Mohon tunggu...
Isna Puryanta
Isna Puryanta Mohon Tunggu... -

Barangkali, sayalah guru gagal itu. Gagal setia pada keadaan menjadi suruhan pelaksanaan kebijakan. Gagal paham dengan arah kejujuran pendidikan. Dan gagal berpasrah pada buruknya keadaan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Filosofi telah Mati

23 Februari 2012   04:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:17 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Stephen Hawking pada bagian awal bukunya mengatakan bahwa 'filosofi telah mati'. Filosofi sudah tidak mengimbangi kemajuan terkini dalam sains, terutama fisika. Para ilmuwan telah menjadi pemegang obor penemuan dalam perjalanan pencarian pengetahuan(hawking,2010:5).

Bisa jadi, uangkapan itu muncul karena Hawking seorang ilmuwan fisika yang dengan prasangka buruk bisa dipahami bahwa hal itu hanya soal 'arogansi' belaka. Ibarat kata orang Jawa "Sopo wonge sing gelem ngalem ndhas sepur?" yang kalau diterjemahkan secara bebas berarti "Tidak ada orang yang mau memuji orang lain".

Hanya saja, berburuk sangka kepada manusia sekelas Hawking barang kali bukanlah sikap yang tepat. Ia telah membuktikan bahwa pemikiran-pemikirannya mampu mengurai banyak hal yang sepertinya tak terurai.Maka mengamini pemikiran-pemikirannya, kiranya cukup adil untuk buah kerja kerasnya itu.

Berbeda dengan dunia semesta yang dibidik oleh Hawking,  dunia kecil kita yang bernama Indonesia, ternyata justru dipenuhi obor=obor yang telah mati. Pemimpin yang seharusnya berpikir untuk kemaslahatan rakyatnya, ternyata telah mati nuraninya. Wakil=wakil rakyat yang dipilih dengan segala keresahan ternyata hanya menghasilkan barisan 'pedagang' yang memperdagangkan segala sesuatunya. Menyesakkan mendengar bagaimana swasta bisa menjadi penentu hitam-putihnya proyek-proyek yang dibiayai dengan negara yang nota bene uang rakyat.

Kejujuran yang konon mata uang untuk segala waktu dan situasi, kini telah kehilangan harganya. Kebohongan telah begitu terbuka digelar, bahkan disiarkan secara nasional, dipaparkan langsung ke mata anak bangsa. Lantas pertanyaannya, apakah dalam situasi seperti ini kita masih pantas berbaik sangka kepada mereka itu?

Kalaupun masih ada yang bisa dibaiksangkakan kepada mereka barangkali hanya mungkin mereka punya motif 'istimewa' atas segala perbuatannya itu. Mungkin mereka sengaja melakukan itu demi 'membebaskan rakyat' dari tanggung jawab dosa di hari akhir nanti. Maka, mari kita tunggu, siapa tahu dalam sidang di pengadilan Tipikor selanjutnya ada yang membuat pembelaan,"Saya melakukan ini demi membebaskan rakyat dari dosa. Biarlah kami saja yang masuk neraka. Minimal, kami sudah merasakan nikmatnya dunia" Ah, semoga!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun