Mohon tunggu...
Ir. Sukmadji Indro Tjahyono
Ir. Sukmadji Indro Tjahyono Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Sosial, Politik, dan Militer

Eksponen Gerakan Mahasiswa Angkatan 1977-1978 dan Pengarah Jaringan Aktivis Lintas Angkatan (JALA). Menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menjadi Presidium Pejabat Ketua Dewan Mahasiswa ITB pada 1977. Selama berkuliah, aktif dalam gerakan mahasiswa serta ditahan dan diadili pada 1978. Dalam pengadilan, ia menuliskan pleidoi legendarisnya, berjudul Indonesia di Bawah Sepatu Lars. Pernah menjabat Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bidang IPTEK dan Lingkungan Hidup (2000). Sampai saat ini, Indro aktif dalam organisasi lingkungan hidup (SKEPHI) yang peduli dengan kelestarian hutan dan sumber daya air. Di samping itu, berminat dengan isu Hak Asasi Manusia, sosial, politik, dan militer.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kisruh Pemilu 2024 Picu Gerakan Mahasiswa Lebih Revolusioner

12 Maret 2024   09:54 Diperbarui: 12 Maret 2024   10:07 2421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai saat ini, sudah hampir 100 Perguruan Tinggi yang para guru besarnya mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang diduga melakukan pelanggaran etika dan moral terkait manipulasi konstitusi dan penyimpangan tugas presiden sebagai Kepala Negara. Namun,  Jokowi memberi respons yang sumir atas apa yang disuarakan para guru besar, “Ya, itu hak demokrasi”. Ketidakpedulian Jokowi terhadap substansi yang disuarakan para guru besar itu bisa menimbulkan kesan penghinaan atas kedudukan perguruan tinggi yang selama ini menjadi garda terakhir dari nilai-nilai luhur bangsa.

Menyusul deklarasi para Guru Besar tersebut, mahasiswa sebagai bagian dari Civitas Academica melakukan berbagai aksi ikut memperjuangkan suara kampus mereka. Aksi-aksi mahasiswa tersebut dilakukan di Istana Kepresidenan, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan di depan gerbang DPR/MPR RI. Kondisi ini sama seperti yang terjadi menjelang dan sesudah diumumkannya hasil Pemilu 1997.

Kerusuhan Masa Kampanye Pemilu 1997

Walaupun berbagai kerusuhan pada Pemilu 1997 hanya terjadi antara massa partai peserta pemilu (PDI dan PPP) dengan massa Golongan Karya (Golkar) atau pemerintah daerah, hal itu juga mencerminkan adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Suharto. Praktik KKN, kebobrokan birokrasi, dan kendali pemerintah yang kuat atas panitia pemilihan umum menjadi pencetus terjadinya aksi di sejumlah daerah.

Kerusuhan pertama terjadi di Pekalongan tatkala pemerintah daerah, dengan dalih penertiban melakukan pencopotan atribut Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat ada kunjungan dewan pimpinan pusat Golkar ke daerah tersebut. Kerusuhan kedua terjadi di Jakarta akibat arogansi massa Golkar yang melakukan konvoi sambil mencabuti atribut PPP sepanjang jalur yang mereka lewati. Kejadian itu menyulut amarah masyarakat untuk menyerang massa Golkar dan melakukan pembakaran toko-toko di sepanjang jalan yang dilewati konvoi Golkar.

Pada tanggal 23 Mei 1997, terjadi kerusuhan besar di Banjarmasin yang berawal dari konvoi massa Golkar yang bising saat melewati Masjid Annur ketika sedang diselenggarakan salat Jumat. Usai salat Jumat, masyarakat menyerang konvoi tersebut dengan mengajak massa dari daerah lain sehingga kerusuhan makin parah dan meluas. Kerusuhan ini merupakan kerusuhan terbesar dalam pelaksanaan Pemilu 1997 yang melibatkan 40.000-50.000 warga sehingga 113 orang terluka dan 123 orang meninggal dunia.

Kerusuhan pada Perhitungan Suara

Kerusuhan juga terjadi saat penghitungan suara di Sampang, Madura yang meluas ke seluruh kota dan pelosok desa yang akhirnya harus dilakukan penghitungan suara ulang. Manipulasi suara terjadi pada wilayah Madura yang terkenal merupakan basis pendukung PPP. Namun, dalam penghitungan terakhir justru menempatkan Golkar sebagai peringkat pertama sedangkan suara PPP ditempatkan pada urutan kedua dengan selisih yang cukup jauh.

Kerusuhan Sampang ini bermula dari kecurangan pada TPS 09 yang diprotes warga untuk dilakukan penghitungan ulang. Akan tetapi, hasilnya malah mengecewakan karena PPP yang mendapat terbanyak 286 suara ditempatkan pada urutan kedua dengan perolehan 172 suara. Kecurangan yang berlangsung di Sampang antara lain panitia pemilu tidak memberikan formulir C-1 kepada saksi PPP, tidak semua santri diberi hak suara, petugas mencoblos formulir suara untuk Golkar guna menutup selisih suara.

