Detik, jam, hari, bulan, berlalu tanpa henti dan enggan untuk mengerti. Aku yang berusaha menyibukkan diri dengan studi-ku, tapi perasaan itu enggan untuk enyah. Memikirkan kata terakhir yang kau ucapkan kala sore itu. Apakah maksudmu untuk menjaga dengan baik? Sampai seringnya aku memikirkan tentangmu, tanpa sadar perasaan itu tumbuh dengan subur dan baik.
Tanpa sadar aku menikmati alunan perasaan yang terus mengalir indah, menikmatinya dengan baik. Memikirkanmu dan tak luput menyelipkan namamu dalam doa penghambaan malamku. Menikmati alirannya di waktu-waktu senggangku. Menuliskan namamu dan angan yang menggelanyut dalam benakku. Perasaan yang menyenangkan, ternyata aku sudah belajar mencintaimu dan hanyut dalam alunan kisah ini.
-
Enam bulan berlalu setelah pertemuan senja di dermaga itu, dan selama itu aku mulai larut dengan perasaan yang membuncah, tak sabar ingin memecah tabungan rindu yang telah terisi penuh. Tapi selama itu juga kita tak pernah berkomunikasi, meski teknologi sudah menjamur dimana-mana dan media komunikasi mudah untuk di akses. Bisa jadi kita berkomunikasi lewat doa, tapi itu yang aku lakukan dan tak tau apa yang kamu lakukan jauh disana.
Lagi-lagi saat senja semuanya terjadi, enam bulan setelah senja pertamaku bersamamu kau menggoreskan kenangan senja lagi. Dimana kita mulai berkomunikasi dan bercerita panjang lebar tentang masa lalu yang menyenangkan dan yang terlewatkan.
Senja di hari kedua, aku memberanikan diri untuk mempertanyakan apa yang telah terngiang dan membenak indah di hatiku, tumbuh subur tanpa terelakkan. Ya senja di hari kedua, meski raga kita jauh aku memberanikan diri lagi, lewat media komunikasi. Aku bertanya sekali lagi tentang pertanyaan yang kulontarkan saat senja di dermaga itu.
"Apakah perasaanmu masih sama dengan kemarin?"
"ada apa kau menanyakan seperti itu?"
"karena selama ini aku sudah memupuk pohon perasaan, merawatnya hingga sekarang tumbuh lebat dan elok"
"Aku minta maaf, saat pertemuan terakhir kita, aku berucap biarkan waktu yang menjawab. Untuk saat ini aku ingin menetralkan perasaanku, perjalananku masih jauh sekali, banyak target yang harus aku capai. Sebelumnya kau kuberi tahta terindah dihatiku, tapi setelah pertemuan terakhir saat senja itu, kuputuskan untuk memindahkan tahtamu menjadi seorang teman. Karena aku melihatmu sebagai wanita yang pantas diperjuangkan kelak"
Setelah membaca pesannya, hatiku menangis dan rasa sesak menyelimutinya. Tanpa berfikir apa yang terjadi kedepannya, aku meneteskan air mata, dengan segenap tenaga berusaha membalas pesannya.