Apalagi jika ada kaitan erat antara kebijakan impor pangan dengan kekuasaan politik, maka impor pangan akan menjadi perilaku elit yang edicted (nagih). Belum hilang ingatan kita bagaimana Bulog berpuluh tahun menjadi ATM dari partai-partai berkuasa. Selain itu muncul pula skandal perijinan daging dan sapi impor oleh oknum petinggi partai tertentu. Semua ini membuktikan masih suburnya mentalitas calo di kalangan pejabat dan para kroninya.
Jika saat ini pemerintah mencanangkan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), maka program ini tentu akan kandas. Apa artinya petani Indonesia berdaulat di bidang pangan dengan menguasai seluruh rantai produksi pangan, jika keran impor pangan terus dibiarkan mengocor. Ibaratnya pembukaan keran impor pangan tanpa kendali tersebut akan menggembosi UU Nomor 41 Tahun 2009 yang sebenarnya sudah pula ditindak-lanjuti dengan macam-macam peraturan pemerintah (PP) yang dikeluarkan antara tahun 2011 – 2012.
Apalagi UU Nomor 41 Tahun 2009 tersebut tidak memiliki insentif yang handal dalam mempengaruhi petani untuk mempertahankan tanahnya agar tetap digunakan bagi pertanian pangan. Pasalnya, nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan sangat rendah, sedangkan peraturan perundangan bidang pangan tidak pernah lebih jauh menyentuh faktor-faktor produksi mendasar dan indek harga (IT/IB) petani tanaman pangan. Pada bulan Agustus 2015, NTP di beberapa provinsi menurun. Hal ini tentu akan menurunkan ekspektasi bagi mereka yang hidup dari pertanian pangan.
DAMPAK RENTE YANG BRUTAL
Semua ini kalau dirunut akan sampai pada pertanyaan, sejauh mana pemerintah benar-benar memiliki keberpihakan atas pertanian pangan? Negara-negara maju, seperti Jepang, Korea, Amerika, Australia, Selandia Baru, dan negara-negara Eropa; berhasil karena mendahulukan pangan sebagai modalitas untuk mendongkrak kemajuan di sektor-sektor lain. Beberapa negara maju lain yang kaya akan sumber daya alam, walau tidak mengawali dengan pembangunan pertanian pangan, tetapi mereka sadar membutuhkan modal yang bisa diakumulasikan untuk pembangunan ekonominya.
Tetapi Indonesia yang berada di katulistiwa, yang memiliki potensi pertanian sangat besar, ternyata menyia-nyiakannya sampai saat ini. Sedangkan sumber daya alam pun menjadi korban perburuan rente yang brutal, tanpa mampu mengakumulasikan nilai tambah apapun. Sangat menyedihkan jika saat ini kita malahan menjadi negara yang terus bergantung pada negara pemberi hutang pada peringkat 8 di dunia dengan jumlah hutang 30 triliun rupiah.
Penghargaan yang rendah terhadap potensi pertanian dan sumber daya alam bersamaan dengan mental korup yang melanda elit kekuasaan dan birokrasi menyebabkan hasil pembangunan tidak terakumulasi sebagai devisa yang solid untuk membiayai pembangunan. Tingkat kebocoran akibat korupsi dalam pembelanjaan serta pemasukan devisa dan pajak, menurut ICW adalah sebesar 10% dari APBN. Kalau nilai APBN 1.800 triliun rupiah, maka kebocoran dalam 1 tahun adalah 180 triliun rupiah.
POSISI INDONESIA DI BAWAH TITIK NADIR
Setelah tujuh puluh tahun, Indonesia juga masih dikategorikan sebagai negara gagal (peringkat ke 63 dari 178 negara gagal). Dalam hal ini Indonesia masih kalah dari Thailand (84), Vietnam (96), Malaysia (110), Brunei Darussalam (123), dan Singapura (157). Dalam hal korupsi, walau skor indeks korupsi Indonesia naik dari 32 menjadi 34, tetapi Indonesia masih jauh di bawah Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Sedangkan di antara negara-negara ASEAN, peringkat daya saing sumber daya manusia masih berada di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina.***
Â
Ir. S. Indro Tjahyono, Koordinator Relawan Jokowi – JK