Pesan untuk COP Perubahan Iklim 2015 di Paris,
PERANG BHARATAYUDHA DALAM PERSPEKTIF ADVOKASI LINGKUNGAN
Kerusakan-kerusakan lingkungan hidup yang terjadi saat ini hanyalah bukti dari pergulatan pemikiran (discourses) masa lalu. Bahkan ramalan para ahli nujum atau peramal-peramal masa kejayaan kerajaan telah memperkirakan tentang kehancuran tata kehidupan dan lingkungan hidup sesudahnya seperti Nostradamus yang menerbitkan Les Propheties (1555). Di Indonesia ada Prabu Joyoboyo atau Raja Jayabaya yang memerintah Kerajaan Kediri tahun 1130 – 1160.
Gaya bertutur dan personifikasi atas pesan-pesan yang disampaikan oleh Jayabaya berbeda dengan bagaimana Naisbit menuliskan Megatrend 2000 yang bicara tentang prediksi atas perkembangan ilmu dan peradaban manusia ke depan. Francis Fukuyama yang menulis The End of Ideology mungkin paling pas dengan ramalan Jayabaya tentang pudarnya nilai-nilai lama dan munculnya moralitas baru. Hal ini sebenarnya pernah ditulis Clifford Geertz tentang terpecahnya keyakinan masyarakat Jawa ke dalam tiga “agama” yakni Abangan, Santri, dan Priyayi.
UNIVERSALISME BHARATAYUDHA
Pada waktu memerintah Kerajaan Kediri, hidup dua pujangga terkenal, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Walau Raja Jayabaya juga seorang peramal, tetapi ia pada tahun 1157 memerintahkan Mpu Sedah untuk menggubah Kitab Bharatayudha ke dalam bahasa Jawa Kuno. Sebelumnya Raja Airlangga juga memerintahkannya untuk menyadur Kitab Mahabarata yang berisi peperangan antara Pandawa dengan Kurawa yang diuraikan dalam Bharatayudha.
Bagian terpenting dari kisah perang antara dua kekuatan jahat dan baik (yang diwakili oleh Kurawa dan Pandawa) dikenal sebagai Bhagawadgita (Kidung Ilahi). Ajaran penasehat rohani Pandawa, Kresna, kepada Arjuna agar melaksanakan dan mengamalkan dharma sebagai seorang ksatria ada di dalamnya. Kalau kita menggali lebih jauh apa yang tercantum dalam Bharatayudha, maka visi yang terkandung di dalamnya sama dengan skenario kehidupan manusia dalam naskah-naskah futuristik yang ditulis oleh ilmuwan modern.
Thomas R Malthus jauh hari pada tahun 1798 pernah mencetuskan krisis demografi yang akan disusul dengan krisis pangan yang mematikan (An Essay on Princeple of Population). Pemikiran ini melawan tesis Adam Smith dalam “An Inquiry in the Nature and Causes of The Weath Nation” (1776) yang menyatakan bahwa kebebasan manusia dalam mengeksploitasi tidak perlu dikhawatirkan. Ia percaya bahwa secara instrinsik akan ada kekuatan atau tangan ketiga yang akan mengatur dan memberi hambatan, sehingga kebebasan tidak membuat kecelakaan bagi manusia sendiri.
Pertentangan dua teori ini ternyata juga digambarkan dalam Bharatayudha, yakni antara sifat ksatria yang mengutamakan keadilan dan keadaban, sifat angkara murka yang ingin memuaskan ego dan keserakahan. Dalam kontek perlakuan terhadap sumber daya alam, angkara murka memanifestasikan sifat untuk memiliki segala sesuatu dan melakukan eksploitasi tanpa batas yang mengakibatkan kekacauan dan kegoncangan (instability). Sedangkan sifat ksatria ingin memperlakukan sesuatu dengan aturan dan ukuran, serta berorientasi pada keadilan (equatibility).
Perang Bharatayudha terjadi akibat Kurawa menguasai tanah yang sebenarnya menjadi hak Pandawa. Keserakahan Kurawa ini boleh jadi memanifestasikan sikap bahwa segala sesuatu yang sudah diambil dari alam tidak lagi perlu dikembalikan. Yang dalam pemahaman ekologi dipandang sebagai sikap tidak menghargai jasa lingkungan atau alam bahwa sesuatu yang telah diambil tidak perlu dibayarkan kembali kepada alam. Lebih jelas lagi hal ini menggambarkan bahwa kaum Kurawa memandang alam tidak terbatas, sehingga tidak memerlukan kelestarian dan keberlanjutan (conservation and sustainability).