Akibat dari berbagai kecurangan yang dilakukan Panitia Pemilu, para pendukung PPP melakukan pembakaran kotak suara dan menuntut pemungutan suara ulang. Selain itu, mereka menuntut pemungutan suara ulang di 1.200 TPS di seluruh Pulau Madura karena masifnya kecurangan panitia pemilu yang berpihak ke Golkar. Protes ini berujung aksi massa yang melakukan perusakan sarana umum seperti kantor Bank, pos Polisi, toko-toko milik keturunan Cina, dan berakhir pada penghancuran Kantor Cabang Golkar di Sampang.

Kecurangan Pemilu dan Pilpres 2024

Potret kecurangan Pemilu 1997 ini sama dan sebangun dengan kecurangan yang terjadi dalam Pemilu/Pilpres 2024. Jika pada Pemilu 1997 kecurangan dilakukan pada tataran teknis, pada Pemilu 2024 kecurangan terindikasi dimulai dari pelanggaran konstitusi, undang-undang, dan hukum, serta pada proses pencapresan, debat capres, keberpihakan pada koalisi parpol, dan keberpihakan pada paslon tertentu. Aktor intelektual dari kecurangan-kecurangan itu, menurut Ferry Amsari (Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas), adalah Jokowi sendiri yang sejak awal menyatakan akan “cawe-cawe” dalam urusan Pemilu/Pilpres.

Pada Pemilu 1997, dugaan kecurangan partai penguasa Golkar hanya menggunakan birokrasi (Korpri), Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Keluarga Besar ABRI, dan afiliasinya sebagai penyumbang suara. Akan tetapi, pada Pemilu 2024, Organisasi Masyarakat Sipil (ICW, Themis Indonesia, AJI, dsb.), pada 12 Februari 2024 menyatakan telah menemukan indikasi kecurangan Pemilu 2024 pada setiap tahapan seperti mengerahkan Polri, TNI, Pegawai Negeri Sipil/ASN, Kepala Daerah (Pusat sampai Kelurahan) untuk menjadi operator dan pendukung kemenangan parpol dan paslon yang ia dukung. Hal itu termasuk menggunakan APBN dan fasilitas negara untuk mempercepat realisasi Bansos, BLT, Dana Desa, serta mempercepat pengangkatan dan kenaikan Gaji PNS.

Sama dengan Suharto, menurut Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto pada 10 Maret 2024, ada bukti-bukti program SIREKAP diubah untuk mematok perolehan suara Ganjar Mahfud 17 persen pada Pemilu 2024. “Desain perolehan suara ini dilakukan oleh sebuah kekuatan besar yang berada di belakang KPU," ujarnya. Namun, apa yang dilakukan Jokowi tidak etis dan bermoral seperti pemerintahan Suharto (Orde Baru) yang merupakan wujud pemerintah otoriter dengan mengangkangi hukum, tidak memedulikan etika, memaksakan kehendak, dan menjadikan Pemilu sebagai sarana melanggengkan kekuasaan keluarga dan kroninya. Hal ini disampaikan saat Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil pada 8 Februari 2024.

Guru Besar Turun Gunung

Pada Pemilu 1997, parpol pesertalah yang melakukan protes terhadap kecurangan sejak awal, proses kampanye, pemungutan suara, dan penghitungan suara. Tetapi pada Pemilu/Pilpres 2024, para Guru Besar dan Civitas Academica mengemukakan rasa prihatin atas adanya kebrutalan pelanggaran etika dan moral dengan memanipulasi konstitusi dan ketentuan peraturan perundangan. Selain itu, juga kemungkinan adanya kecurangan (fraud) dalam Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) dan lembaga yang bertanggungjawab terhadap pengembangan sistem (BSSN, BIN, dan Kemkominfo) yang diragukan kenetralannya.

Pemilu 1997 sudah selesai, Panitia Pemilu mengumumkan perolehan suara fiktif dari masing-masing provinsi sesuai arahan dari Tim Pemenangan Golkar. Dalam pertemuan penulis dengan pendiri Golkar, Dr. Ir Midian Sirait, ia mengakui apa yang diumumkan sama sekali tidak mengacu pada perolehan suara dari lapangan. Hasil Pemilu 1997 sesuai dengan rencana Golkar memperoleh suara lebih dari 70%, yakni 74,51%, PPP 22,43%, dan PDI 3,06%.

Namun, malang tidak bisa ditolak. Setelah DPR RI terbentuk berdasar Pemilu yang diselenggarakan pada 29 Maret 1997 itu, Indonesia dihajar Krisis Moneter parah yang menghabisi nilai rupiah. Panik mengatasi Krisis Moneter, Suharto yang baru dilantik menjadi presiden menaikkan tarif dasar listrik dan BBM. Sementara itu, untuk mengatasi krisis pangan, Suharto menganjurkan rakyat makan tiwul. Tingkat kemiskinan anjlok secara drastis, karena 180 juta rakyat sudah berada di bawah garis kemiskinan.

Gerakan Mahasiswa Mulai Sulit Dikendalikan

Sejak itu, Gerakan Mahasiswa yang mengangkat isu-isu sensitif mengarah kepada Suharto (perampasan tanah Tapos) sudah sulit dikendalikan oleh kekuatan militer dan polisi secara konvensional. Bulan Mei 1998 menjadi “the point of no return” bagi gerakan mahasiswa, menyusul dibentuknya Tim Mawar untuk melakukan penculikan terhadap para aktivis pada 7 Mei 1998.

Kalau melihat kuatnya kekuasaan Suharto yang sudah bertengger selama 35 tahun di pemerintahan, kenyataannya praktis hanya 20 hari antara tanggal 1 – 21 Mei 1998 ia ditumbangkan. Namun, pelemahan kekuatan Suharto sesungguhnya sudah terjadi sejak 1977/1978 atau selama 20 tahun lalu sejak ia melakukan pendudukan kampus. Dalam hal ini, adanya krisis ekonomi (Krisis Moneter) yang berdampak pada kehidupan kelas menengah ikut mempercepat kejatuhan rezim Suharto.

Yang juga mempercepat pematangan situasi adalah tuduhan kudeta pihak militer yang mengerahkan pasukan Kostrad (Saat itu Prabowo Subianto menjabat Pangkostrad) ke ibu kota tanpa sepengetahuan Panglima TNI. Oleh karena itu, saat Suharto ragu-ragu untuk mengundurkan diri sebagai presiden, tidak lama terjadi kerusuhan yang terstruktur dan sistemis antara tanggal 13 – 15 Mei 1998. Dramatisasi kedaruratan terus ditingkatkan dengan aksi melakukan pemerkosaan etnis Cina pada 16 Mei 1998 dan hengkangnya warga asing secara massal pada 17 Mei 1998 yang membuat Suharto benar-benar mengundurkan diri pada 21 Mei 1998.

Gerakan Mahasiswa Meningkat Setelah Pemilu 2024

Bangkitnya Reformasi Kedua yang lebih revolusif pada masa pemerintahan Jokowi mungkin sama dengan Reformasi Pertama, akan berlangsung setelah Pemilu/Pilpres usai. Kekecewaan atas kecurangan Pemilu/Pilpres 2024 terakumulasi seperti api dalam sekam yang bisa menjadi driving force lahirnya perlawanan mahasiswa dan masyarakat yang masif. Barangkali dialektikanya berbeda dengan munculnya Gerakan Mahasiswa 1978, tetapi ada momen krusial saat penetapan dan pelantikan “presiden baru” yang bisa memicu gerakan sosial besar secara nasional seperti sinyalemen Focus Group Discussion (FGD) Lemhanas yang dilakukan pada 12-15 Juli 2022.

Gerakan mahasiswa seperti mendapat darah baru karena adanya isu bahwa Presiden Jokowi sendiri yang menjadi otak dalam memorak-porandakan demokrasi, tata pemerintahan, dan tata negara. Melawan kekuatan otoriter seorang presiden ini mengingatkan isi pidato peraih Hadiah Nobel, Lech Walesa. “Hati nurani dan sikap manusia tidak dapat dilenyapkan atau dihancurkan. Mereka ada dan akan tetap ada. Kita ingin hidup dengan keyakinan bahwa hukum sejati berarti hukum yang benar-benar ditegakkan, dan keadilan sejati berarti keadilan yang benar-benar dijalankan," ujarnya.

Gerakan mahasiswa 2024 yang revolusif diperkirakan akan lebih militan daripada gerakan mahasiswa 1998 karena beberapa isu negatif yang berkembang. Isu-isu tersebut antara lain (1) tuduhan kebohongan-kebohongan Jokowi selama sepuluh tahun menjadi presiden, (2) janji-janji palsu dan pengkhianatan terhadap pendukungnya, (3) kebijakan-kebijakan semu di berbagai sektor, (4) membangun tirani berbasis pada oligarki, (5) menempatkan polisi sebagai alat represi, (6) menghancurkan tatanan hukum dan demokrasi, (7) ciptakan sistem pemilu curang untuk politik dinasti, (8) penyalahgunaan kekuasaan untuk memenangkan koalisi parpol/paslon tertentu, (9) tidak serius dan tidak becus berantas mafia tanah, (10) tidak menghormati suara Perguruan Tinggi dan anjuran para guru besar. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun