Mohon tunggu...
Sindi Darmawan Prasetyo
Sindi Darmawan Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca yang ingin menulis

Menulis sedikit tapi bermanfaat, karena memberi inspirasi lebih penting dari sekedar menjadi viral

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Menafsir Ulang Idul Fitri untuk Harapan Normal Baru

23 Mei 2020   18:12 Diperbarui: 23 Mei 2020   18:18 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Wiltshire Times

Mungkin hanya masyarakat di negara kita yang paham hubungan antara mudik dan Idul Fitri. Pasalnya bagi negara lain berpenduduk mayoritas muslim, Idul Fitri tidak umum dirayakan dengan mengunjungi sanak keluarga.

Idul Adha justru dirayakan lebih besar. Jatuh berdekatan dengan puncak ibadah Haji, dan sama-sama dirayakan dengan berkorban. Sehingga momentumnya dirasakan oleh lebih banyak umat muslim di seluruh dunia. Karena itu orang Jawa menyebut Idul Adha sebagai Hari Raya Besar.

Bandingkan dengan mudik di Idul Fitri yang hanya dipahami oleh muslim di Indonesia.

Lalu kenapa muslim Indonesia harus mudik saat Idul Fitri?

Dibanding sebagai ritual agama, mudik lebih mudah diterjemahkan secara kultural. Menurut pakar sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Silverio Raden Lilik Aji Sampurno fenomena mudik sudah menjadi bagian tradisi sejak jaman kerajaan.

"Awalnya mudik tidak diketahui kapan. Tapi ada yang menyebut sejak jaman Majapahit dan Mataram Islam," kata Silverio dikutip dari Kompas.com.
Majapahit sebagai kerajaan besar di Nusantara kala itu memiliki wilayah kekuasaan hingga ke Sri Lanka dan Semenanjung Malaya. Majapahit menempatkan para pejabat hingga ke penjuru kekuasaannya. Secara berkala pejabat-pejabat itu harus kembali ke pusat kerajaan untuk menghadap Raja. Kesempatan itu sekaligus dimanfaatkan untuk mengunjungi keluarga di kampung halaman.

Sedangkan yang mempelopori mudik saat Idul Fitri adalah Kerajaan Mataram Islam. "Selain dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam pada saat Idul Fitri," imbuh Silverio.

Mudik baru dikenal oleh masyarakat modern pada tahun 1970-an sebagai tradisi perantau kembali ke kampung halaman. Orang-orang Jawa sebagai kelompok perantau yang cukup besar menyebut mudik sebagai kepanjangan dari 'Mulih Disik' yang berarti pulang dulu. Sedangkan orang Betawi menyebut mudik sebagai kembali ke udik, atau kampung.

Sedangkan Idul Fitri berasal dari kata Id (akar kata aada – yauudu) yang artinya kembali, dan kata Fitri yang menurut beberapa pendapat ada yang mengartikan berbuka dan pendapat lain mengartikan suci.

Jadi Idul Fitri bermakna kembali berbuka setelah sebulan berpuasa atau kembalinya manusia pada keadaan asal kejadiannya yang suci.

Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Kaliopak Yogyakarta, Kiai M. Jadul Maula masyarakat Indonesia memaknai Idul Fitri lebih luas. Masyarakat kita mengenal Idul Fitri sebagai Lebaran. Lebaran berasal dari kata 'lebar' dengan imbuhan an, yang berarti lebar hati atau lapang dada untuk saling memaafkan.
Dari situ momen Lebaran berkembang menjadi ritual saling memaafkan dan silaturahim. Tidak hanya meminta maaf kepada orang tua dan keluarga dekat, tapi juga keluarga besar, keluarga sedaerah, hingga keluarga sebangsa.

Karena itu mudik jadi media untuk mendekatkan antar individu dalam memenuhi tujuan tersebut.

Nilai-nilai budaya luhur di negeri ini memberi dasar pengamalan agama yang diselaraskan dalam dimensi persatuan dan budaya. Jadilah mudik sebagai ritual Idul Fitri rasa Indonesia.

Tapi yang dihadapi muslim Indonesia pada Idul Fitri 1441 H jauh berbeda. Pandemi Covid-19 membuat ruang interaksi manusia menjadi terbatas. Sebagai upaya pencegahan penyebaran virus, pemerintah telah melarang mudik tahun ini.

Karena itu masyarakat muslim Indonesia harus menafsir ulang makna Idul Fitri.

Mudik lahir dari perjalanan budaya. Di masa pandemi seperti sekarang, manusia ditantang beradaptasi untuk menciptakan budaya baru yang cocok dengan tuntutan kehidupan sekarang.

Tantangan itu membawa kita pada sebuah harapan normal baru. Bahkan sejak Ramadhan tahun ini sudah banyak hal positif baru yang dilakukan dalam hubungan vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dalam kehidupan sosial.

Tanpa disadari selama ini kita sering merayakan euforia Ramadhan hampir setiap hari dengan buka bersama teman atau kolega.
Hitung saja ada berapa kali buka bersama dalam setahun yang mengurangi waktu bersama keluarga.

Hitung berapa lama waktu mengobrol yang dihabiskan saat bukber hingga melewatkan waktu Tarawih.

Pembatasan aktivitas sosial pada Ramadhan kali ini justru memberi kita waktu untuk lebih bermanfaat dalam keluarga. Sesibuk apapun aktivitas di luar pasti akan pulang untuk buka puasa di rumah. Bagaimana seorang ayah setiap saat bisa menjadi imam sholat berjamaah untuk anak dan istrinya.

Demikian juga saat Lebaran. Kebutuhan untuk mudik membuat orang mencari jalan apapun untuk pulang ke kampung halaman. Tiket semahal apapun akan dibeli. Yang tidak kebagian tiket akan memaksa pulang sekalipun harus menggunakan motor dengan penumpang dan barang bawaan berlebih. Kemacetan terjadi dimana mana, laporan tingkat kecelakaan lalulintas meningkat saat arus mudik dan balik.

Orang juga cenderung untuk tampil sebaik mungkin di hari lebaran. Seringkali momen tahunan yang mempertemukan sanak keluarga tidak pernah lepas dari pakaian baru, mobil baru dan cerita sukses dalam bisnis atau pekerjaan.

Idul Fitri jadi momen yang berlebihan, jauh dari makna kembali ke keadaan semula.
Membayangkan Idul Fitri tahun ini tanpa kemacetan, kenaikan harga barang pokok bahkan persaingan gengsi sosial adalah hal positif yang baru.
Silaturahim bisa tetap dilakukan secara daring tanpa mengurangi maknanya. Tidak ada tuntutan pengeluaran berlebih untuk sebuah penampilan sesaat.

Orang menggunakan uangnya lebih bijak. Bagi yang punya rejeki berlebih bisa digunakan untuk membantu meringankan beban masyarakat yang membutuhkan.

Dan yang paling penting, kita baru akan merasakan kemenangan yang sesungguhnya jika disiplin menjaga diri dan menekan penyebaraan Covid-19. Selamat Idul Fitri 1441 H. (sdp)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun