Mohon tunggu...
Ir. Sukmadji Indro Tjahyono
Ir. Sukmadji Indro Tjahyono Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Sosial, Politik, dan Militer

Eksponen Gerakan Mahasiswa Angkatan 1977-1978 dan Pengarah Jaringan Aktivis Lintas Angkatan (JALA). Menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menjadi Presidium Pejabat Ketua Dewan Mahasiswa ITB pada 1977. Selama berkuliah, aktif dalam gerakan mahasiswa serta ditahan dan diadili pada 1978. Dalam pengadilan, ia menuliskan pleidoi legendarisnya, berjudul Indonesia di Bawah Sepatu Lars. Pernah menjabat Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bidang IPTEK dan Lingkungan Hidup (2000). Sampai saat ini, Indro aktif dalam organisasi lingkungan hidup (SKEPHI) yang peduli dengan kelestarian hutan dan sumber daya air. Di samping itu, berminat dengan isu Hak Asasi Manusia, sosial, politik, dan militer.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Pesan untuk Cop Perubahan Iklim 2015 di Paris, Perang Bharatayudha dalam Perspektif Advokasi Lingkungan

1 Desember 2015   15:59 Diperbarui: 1 Desember 2015   17:23 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi beberapa orang berseberangan dengan visi yang disampaikan Club of Rome yang dianggap meracuni anak-anak muda, sehingga menjadi tidak produktif dan kreatif. Pada tahun 1982 Lyndon H Larouche Jr menerbitkan naskah There are No Limits of Growth sebagai tanggapan atas Limits to Growth. Mereka mengecam habis-habisan Club of Rome, yang dituduh sebagai Neo-Malthusian dan mengatakan bahwa pernyataan sumber daya alam ada batasnya, adalah kabar bohong (hoax). Mereka kemudian memprakarsai pendirian Club of Life untuk menyaingi Club of Rome.

KETEGANGAN TANPA AKHIR

Pertentangan dua mazhab itu belum berakhir hingga kini, khususnya dalam menghadapi masalah lingkungan hidup global. Padahal beberapa kali kedua belah pihak bersama-sama telah menyelenggarakan pertemuan internasional atau Konferensi Tingkat Tinggi. Misalnya KTT Bumi Rio de Janiero yang diadakan pada tahun 1992 yang menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bersama yang mengikat bagi setiap negara.

KTT Bumi ini menghasilkan beberapa dokumen seperti Deklarasi Rio tentang lingkungan dan pembangunan, Agenda 21, dan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Selain itu juga beberapa konvensi seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Namun produk-produk dari konferensi yang diikuti oleh 108 kepala negara, 2.400 perwakilan LSM, dan 17.000 partisipan Forum Global itu; tidaklah secara konsisten diwujudkan.

Apabila melihat pada tingkat implementasi, boleh dikatakan pencapaian isi kesepakatan tersebut adalah nol besar. Negara Maju atau Blok Utara menentang konvensi-konvensi tersebut yang mayoritas didukung Negara Berkembang atau Blok Selatan. Kesepakatan bersama tersebut tentu tidak akan mungkin efektif terwujud jika sebagian negara tidak melaksanakan. Hal itu disebabkan karena setiap pelaksanaan prinsip-prinsip ekologi memiliki konsekuensi pertumbuhan ekonomi yang mendalam bagi setiap negara, khususnya Negara Maju.

Sebagai kelanjutan dari Konvensi Perubahan Iklim yang dihasilkan KTT Bumi di Rio de Janiero diadakan pertemuan lagi di Kyoto Jepang tahun 1997. Pada pertemuan ini dihasilkan Protokol Kyoto yang memuat kewajiban-kewajiban negara dalam melaksanakan kesepakatan tentang upaya mengatasi pemanasan global. Protokol ini didisain akan bersifat mengikat (binding) bagi negara-negara maju yang menanda-tanganinya.

Keseriusan masyarakat internasional dibuktikan dengan beberapa proses yang menyertainya. Setelah itu dilakukan lagi proses negosiasi pada pertemuan tahun 1997 dan bagi negara-negara yang belum menyepakati isinya diberi waktu satu tahun untuk berpikir dulu sebelum menanda-tanganinya (16 Maret 1998 – 15 Maret 1999). Protokol yang hanya menyepakati pengurangan suhu bumi global 0,02 derajat celcius dan penurunan suhu 0,28 derajat celcius pada tahun 2050 itu akhirnya mangkrak karena negara-negara maju menolak menyepakatinya.

Pada 2005 Protokol Kyoto telah diratifikasi oleh 141 negara yang mewakili 61% dari pelaku emisi termasuk Indonesia. Hingga Desember 2007 sudah 174 negara meratifikasi, namun 2 negara yakni Amerika Serikat dan Kazakstan tetap menolak ratifikasi, walau Australia akhirnya mau meratifikasi. Protokol Kyoto telah menetapkan beberapa target aksi penurunan emisi karbon yakni untuk tahun 2008 dan 2012. Pada Konferensi Perubahan Iklim ke-18 di Doha Qatar tahun 2012 disepakati untuk memperpanjang ratifikasi antara tahun 2013 – 2020. Namun pada Konferensi Perubahan Iklim Juni 2014 ternyata hanya 11 negara yang mau melakukan ratifikasi pada periode perpanjangan Protokol Kyoto Periode Komitmen Kedua.

KEGAGALAN PERUNDINGAN

Pertanyaannya, apakah konvensi yang disponsori oleh PBB tentang penurunan pemanasan global telah memiliki dampak signifikan? Padahal PBB ketika membentuk IPCC, yakni Panel Pemerintah tentang Perubahan Iklim, tahun 1988 memprediksi bahwa suhu global akan mengalami peningkatan 1,1 – 6,4 derajat selama abad ke-21. Sementara itu kini tahun 2015 telah dinyatakan merupakan tahun terpanas sejak 136 tahun lalu (1880 – 2015) oleh Profesor Adam Scaife dari Met Office Inggris.

Peningkatan suhu bumi ini telah melampaui tingkat aman. Pada tahun 2015 gelombang panas telah menewaskan 400.000 warga India. Suhu tertinggi tahun 2015 akan terjadi di wilayah Ghana, Venezuela, dan Kepulauan Pasifik; mungkin akan diperparah dengan terjadinya El Nino.  Tahun 2014 – 2015 juga disebut-sebut merupakan periode dengan suhu terpanas di dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun