Mohon tunggu...
Ir. Sukmadji Indro Tjahyono
Ir. Sukmadji Indro Tjahyono Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Sosial, Politik, dan Militer

Eksponen Gerakan Mahasiswa Angkatan 1977-1978 dan Pengarah Jaringan Aktivis Lintas Angkatan (JALA). Menempuh pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menjadi Presidium Pejabat Ketua Dewan Mahasiswa ITB pada 1977. Selama berkuliah, aktif dalam gerakan mahasiswa serta ditahan dan diadili pada 1978. Dalam pengadilan, ia menuliskan pleidoi legendarisnya, berjudul Indonesia di Bawah Sepatu Lars. Pernah menjabat Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Bidang IPTEK dan Lingkungan Hidup (2000). Sampai saat ini, Indro aktif dalam organisasi lingkungan hidup (SKEPHI) yang peduli dengan kelestarian hutan dan sumber daya air. Di samping itu, berminat dengan isu Hak Asasi Manusia, sosial, politik, dan militer.

Selanjutnya

Tutup

Money

Ratap Tangis Petani di Hari Pangan: Lakukan Slowdown, Bulog Bisa Dituding Sabot Nawacita

19 Oktober 2015   17:23 Diperbarui: 19 Oktober 2015   18:33 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kelima, dengan paradigmanya sebagai badan usaha, Bulog akan tunduk pada prinsip-prinsip neolib (neoliberalism) yakni memandang pangan sebagai benda ekonomi (komoditas) semata bukan sebagai benda sosial, yakni pangan bagian dari hajat hidup orang banyak. Bulog seharusnya mempertahankan nilai gizi beras yang didistribusikan, tetapi bukan beras raskin yang hanya layak dijadikan pakan ternak.

Kelima indikator tersebut merupakan hambatan utama, yang membuat Bulog gagal mewujudkan kedaulatan pangan dan Nawacita. Bahkan selama satu tahun di bawah pemerintahan Jokowi – JK, Bulog kurang responsif terhadap kondisi stock dan dinamika harga gabah/beras yang terjadi di lapangan. Selama satu tahun, kendati telah dua kali Direktur Utama diganti, kinerja Bulog dalam penyediaan beras dan menciptakan kesejahteraan petani masih dipertanyakan.

Mitos bahwa Bulog berusaha sekuat tenaga menampung produksi gabah/beras ternyata isapan jempol belaka. Padahal Bulog telah bekerjasama dengan TNI untuk menjaga stock. Namun pada saat Danrem di provinsi Nusa Tenggara Barat berhasil menyiapkan gabah/beras petani, dengan berbagai alasan justru Bulog menolak.

HPP sebagai Sumber Malapetaka

Kinerja Bulog yang kurang responsif dan loyo ini bisa menimbulkan tudingan bahwa Bulog sedang menjalankan skenario pelemahan institusi secara disengaja, sehingga membuka peluang untuk mengahalalkan impor beras dan berlangsungnya liberalisasi pangan. Masalahnya selama hampir 50 tahun lebih, Bulog tidak mengakumulasikan pengalamannya menjadi “ilmu pangan” yang paripurna sebagai modalitas dalam memperbaiki kebijakan-kebijakannya. Di lain pihak kinerja Bulog dalam pengawasan; seperti monitoring, supervising, controlling, auditing; dibiarkan terus mengendor.

Kelangkaan stock yang terjadi pada tahun 2015, adalah konsekuensi dari keterlambatan ditetapkan HPP. HPP yang seharusnya dikeluarkan bulan Oktober 2014 baru diumumkan pada bulan Maret 2015. Padahal bulan Maret merupakan bulan bagi petani memasuki musim tanam kedua. Akhirnya pemerintah tidak melakukan stimulasi produksi gabah dan beras yang efektif serta melakukan penyerapan yang berarti untuk peningkatan stock.

HPP yang seharusnya dapat mendorong penyerahan produk gabah dan beras petani, justru menjadi batu penghalang bagi petani. HPP yang selama ini dituntut tidak bersifat tunggal tetap diberlakukan Bulog dengan nilai yang sangat rendah yang tidak layak untuk menghargai gabah/beras petani. HPP tersebut disama-ratakan untuk semua daerah dan semua kualitas gabah/beras petani. Selain itu kualitas yang dipersyaratkan tidak mungkin dipenuhi petani, khususnya terhadap derajat sosoh yang hanya bisa dipenuhi oleh mesin penggilingan moderen.

Bulog tidak menganggap HPP sebagai instrumen penting dalam sistem pangan nasional. Sebaliknya HPP justru dimanfaatkan untuk memberi peluang liberalisasi pasar dan alat dalam mencapai kepentingan mafia pangan. Keterlambatan penetapan dan besarnya HPP justru menghasilkan output yang berlawanan dengan hakekat didirikannya Bulog, yakni kelangkaan stock dan harga beras yang tinggi.

Hasilnya akhirnya benar-benar sesuai dengan harapan para mafia pangan, yakni dikeluarkannya kebijakan Bulog untuk melakukan impor beras. Kebijakan tersebut ditetapkan tanpa data yang cukup dan analisis yang cermat, tetapi berdasarkan isu yang beredar di surat kabar. Sedangkan informasi yang ada di surat kabar, kemungkinan besar merupakan informasi pesanan dari para mafia pangan. Hal ini sepertinya sejalan dengan sikap ogah-ogahan Bulog dalam membangun dan memanfaatkan sistem monitoring stock, harga, dan iklim/musim bebasis IT.

Kiat-kiat Mempermainkan Data

Lemahnya sikap responsif dan antisipatif Bulog dibayang-bayangi pula oleh pemberitaan tentang El Nino. Kendati ada analisis yang menyatakan dampak El Nino akan memuncak pada bulan Oktober dan November 2015 bahkan ada yang menyatakan akan berpengaruh sampai bulan Mei 2016, tetapi Bulog tetap saja tidak memiliki informasi yang akurat tentang stock gabah/beras yang tersedia baik yang ada di gudang, di petani, maupun pada area persawahan. El Nino tentu kurang berdampak pada sawah-sawah beririgasi teknis dengan sumber air memadai yang ditunjang oleh waduk/bendungan yang masih memiliki cadangan air yang cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun