Lelaki tua itu tersenyum lagi, kali ini dengan senyuman yang lebih lebar. "Dengan menerima kenyataan bahwa kita bukanlah mesin yang tak pernah lelah. Dengan memberi ruang untuk istirahat, untuk bernafas. Dengan tidak menyalahkan dunia karena kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi lebih kepada menerima dan berusaha untk terus bangkit. Ketika kamu menerima bahwa kelemahanmu adalah bagian dari dirimu, kamu akan lebih kuat untuk melawan."
Ardi terdiam, merenung. Kata-kata lelaki tua itu begitu sederhana, tapi terasa sangat dalam. Ia merasa selama ini dirinya selalu menganggap dunia sebagai musuh, padahal yang ia lawan sesungguhnya adalah dirinya sendiri kelemahannya, ketakutannya, rasa tidak cukup yang selalu menghantuinya.
Hari-hari berikutnya, Ardi mencoba untuk tidak terlalu keras pada dirinya. Ia mulai menulis jurnal, menuliskan segala perasaan dan keluhannya. Ia mulai belajar untuk memberi diri ruang untuk bersantai dan mengingat kembali mengapa ia memulai perjuangannya bukan hanya untuk mencapai tujuan, tetapi untuk menjadi lebih baik di setiap langkah, meskipun dunia tidak selalu berpihak padanya.
Suatu hari, saat beristirahat di sebuah taman, Ardi bertemu lagi dengan lelaki tua itu. Kali ini, Ardi tersenyum lebar, senyum yang penuh makna. "Pak, terima kasih. Aku sudah mulai mengerti."
Lelaki tua itu mengangguk. "Ingat, dunia memang tidak selalu adil. Tapi kita memiliki kekuatan untuk memilih bagaimana kita meresponsnya. Dunia bisa jahat, tapi jangan biarkan kelemahan kita menjadikan kita lebih lemah."
Ardi mengangguk, kali ini dengan penuh keyakinan. Ia tahu, jalan hidup tak akan pernah mudah, tapi ia akan lebih kuat menghadapinya, tidak karena dunia berubah, tapi karena ia mulai belajar untuk tidak merasa terlalu lemah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H