Sebaliknya pandangan seorang ksatria bahwa pemanfaatan alam harus diatur dan dilestarikan karena alam ada batasnya merupakan pandangan yang telah muncul lima dekade yang lalu. Pada tahun 1968 Aurolio Paccei (industrialis Italia) dan Alexander Raja (ilmuwan Skotlandia) membentuk Club of Rome bersama puluhan akademisi, masyarakat sipil, diplomat, dan industrialis. Kelompok ini pada tahun 1972 menerbitkan naskah bersejarah Limits to Growth yang berisi bahwa alam atau pertumbuhan ada batasnya.
Tetapi beberapa orang berseberangan dengan visi yang disampaikan Club of Rome yang dianggap meracuni anak-anak muda, sehingga menjadi tidak produktif dan kreatif. Pada tahun 1982 Lyndon H Larouche Jr menerbitkan naskah There are No Limits of Growth sebagai tanggapan atas Limits to Growth. Mereka mengecam habis-habisan Club of Rome, yang dituduh sebagai Neo-Malthusian dan mengatakan bahwa pernyataan sumber daya alam ada batasnya, adalah kabar bohong (hoax). Mereka kemudian memprakarsai pendirian Club of Life untuk menyaingi Club of Rome.
KETEGANGAN TANPA AKHIR
Pertentangan dua mazhab itu belum berakhir hingga kini, khususnya dalam menghadapi masalah lingkungan hidup global. Padahal beberapa kali kedua belah pihak bersama-sama telah menyelenggarakan pertemuan internasional atau Konferensi Tingkat Tinggi. Misalnya KTT Bumi Rio de Janiero yang diadakan pada tahun 1992 yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama yang mengikat bagi setiap negara.
KTT Bumi ini menghasilkan beberapa dokumen seperti Deklarasi Rio tentang lingkungan dan pembangunan, Agenda 21, dan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Selain itu juga beberapa konvensi seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Namun produk-produk dari konferensi yang diikuti oleh 108 kepala negara, 2.400 perwakilan LSM, dan 17.000 partisipan Forum Global itu; tidaklah secara konsisten diwujudkan.
Apabila melihat pada tingkat implementasi, boleh dikatakan pencapaian isi kesepakatan tersebut adalah nol besar. Negara Maju atau Blok Utara menentang konvensi-konvensi tersebut yang mayoritas didukung Negara Berkembang atau Blok Selatan. Kesepakatan bersama tersebut tentu tidak akan mungkin efektif terwujud jika sebagian negara tidak melaksanakan. Hal itu disebabkan karena setiap pelaksanaan prinsip-prinsip ekologi memiliki konsekuensi pertumbuhan ekonomi yang mendalam bagi setiap negara, khususnya Negara Maju.
Sebagai kelanjutan dari Konvensi Perubahan Iklim yang dihasilkan KTT Bumi di Rio de Janiero diadakan pertemuan lagi di Kyoto Jepang tahun 1997. Pada pertemuan ini dihasilkan Protokol Kyoto yang memuat kewajiban-kewajiban negara dalam melaksanakan kesepakatan tentang upaya mengatasi pemanasan global. Protokol ini didisain akan bersifat mengikat (binding) bagi negara-negara maju yang menanda-tanganinya.
Keseriusan masyarakat internasional dibuktikan dengan beberapa proses yang menyertainya. Setelah itu dilakukan lagi proses negosiasi pada pertemuan tahun 1997 dan bagi negara-negara yang belum menyepakati isinya diberi waktu satu tahun untuk berpikir dulu sebelum menanda-tanganinya (16 Maret 1998 – 15 Maret 1999). Protokol yang hanya menyepakati pengurangan suhu bumi global 0,02 derajat celcius dan penurunan suhu 0,28 derajat celcius pada tahun 2050 itu akhirnya mangkrak karena negara-negara maju menolak menyepakatinya.
Pada 2005 Protokol Kyoto telah diratifikasi oleh 141 negara yang mewakili 61% dari pelaku emisi termasuk Indonesia. Hingga Desember 2007 sudah 174 negara meratifikasi, namun 2 negara yakni Amerika Serikat dan Kazakstan tetap menolak ratifikasi, walau Australia akhirnya mau meratifikasi. Protokol Kyoto telah menetapkan beberapa target aksi penurunan emisi karbon yakni untuk tahun 2008 dan 2012. Pada Konferensi Perubahan Iklim ke-18 di Doha Qatar tahun 2012 disepakati untuk memperpanjang ratifikasi antara tahun 2013 – 2020. Namun pada Konferensi Perubahan Iklim Juni 2014 ternyata hanya 11 negara yang mau melakukan ratifikasi pada periode perpanjangan Protokol Kyoto Periode Komitmen Kedua.
KEGAGALAN PERUNDINGAN
Pertanyaannya, apakah konvensi yang disponsori oleh PBB tentang penurunan pemanasan global telah memiliki dampak signifikan? Padahal PBB ketika membentuk IPCC, yakni Panel Pemerintah tentang Perubahan Iklim, tahun 1988 memprediksi bahwa suhu global akan mengalami peningkatan 1,1 – 6,4 derajat selama abad ke-21. Sementara itu kini tahun 2015 telah dinyatakan merupakan tahun terpanas sejak 136 tahun lalu (1880 – 2015) oleh Profesor Adam Scaife dari Met Office Inggris.
Peningkatan suhu bumi ini telah melampaui tingkat aman. Pada tahun 2015 gelombang panas telah menewaskan 400.000 warga India. Suhu tertinggi tahun 2015 akan terjadi di wilayah Ghana, Venezuela, dan Kepulauan Pasifik; mungkin akan diperparah dengan terjadinya El Nino. Tahun 2014 – 2015 juga disebut-sebut merupakan periode dengan suhu terpanas di dunia.
Gejala peningkatan drastis suhu bumi terlihat dari pencairan gunung es di kutub selatan yang sudah berlangsung antara 2006 – 2009. Bongkahan es raksasa, berukuran 5 x 20 kilometer atau 2 kali luas Hongkong, bergerak dari Antartika menuju Selandia Baru. Bahkan pencairan gunung es ini menurut Neil Young sebenarnya sudah terjadi sejak 1931.
Pencairan gunung es di kutub akan meningkatkan permukaan air laut dan menyebabkan beberapa pulau tenggelam. Diperkirakan dalam 30 tahun ke depan sekitar 2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam yang menyebabkan jutaan penduduk yang tinggal di pesisir harus berpindah tempat. Peningkatan suhu di beberapa kota Indonesia sepanjang 1980 – 2002 meningkat antara 0,17 – 0,87 derajat celcius. Sementara lapisan es di gunung Jayawijaya setiap tahun mengalami pengurangan ketebalan 30 sentimeter. Pada tahun 2024 lapisan es setebal 30 meter di puncak Jaya, dipastikan oleh penelitian BMKG yang bekerjasama dengan Universitas Ohio AS, akan lenyap.
Peningkatan suhu global dapat dijadikan indikator dari buruknya pengelolaan atau kerusakan lingkungan yang terjadi sebelumnya yang menciptakan gas rumah kaca di atmosfir bumi. Aktivitas yang mengawali timbulnya gas rumah kaca antara lain adalah pembakaran gas alam, praktek negatif pengolahan lahan pertanian, produksi gas buangan industri, dan terjadinya deforestasi yang gila-gilaan. Kebijakan pemerintah yang keliru adalah biang keladi dari munculnya aktivitas yang destruktif terhadap alam dan lingkungan.
Namun harus diingat bahwa semua kebijakan pemerintah dan negara diputuskan berdasarkan haluan politik dan paradigma tentang lingkungan yang dianut. Negara-negara kapitalis liberal pasti akan membiarkan eksploitasi berlangsung bebas daripada membatasi kegiatan eksploitasi demi konservasi dan keberlanjutan. Indonesia adalah salah satu negara yang digambarkan seperti itu dengan tingkat deforestasi 2,5 juta hektar per tahun.
Jasson W Morre dalam Ecology and The Accumulation menyatakan neo-liberalisme-lah yang telah mempercepat perusakan lingkungan dari skala lokal menuju skala global. Perusakan lingkungan adalah bagian dari model pertumbuhan yang digenjot terus oleh negara-negara kapitalis. Menurut para kapitalis, lingkungan atau alam telah menyediakan rente yang harus diambil dan mereka yakin alam dapat memperbarui dirinya sendiri.
Di lain pihak penganut neo-liberal terus agresif mengambil segala urusan internasional dan memproduksi pseudoscience untuk menguatkan dalil-dalil eksploitasi dan menyelewengkan dalil-dalil konservasi yang sejati. Dalam “The Reality Behind Corporate Environmentalist” (1999), Jed Geer dan Kenny Bruno mengatakan bahwa sejak 1990 korporasi internasional semakin menguasai ekonomi dunia dan memperluas pasar mereka. Dalam kesempatan itu mereka berpura-pura tampil sebagai pelindung dan pelestari lingkungan serta pemimpin penghapusan kemiskinan. Konservasi yang mereka kembangkan adalah komersialisasi konservasi (commercialization of conservation) yang justru meningkatkan kerusakan alam.
LAKUKAN PERANG BHARATAYUDHA
Melihat kegagalan serangkaian advokasi terhadap perubahan iklim, maka derajat advokasi sudah harus ditingkatkan. Apalagi bahwa eksploitasi terhadap alam merupakan pilihan ideologis yang mempertaruhkan strategi dalam mempertahankan hidup-mati suatu rejim atau entitas negara. Advokasi tidak mungkin dilakukan dengan hanya membangun konvensi, melakukan konferensi, menyusun agenda aksi, atau menggiring para pihak bersepakat dengan membubuhkan tanda tangan.
Untuk memperbaiki lingkungan dibutuhkan satu perjuangan yang lebih jelas, tegas, dan positioning; kalau tidak boleh mengatakan untuk menetapkan siapa kawan dan siapa lawan dalam kontradiksi tesis-anti tesis. Harus diyakini bahwa menghadapi eksploitasi yang agresif dan kejahatan masif terhadap lingkungan, paradigma advokasi yang digunakan seharusnya adalah “perang”. Tidak perlu khawatir hal ini akan merupakan konfrontasi tanpa akhir, tetapi “perang” ini merupakan bagian dari upaya yang simultan antara perang dan damai atau konflik dan resolusinya.
Perundingan-perundingan internasional tentang pemanasan global dan pengurangan emisi karbon hanyalah upaya untuk mengulur-ulur waktu yang tak berkesudahan. Saat ini beberapa negara dan industri bahkan telah meninggalkan skema waktu Protokol Kyoto dan menginisiasi perjanjian-perjanjian bilateral terpisah dengan negara tertentu untuk mengurangi emisi melalui pola Carbon Fund. Mereka sebenarnya melakukan jenis perang pasif dengan melakukan gerilya langsung ke lapangan. Ahmadinedjad mengatakan: “Cara terbaik untuk melindungi lingkungan adalah berperang melawan ideologi penjarahan, tidak terbatas kapitalisme. Ini cara berpikir yang menyetarakan kehidupan manusia dengan konsumsi berlebihan sebagai satu pandangan yang salah yang akhirnya mengarah pada perusakan alam sepenuhnya”.
Hal itu berbeda dengan apa yang telah dilakukan Presiden Kostarika, Abel Pacheco, yang berperang dengan berani menutup praktek-praktek pertambangan terbuka. Pada bulan Juli 2002, ia membuat deklarasi damai terhadap alam dan lingkungan untuk membatalkan kontrak dengan pertambangan-pertambangan tersebut. Akibatnya Kostarika harus menghadapi pelaku pertambangan yang menggugat pemerintah Kostarika di pengadilan arbitrase internasional.
Perang yang dimaksudkan bak perang Bharatayudha, yang sesungguhnya bukanlah perang melawan musuh, tetapi perang antar keluarga sendiri karena perbedaan pandangan. Mereka harus berperang untuk menguji keampuhan dari prinsip-prinsip kehidupan (dharma) yang benar, sekalipun harus jatuh kurban di antara saudara sendiri. Inti dari Bharatayudha adalah Bhagawadgita yakni nasehat Sri Kresna kepada Arjuna yang ragu-ragu maju ke medan laga untuk berperang dengan saudara sendiri.
Sri Kresna di antaranya mengatakan:
- “Jalankan saja kewajibanmu, jangan mengharap hasil; jangan biarkan pahala menjadi motif tindakanmu; demikian pula jangan biarkan dirimu berdiam diri”.
- ”Ketika budimu melampaui kekeruhan ilusi, engkau akan sanggup bersikap seimbang pada apa yang kau dengar dan apa yang akan engkau dengar”.
- ”Lakukan apa yang mesti engkau lakukan, karena bekerja lebih baik daripada tidak berkerja. Bahkan keberlangsungan hidup fisikmu tak akan bisa bertahan tanpa kerja”.
- ”Apapun yang dilakukan orang besar akan diikuti masyarakatnya. Teladan apapun yang ia berikan akan ditiru seluruh dunia”.
- ”Setelah menyadari kewajibanmu sendiri, engkau tak boleh ragu. Tak ada yang lebih baik bagi seorang kesatria selain maju berperang demi menjalankan kewajiban”.
- ”Orang bijak bertindak sesuai dengan sifat dasarnya. Semua makhluk hidup pun mengikuti sifat dasar mereka. Apa yang bisa diselesaikan dengan paksaan?”.
- “Cinta dan kebencian pada suatu objek keinginan terletak pada objek keinginan itu sendiri. Janganlah menyerah pada keduanya, sebab keduanya adalah pernghalang belaka”.
- ”Dia yang menguasai diri yang telah bebas dari hasrat keinginan dan amarah serta telah menguasai pikiran dan mencapai pengetahuan tentang Diri akan beroleh kebahagiaan tertinggi dalam Tuhan”.
Ir. Sukmadji Indro Tjahyono, Koordinator Relawan Jokowi-JK dan Koordinator Jaringan Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia/SKEPHI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H