KEGAGALAN EVOLUSI BUDAYA
Dengan menyatakan bahwa persoalan asap dan kebakaran hutan adalah hasil dari tindakan manusia bukan dalam arti orang per orang tetapi dalam arti kolektif, maka timbul pertanyaan jangan-jangan kebakaran hutan ada kaitannya dengan tingkat keberadaban (civilization) dari bangsa ini. Pertanyaannya, apakah dalam evolusi kebudayaan menurut Newel Roy Sims, kita sudah tergolong memiliki peradaban lebih tinggi (more highly civilized people) atau justru lebih rendah (less highly civilized people) dengan asumsi semua orang umumnya sudah cukup beradab (civilized people). Hal ini sangat penting, karena Huntington mengatakan peradaban inilah yang membedakan manusia dengan spesies lain (destinguish humans from other spesies).
Evolusi kebudayaan Indonesia selama ini memang seperti berlangsung secara chaostic atau berantakan, karena tidak ada pemimpin yang mau bertanggung-jawab dalam gerakan membangun peradaban bangsa. Setelah Bung Karno dikudeta, praktis program membangun karakter (character building) tersungkur. Hanya Suharto saja yang mencoba-coba membangun budaya Indonesia dan menggagas manusia Indonesia yang seutuhnya sebagai suatu mosaik kepribadian amorf minus jati diri. Pemimpin paska reformasi justru memberi angin terhadap timbulnya liberalisme atau budaya pasar.
PEMBAKARAN HUTAN ADALAH BENTUK BUDAYA KEKERASAN
Dalam pada itu tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa ditentukan oleh faktor pendidikan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta keadaban moral. Keadaban moral terdiri dari nilai-nilai kesusilaan, norma-norma, etika, dan estetika. Nilai kesusilaan adalah suatu nilai yang diterima sebagai hal yang wajar dalam satu entitas masyarakat. Norma adalah aturan, ukuran, atau pedoman dalam menetapkan benar dan salah serta baik dan buruk dari fenomena kehidupan. Etika adalah perilaku yang diatur oleh norma-norma untuk mewujudkan tata susila atau sopan santun. Sedangkan estetika adalah kepedulian untuk mewujudkan keindahan yang meliputi kesatuan (unity), keselarasan (balance), dan kebalikan (contrast).
Namun faktor yang paling crucial dari peradaban bukanlah pendidikan atau penguasaan iptek, tetapi adalah faktor keadaban moral dalam memperlakukan obyek di lingkungan sekitar. Fyodor Dostoevsky berteori, jika ingin mengukur dengan mudah tingkat keberadaban dapat dibuktikan dengan memasukkan pesakitan ke dalam penjara (the degree of civilization can be just by entering its prisons). Pemerasan, penyiksaan, sadisme, barbarisme yang terjadi di penjara dapat menjadi barometer dari peradaban. Keberadaban, dengan demikian sangat terkait dengan toleransi atas praktek-praktek budaya kekerasan yang ada di masyarakat.
KEMBALI KE MASA PRASEJARAH
Dalam tulisan ini kita pun bisa katakan keberadaban dapat diukur dari bagaimana hutan dan lingkungan hidup diperlakukan. Pembakaran hutan dan bencana asap seolah memundurkan peradaban bangsa ini ke peradaban prasejarah tatkala tulisan atau aksara belum dikenal. Praktek-praktek budaya kekerasan, yang dalam hal ini adalah pembakaran hutan, menunjukkan masih kaburnya transformasi harkat kita sebagai makhluk apakah kita masih tergolong homo erectus, atau kita sudah menjadi homo sapiens yang sesungguhnya.
Kapankah pembakaran hutan sebagai bagian dari budaya kekerasan akan berakhir? Dave Kajganich dalam penggalan dialog pada film besutannya The Invasion mengatakan where human beings ceased to be human, yakni mungkin di mana manusia sudah tidak lagi menjadi manusia.***
Oleh: Ir. S. Indro Tjahyono, Koordinator Relawan Jokowi – JK
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI