantu tersebut adalah keterampilan dalam mendengarkan dengan aktif, bersikap empati dan mampu memecahkan masalah. Kedudukan antar individu yang membantu dan yang dibantu adalah setara. Esensinya model konseling sebaya yaitu model konseling yang menggunakan kekuatan pengaruh teman sebaya. Alasannya pengaruh teman sebaya lebih besar dibanding guru maupun orang tua.

Astuti (2015) menjabarkan Konseling sebaya (peer counseling) adalah bantuan konseling yang di berikan oleh teman sebaya yang telah terlebih dahulu diberikan pelatihan untuk menjadi konselor sebaya, sehingga dapat memberikan bantuan baik secara individual maupun kelompok. Bantuan berupa bimbingan diberikan kepada teman-teman yang bermasalah ataupun mengalami berbagai hambatan dalam perkembangan kepribadiannya.

Muslikah (2016) mengemukakan unsur penting dalam konseling sebaya diantaranya, sebagai usaha yang memberikan bantuan yang bersifat interpersonal, dilakukan oleh pihak yang nonprofessional namun dibawah bimbingan professional konselor, dilakukan dalam rentan usia yang relatif sama, dan pelaksanaan dibawah bimbingan konselor ahli.  

Dalam prakteknya, konseling sebaya atau biasa disebut dengan peer counseling akan menciptakan stigma lebih nyaman bagi remaja, karena gap umur yang terjadi antara remaja dan konselor profesional menyebabkan kebanyakan remaja merasa malu dan kurang percaya diri untuk mengungkapkan masalah yang terjadi. Gladding (2012) mengungkapkan bahwa dalam interaksi teman sebaya memungkinkan terjadinya proses identifikasi, kerjasama dan proses kolaborasi. Proses-proses tersebut akan mewarnai proses pembentukan tingkah laku yang khas pada remaja. Oleh karena itu, adanya peer counseling dalam lingkungan sekolah maupun perguruan tinggi dapat mengurangi angka kenakalan remaja dan dampak yang lebih parah setelah terjadi kenakalan pada remaja.

Dalam rangka mencegah atau mengatasi kenakalan remaja dapat dimulai dari hal-hal kecil dalam diri sendiri. Sebagai generasi penerus bangsa, maka hal penting yang perlu digaris bawahi adalah peningkatan kualitas diri. Jika diri sendiri berusaha menjadi lebih baik, maka saat sudah menjadi orangtua diharapkan dapat mendidik anak dengan baik dan cerdas. Akan terjadi sebaliknya jika diri sendiri tidak mau meningkatkan kualitas diri, maka kualitas generasi setelahnya dapat dijamin menjadi generasi dengan kebobrokan moral tinggi. Terbukti dari banyak kasus kenakalan remaja yang semakin meningkat setiap tahunnya.

Peran orang tua juga sangat penting dalam mencegah dan mengatasi permasalahan kenakalan remaja. Peran orangtua sebagai tenaga pendidik awal dalam proses perkembangan anak bertugas membimbing dan mengarahkan anak dengan memberikan sikap atau contoh perilaku yang baik terhadap anak. Membimbing masa remaja anak dengan kasih sayang dan pemahaman atau pengertian sikap baik dan buruk pada anak.

Sedangkan keterlibatan lingkungan, tatanan masyarakat, dan pemerintah dalam permasalahan remaja juga penting untuk diperhatikan, karena bagaimana keberlangsungan suatu masyarakat atau negara tergantung kualitas remaja sebagai generasi penerus. Penciptaan lingkungan yang damai dan ramah terhadap anak, dapat meminimalisir tingkat kriminalitas dan kenakalan remaja. Hal yang banyak menjadi tugas pemerintah adalah dari pengembangan ekonomi dan pendidikan, jika kualitas ekonomi masyarakat baik dan kualitas pendidikan anak dapat lebih fokus kepada pengembangan potensi anak, maka anak tidak akan merasakan krisis identitas dan tidak mengenal potensi diri sendiri sehingga menghambat dalam proses aktualisasi diri anak.

Daftar Pustaka

  1. Astuti, Shofi Puji. (2015). Efektifitas Konseling Sebaya (Peer Counseling) dalam Menuntaskan Masalah Siswa. Tesis. Yogyakarta.
  2. Badan Pusat Statistik. 2010. Profil Kriminalitas Remaja 2010. Dalam https://www.bps.go.id/publication.
  3. Gladding, S. 2012. Konseling Profesi Yang Menyeluruh. Cetakan I. Edisi Ke Enam. Jakarta: Indeks.
  4. Hunainah. (2012). Model dan  Implementasi Model Konseling Sebaya. Bandung: Rizqi Press.
  5. Muslikah, Sigit H, dan Zaki NA. (2016). Pengembangan Model Peer Counseling Sebagai Media Pengalaman Praktik Konseling.  Indonesian Journal Guidance and Counseling, Vol. 5 No. 3.
  6. Santrock, John W. (2012). Life Span Development Perkembangan Masa Hidup Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
  7. Suminar, D. R. Aroma, I. S. (2012). Hubungan antara Tingkat Kontrol diri Dengan Kecenderungan Perilaku Kenaklan Remaja. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan . Vol.01, No.02. 1-6.

#edukasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun