Judul di atas bukan typo. Hanya karena satu huruf hilang, kata play berubah menjadi pay, permainan sepak bola menjadi permainan modal.
Financial Fair Play (FFP) menjadi isu sepekan terakhir. Regulasi UEFA yang punya tujuan mulia menghindarkan klub dari kebangkrutan, menjadi bias karena lolosnya pelaku pelanggaran dari sanksi berat.
Senin (13/7) Manchester City menang banding di pengadilan arbitrase olahraga internasional (CAS), sekaligus melunakkan sanksi UEFA atas pelanggaran FFP. Pelaku yang sama telah dua kali lolos dari jerat FFP.
Sejak diakuisisi taipan Sheikh Mansour pada 2008, Man City berkembang menjadi kekuatan besar di dalam dan di luar lapangan. Modal besar membuat mereka sangat kuat bersaing di pasar transfer, hingga leluasa memperkuat pemain dan pelatih.
Keabsahan penggunaan uang mereka mulai dipertanyakan saat pertama kali tersandung kasus FFP pada 2014. Mei 2014 UEFA menjatuhkan sanksi denda 49 juta pound akibat The Citizens kebablasan dalam memenuhi aturan FFP yang membatasi 21 pemain di Liga Champions 2014-2015.
Pada akhirnya 32 juta pound dari total sanksi tersebut akhirnya ditangguhkan.
Tahun ini UEFA kembali mengendus pelanggaran FFP Man City, setelah media Jerman Der Spiegel merilis hasil investigasinya. Der Spiegel menemukan nilai kontrak iklan dan sponsor yang telah direkayasa. Laporan pendapatan iklan dan sponsor sebesar 67,5 juta pound per musim disebut berasal dari kocek sang pemilik.
Praktik tersebut dilaporkan sudah terjadi selama periode 2012-2016. Hal ini dilakukan sebagai siasat untuk mengakali aturan FFP terkait jumlah modal maksimum dari pemilik klub.
Sejalan dengan hasil investigasi tersebut, dalam laman resmi UEFA, Badan Kontrol Keuangan Klub-klub UEFA (CFCB) mengeluarkan pernyataan pada 15/2/2020, "Manchester City terbukti menggelembungkan pemasukan sponsor di dalam neraca keuangan mereka dan informasi titik impas yang diserahkan ke UEFA antara 2012 dan 2016".
Atas temuan tersebut Man City dihukum dua musim larangan bertanding di kompetisi Eropa dan denda sebesar 30 juta euro.