Mengadili dan menghukum Kepala Pemerintah atau Kepala Negara yang melanggar etika dan hukum sebenarnya mudah. Bahkan, hal itu sudah dilakukan sejak sebelum Masehi. Tuntutan hukuman bervariasi, mulai dari penjara, hukuman mati, hingga hukuman gantung.
Tentu ada prolog yang mengawali sebelum seorang Presiden dan Raja dituntut rakyatnya untuk diadili. Kejahatan yang dituduhkan kepada Presiden bisa tunggal dan bisa berlapis. Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, misalnya, didakwa atas total 91 dakwaan federal dan negara bagian yang jika ditotal, potensi hukuman maksimumnya mencapai 717,5 tahun penjara.
Kalau Negara Hukum Menjadi Negara Kekuasaan
Seperti itulah praktik pelaksanaan hukum di negara demokratis. Namun, bagaimana dengan negara hukum yang secara diam-diam sudah bermetamorfosis menjadi negara kekuasaan? Presiden yang telah melakukan kejahatan akumulatif dari aspek etika-moral, kejahatan konstitusi, serta pelanggaran hukum di "negara kekuasaan" masih bisa berleha-leha dan terus melakukan pelanggaran hukum dengan leluasa.
Di negara kekuasaan, hukum bahkan sudah dibuat sebagai alat kekuasaan presiden. Akan tetapi, karena sifat kekuasaan yang otoriter, jika hukum tersebut belum maksimum sebagai alat kekuasaan, hukum tersebut direvisi dan dimanipulasi lagi. Ini semua terjadi karena lembaga legislatif sebagai pembuat undang-undang dan lembaga kontrol biasanya sudah dibusukkan terlebih dahulu.
Pada negara plutokrasi, yang mana uang dan orang yang punya uang berkuasa, membusukkan lembaga legislatif adalah persoalan sepele. Di sini terjadi transaksi antara lembaga eksekutif dan legislatif untuk melakukan jual-beli pasal dalam proses pembuatan undang-undang. Bisnis ini terjadi sebagai konsekuensi karena para legislator atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa menang dalam pemilu karena menggunakan uang (money politic).
Lumpuhnya Lembaga Legislatif dan Penegakan Hukum
Itulah yang membuat alotnya pelaksanaan mekanisme kontrol lembaga legislatif terhadap lembaga eksekutif sehingga pelanggaran hukum oleh Presiden bisa berlangsung berlapis-lapis dan akumulatif. Kedua, akibat partai politik meminta jatah dan menempatkan orangnya sebagai menteri di jajaran kabinet, anggota legislatif lebih memperhatikan suara penguasa daripada aspirasi rakyat. Akibatnya, para anggota legislatif (DPR) tidak sepenuhnya mampu menjalankan hak-haknya, misalnya hak angket, hak interpelasi, hak menyatakan pendapat, dan lain-lain.
Padahal, di luar negeri, seorang presiden bisa dimakzulkan dengan mulus jika Senat (DPR) masih tegar dalam menjalankan undang-undang yang mereka susun. Hal itu terjadi saat Amerika Serikat pada 1868 untuk pertama kali memakzulkan presidennya, yakni Presiden Andrew Johnson. Konflik yang memicu pemakzulan adalah konflik keras antara Presiden Johnson dengan Partai Republik melalui veto berkali-kali terhadap rencana-rencana Senat.
Ketidakharmonisan Senat dengan Presiden Johnson inilah yang memicu beberapa kali upaya pemakzulan oleh Partai Republik. Pemakzulan baru berhasil setelah tiga upaya, yaitu pada saat Presiden Johnson memecat Sekretaris Departemen Pertahanan Edwin M. Stanton yang sangat menentang kebijakan Rekonstruksi Johnson. Pemecatan ini menyebabkan Johnson dinilai melanggar UU Masa Jabatan sehingga Partai Republik kembali mengusulkan pemakzulan.
Kekurangan Presiden Otodidak