Mohon tunggu...
sindirohliani
sindirohliani Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berdamai Dengan Takdir

21 November 2024   13:11 Diperbarui: 21 November 2024   13:29 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah kota yang ramai , di antara gedung-gedung tinggi dan jalanan yang padat, hidup seorang pria muda bernama Ardi. Ia bekerja sebagai seorang karyawan kantoran yang setiap hari terjebak dalam rutinitas monoton. Pagi-pagi, ia sudah berdiri di depan pintu rumah, menunggu angkutan umum yang selalu penuh sesak. Tidak jarang ia harus berdiri selama perjalanan panjang menuju kantor.

Satu hal yang selalu mengganggu pikirannya adalah ketidakadilan yang ia rasakan setiap hari. Ia melihat orang-orang kaya dengan mudahnya mendapat semua yang mereka inginkan, sementara ia seorang pekerja keras dan terjatuh dalam hidup yang terasa penuh perjuangan dan beban. Setiap hari, ia merasa semakin lelah, semakin kesal.

Suatu sore, setelah pulang kerja, Ardi berhenti di sebuah warung kopi kecil. Di sana, seorang lelaki tua duduk sendirian, mengenakan pakaian lusuh dan topi yang tampaknya sudah lama tidak dicuci. Ardi tak sengaja duduk di meja yang sama, dan mereka pun berbincang.

"Anak muda, kamu tampaknya lelah sekali," kata lelaki tua itu sambil mengisap rokoknya. "Apa yang membuatmu begitu letih?"

Ardi menghela napas panjang. "Dunia ini memang jahat, Pak. Tidak adil. Ada orang yang hidupnya enak, punya segalanya, sementara kita yang bekerja keras justru terus-menerus dihimpit kesulitan. Apa salah kami? Kenapa selalu terasa ada yang menghalangi jalan kami?"

Lelaki tua itu tersenyum, senyum yang lembut namun penuh makna. "Anak muda, kamu benar, dunia ini memang penuh ketidakadilan. Tidak semua orang diperlakukan dengan adil. Tetapi, kamu tahu apa yang lebih jahat dari dunia ini?"

Ardi mengernyit. "Apa itu, Pak?"

"Ketika kita menyerah karena merasa lemah," jawab lelaki tua itu. "Dunia bisa jadi kejam, memang. Tapi yang membuat kita benar-benar terhimpit adalah perasaan kita bahwa kita tidak bisa menghadapinya."

Ardi terdiam, tidak mengerti sepenuhnya. "Maksud Bapak?"

Lelaki tua itu menatap Ardi dalam-dalam. "Coba kamu lihat aku. Aku mungkin tidak punya banyak harta, tapi aku hidup dengan prinsip bahwa setiap kesulitan adalah ujian untuk membuat kita lebih kuat. Aku sudah melalui banyak hal dalam hidupku kehilangan, kegagalan, kemiskinan tapi aku tidak membiarkan itu membuatku kalah. Dunia ini tidak memberi kita banyak pilihan, anak muda, tetapi kita bisa memilih bagaimana kita bereaksi terhadapnya. Kekuatan itu ada dalam diri kita, bukan di luar sana."

Ardi terdiam, mencerna kata-kata lelaki tua itu. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia merasa ada secercah cahaya di ujung jalan. "Tapi, bagaimana kita bisa merasa cukup kuat untuk menghadapinya? Aku merasa selalu lelah, Pak."

Lelaki tua itu tersenyum lagi, kali ini dengan senyuman yang lebih lebar. "Dengan menerima kenyataan bahwa kita bukanlah mesin yang tak pernah lelah. Dengan memberi ruang untuk istirahat, untuk bernafas. Dengan tidak menyalahkan dunia karena kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi lebih kepada menerima dan berusaha untk terus bangkit. Ketika kamu menerima bahwa kelemahanmu adalah bagian dari dirimu, kamu akan lebih kuat untuk melawan."

Ardi terdiam, merenung. Kata-kata lelaki tua itu begitu sederhana, tapi terasa sangat dalam. Ia merasa selama ini dirinya selalu menganggap dunia sebagai musuh, padahal yang ia lawan sesungguhnya adalah dirinya sendiri kelemahannya, ketakutannya, rasa tidak cukup yang selalu menghantuinya.

Hari-hari berikutnya, Ardi mencoba untuk tidak terlalu keras pada dirinya. Ia mulai menulis jurnal, menuliskan segala perasaan dan keluhannya. Ia mulai belajar untuk memberi diri ruang untuk bersantai dan mengingat kembali mengapa ia memulai perjuangannya bukan hanya untuk mencapai tujuan, tetapi untuk menjadi lebih baik di setiap langkah, meskipun dunia tidak selalu berpihak padanya.

Suatu hari, saat beristirahat di sebuah taman, Ardi bertemu lagi dengan lelaki tua itu. Kali ini, Ardi tersenyum lebar, senyum yang penuh makna. "Pak, terima kasih. Aku sudah mulai mengerti."

Lelaki tua itu mengangguk. "Ingat, dunia memang tidak selalu adil. Tapi kita memiliki kekuatan untuk memilih bagaimana kita meresponsnya. Dunia bisa jahat, tapi jangan biarkan kelemahan kita menjadikan kita lebih lemah."

Ardi mengangguk, kali ini dengan penuh keyakinan. Ia tahu, jalan hidup tak akan pernah mudah, tapi ia akan lebih kuat menghadapinya, tidak karena dunia berubah, tapi karena ia mulai belajar untuk tidak merasa terlalu lemah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun