Mohon tunggu...
Ir. Sukmadji Indro Tjahyono
Ir. Sukmadji Indro Tjahyono Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Sosial, Politik, dan Militer

Eksponen Gerakan Mahasiswa Angkatan 1977-1978 dan Pengarah Jaringan Aktivis Lintas Angkatan (JALA). Menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menjadi Presidium Pejabat Ketua Dewan Mahasiswa ITB pada 1977. Selama berkuliah, aktif dalam gerakan mahasiswa serta ditahan dan diadili pada 1978. Dalam pengadilan, ia menuliskan pleidoi legendarisnya, berjudul Indonesia di Bawah Sepatu Lars. Pernah menjabat Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bidang IPTEK dan Lingkungan Hidup (2000). Sampai saat ini, Indro aktif dalam organisasi lingkungan hidup (SKEPHI) yang peduli dengan kelestarian hutan dan sumber daya air. Di samping itu, berminat dengan isu Hak Asasi Manusia, sosial, politik, dan militer.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pesan untuk Cop Perubahan Iklim 2015 di Paris, Perang Bharatayudha dalam Perspektif Advokasi Lingkungan

1 Desember 2015   15:59 Diperbarui: 1 Desember 2015   17:23 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gejala peningkatan drastis suhu bumi terlihat dari pencairan gunung es di kutub selatan yang sudah berlangsung antara 2006 – 2009. Bongkahan es raksasa, berukuran 5 x 20 kilometer atau 2 kali luas Hongkong, bergerak dari Antartika menuju Selandia Baru. Bahkan pencairan gunung es ini menurut Neil Young sebenarnya sudah terjadi sejak 1931.

Pencairan gunung es di kutub akan meningkatkan permukaan air laut dan menyebabkan beberapa pulau tenggelam. Diperkirakan dalam 30 tahun ke depan sekitar 2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam yang menyebabkan jutaan penduduk yang tinggal di pesisir harus berpindah tempat. Peningkatan suhu di beberapa kota Indonesia sepanjang 1980 – 2002 meningkat antara 0,17 – 0,87 derajat celcius. Sementara lapisan es di gunung Jayawijaya setiap tahun mengalami pengurangan ketebalan 30 sentimeter. Pada tahun 2024 lapisan es setebal 30 meter di puncak Jaya, dipastikan oleh penelitian BMKG yang bekerjasama dengan Universitas Ohio AS, akan lenyap.

Peningkatan suhu global dapat dijadikan indikator dari buruknya pengelolaan atau kerusakan lingkungan yang terjadi sebelumnya yang menciptakan gas rumah kaca di atmosfir bumi. Aktivitas yang mengawali timbulnya gas rumah kaca antara lain adalah pembakaran gas alam, praktek negatif pengolahan lahan pertanian, produksi gas buangan industri, dan terjadinya deforestasi yang gila-gilaan. Kebijakan pemerintah yang keliru adalah biang keladi dari munculnya aktivitas yang destruktif terhadap alam dan lingkungan.

Namun harus diingat bahwa semua kebijakan pemerintah dan negara diputuskan berdasarkan haluan politik dan paradigma tentang lingkungan yang dianut. Negara-negara kapitalis liberal pasti akan membiarkan eksploitasi berlangsung bebas daripada membatasi kegiatan eksploitasi demi konservasi dan keberlanjutan. Indonesia adalah salah satu negara yang digambarkan seperti itu dengan tingkat deforestasi 2,5 juta hektar per tahun.

Jasson W Morre dalam Ecology and The Accumulation menyatakan neo-liberalisme-lah yang telah mempercepat perusakan lingkungan dari skala lokal menuju skala global. Perusakan lingkungan adalah bagian dari model pertumbuhan yang digenjot terus oleh negara-negara kapitalis. Menurut para kapitalis, lingkungan atau alam telah menyediakan rente yang harus diambil dan mereka yakin alam dapat memperbarui dirinya sendiri.

Di lain pihak penganut neo-liberal terus agresif mengambil segala urusan internasional dan memproduksi pseudoscience untuk menguatkan dalil-dalil eksploitasi dan menyelewengkan dalil-dalil konservasi yang sejati. Dalam “The Reality Behind Corporate Environmentalist” (1999), Jed Geer dan Kenny Bruno mengatakan bahwa sejak 1990 korporasi internasional semakin menguasai ekonomi dunia dan memperluas pasar mereka. Dalam kesempatan itu mereka berpura-pura tampil sebagai pelindung dan pelestari lingkungan serta pemimpin penghapusan kemiskinan. Konservasi yang mereka kembangkan adalah komersialisasi konservasi (commercialization of conservation) yang justru meningkatkan kerusakan alam.

LAKUKAN PERANG BHARATAYUDHA

Melihat kegagalan serangkaian advokasi terhadap perubahan iklim, maka derajat advokasi sudah harus ditingkatkan. Apalagi bahwa eksploitasi terhadap alam merupakan pilihan ideologis yang mempertaruhkan strategi dalam mempertahankan hidup-mati suatu rejim atau entitas negara. Advokasi tidak mungkin dilakukan dengan hanya membangun konvensi, melakukan konferensi, menyusun agenda aksi, atau menggiring para pihak bersepakat dengan membubuhkan tanda tangan.

Untuk memperbaiki lingkungan dibutuhkan satu perjuangan yang lebih jelas, tegas, dan positioning; kalau tidak boleh mengatakan untuk menetapkan siapa kawan dan siapa lawan dalam kontradiksi tesis-anti tesis. Harus diyakini bahwa menghadapi eksploitasi yang agresif dan kejahatan masif terhadap lingkungan, paradigma advokasi yang digunakan seharusnya adalah “perang”. Tidak perlu khawatir hal ini akan merupakan konfrontasi tanpa akhir, tetapi “perang” ini merupakan bagian dari upaya yang simultan antara perang dan damai atau konflik dan resolusinya.

Perundingan-perundingan internasional tentang pemanasan global dan pengurangan emisi karbon hanyalah upaya untuk mengulur-ulur waktu yang tak berkesudahan. Saat ini beberapa negara dan industri bahkan telah meninggalkan skema waktu Protokol Kyoto dan menginisiasi perjanjian-perjanjian bilateral terpisah dengan negara tertentu untuk mengurangi emisi melalui pola Carbon Fund. Mereka sebenarnya melakukan jenis perang pasif dengan melakukan gerilya langsung ke lapangan. Ahmadinedjad mengatakan: “Cara terbaik untuk melindungi lingkungan adalah berperang melawan ideologi penjarahan, tidak terbatas kapitalisme. Ini cara berpikir yang menyetarakan kehidupan manusia dengan konsumsi berlebihan sebagai satu pandangan yang salah yang akhirnya mengarah pada perusakan alam sepenuhnya”.

Hal itu berbeda dengan apa yang telah dilakukan Presiden Kostarika, Abel Pacheco, yang berperang dengan berani menutup praktek-praktek pertambangan terbuka. Pada bulan Juli 2002, ia membuat deklarasi damai terhadap alam dan lingkungan untuk membatalkan kontrak dengan pertambangan-pertambangan tersebut. Akibatnya Kostarika harus menghadapi pelaku pertambangan yang menggugat pemerintah Kostarika di pengadilan arbitrase internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun