Beberapa hari belakangan pikiran saya dipenuhi dengan pencarian manusia inspiratif yang menjadi tugas salah satu mata kuliah saya. Awalnya saya pikir tugas ini sangat mudah, akan tetapi akhirnya saya menyadari ini cukup sulit karena saya harus mencari orang yang punya kisah hidup menginspirasi. Hingga saya terpikirkan kepada sesosok orang yang sedari kecil sudah saya kagumi cara hidupnya. Namanya Ibu Eva, dia adalah tetangga saya, kakak dari ibu saya, orang saya panggil dengan panggilan 'Ama' sejak saya masih kecil.
Ketika masih kecil saya sangat takut kepada beliau, pikiran saya selalu memikirkan bahwa beliau adalah orang yang penuh dengan kemarahan. "Sedikit-sedikit marah," pikir saya waktu itu. Setelah cukup dewasa untuk berpikir, saya menjadi paham hidup sebagai anak perempuan pertama dari keluarga yang kurang berada membuat beliau tumbuh sebagai sosok yang tegas menjalankan kehidupan. Menjaga empat orang adik dengan berbagai karakter membuatnya harus menanggung banyak resiko dalam hubungan persaudaraan, bahkan jika salah satunya akan menaruh kecemburuan sekali pun.
Saat ini beliau bekerja sebagai cleaning servis atau lebih nyaman disebut sebagai tukang sapu menurut beliau di salah satu pabrik sawit yang tidak jauh dari rumah. Bekerja dari jam 7 pagi lalu istirahat ketika zuhur menjelang, biasanya beliau akan pulang ke rumah dengan motor butut yang saya rasa sudah ada sejak zaman saya sekolah dasar kalau tidak salah. Beliau akan menggunakan waktu istirahat tersebut untuk istirahat, salat, dan juga makan. Lalu, pergi lagi ke pabrik hingga jam 4 sore. Di lingkungan kami, bekerja di pabrik termasuk salah satu keberuntungan, entah dari gaji atau kesejahteraan lain yang tidak saya mengerti. Tapi, menurut beliau itu semua tidak semudah yang dilihat.
"Ama kerja di pabrik ini indak langsung senang," kata beliau ketika saya katakana bahwa pekerjaannya cukup enak dan nyaman.
Nyatanya, untuk sampai di posisi tukang sapu beliau telah melewati banyak hal. Berawal kerja di kebun sebagai pekerja harian yang bekerja membersihkan lahan, lalu bekerja sebagai tukang pupuk yang dalam sehari biasanya membawa lima belas karung pupuk untuk disebarkan ke sawit-sawit yang ada di kebun milik PT. Saya agak ngeri membayangkan bagaimana beliau membawa pupuk lima belas karung dan menyebarkannya di kebun sawit yang luasnya saya ibaratkan seluas mata memandang.
Setelah kurang lebih sepuluh tahun bekerja di kebun, barulah kemudian beliau pindah kerja ke pabrik. Ada banyak hal yang dikerjakan tidak hanya sebatas sebagai tukang sapu seperti julukan yang beliau berikan sendiri.
"Biasanya kami juga membersihkan mess karyawan, mulai dari membersihkan di luar rumah sampai ke dalam rumah, bahkan sekecil memasang seprei pun kami lakukan. Karyawan-karyawan itu tinggal menikmati," jelas beliau kepada saya.
"Enaklah berasa bersihin rumah sendiri, Ma," celetuk saya pula.
"Yang indak enaknya itu sudah dibantu membersihkan tempat tinggalnya, kami indak pula dikasihnya minum. Satu dua orang saja yang menyuguhkan minum sama makanan kalau mereka sehabis pulang dari pasar."
Untuk beberapa orang, mungkin tidak merasakan langsung kebaikan yang diberikan dari seorang cleaning servis. Tapi, saya bisa paham kalau beliau tidak bekerja untuk mendapatkan perhatian dari karyawan-karyawan yang dibantu membersihkan rumahnya. Karena sudah 5 tahun tapi kecintaan terhadap pekerjaan itu tidak luntur barang sedikit pun.
"Awak sebagai manusia itu harus sadar kalau sesuatu indak bisa kita raih dengan mudah dan senang. Ada jalannya, ada prosesnya, ada naik turunnya."
Menurut saya, beliau tidak hanya sekedar seorang wanita pekerja keras yang lima belas tahun mengabdikan hidupnya bekerja di kebun dan juga pabrik. Tapi, juga memberi arti bahwa kita tidak boleh kalah oleh kerasnya hidup. Hal itu tentu sedikit menyentil saya yang sedikit-sedikit mengeluh hanya karena tugas menumpuk.
Banyak hal yang sedari dulu saya tunggu ketika ikut bertumbuh bersama melihat kerja keras beliau. Kapan kebahagiaan akan sepenuhnya berada di pihak beliau? Itu yang selalu ada di kepala saya hingga kini. Tapi, rasanya agak aneh jika saya mencari keadilan atas hidup beliau sedangkan beliau menjalani semuanya tanpa merasa tidak diadilkan.
Mungkin saya ingin tumbuh setangguh beliau dalam mengartikan hidup. Ada banyak hal menyakitkan yang sudah dilewati tapi tetap harus fokus ke depan. Petir mungkin menjadi sebuah ketakutan untuk beliau karena mengubah histori hidup tapi beliau tidak pernah bersembunyi dari petir itu. Ada banyak hal yang menyebabkan sakit selama hidupnya, tapi dia tidak meninggalkannya tapi mungkin menunggu ketika petir itu berubah menjadi pelangi.
Ada banyak hal baik yang saya pelajari dan sangat membantu saya menjadi dewasa. Saya tidak ingin menjadi tukang sapu, tapi saya ingin bekerja setulus beliau. Seperti kata beliau suatu hal tidak bisa kita raih dengan mudah, akan ada proses di baliknya. Itulah yang saya coba artikan dalam hidup saya untuk mencapai tujuan saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H