Karena alasan-alasan tadi ideologi antitesis untuk mendidik junior terus digunakan secara turun temurun.
Mencari cara lain dalam mendidik manusia sebagai antitesis pendidikan mainstream tidak sepenuhnya salah. Tapi setiap pelaku harus paham batasan. I Putu Ardika Yana, M.Psi, seorang psikolog dan dosen Universitas Tadulako menyebut bahwa kekerasan tidak akan pernah membentuk perilaku, tapi perilaku bisa dibentuk dengan ketegasan.
Ada batas yang jelas antara kekerasan dan ketegasan. Tegas adalah sikap dalam menunjukkan pendirian dengan alasan yang logis. Ada dasar yang jelas dalam bersikap tegas, seperti dasar ilmiah, norma maupun aturan yang berlaku. Sikap tegas harus memperhatikan dua sisi, sehingga pendirian yang ingin disampaikan bisa diterima dengan baik. Sedangkan kekerasan cenderung ditunjukkan sebagai emosi yang tidak memiliki dasar.
Sikap tegas yang disampaikan tanpa batas bisa berubah menjadi kekerasan, baik fisik maupun psikis. Kekerasan psikis bahkan berdampak lebih besar daripada fisik karena mempengaruhi mental secara jangka panjang. Perpeloncoan yang lebih banyak melibatkan praktik pressing psikis bisa mengarah pada kekerasan verbal.
Menurut Patricia Evans, penulis buku The Verbally Abusive Relationship, Expanded Third Edition: How to Recognize It and How to Respond, kekerasan verbal bisa berbentuk ancaman, candaan yang merendahkan, teriakan, pembatasan untuk mengutarakan pendapat, dan aksi menyuruh dengan sewenang-wenang.
Dampaknya bisa membuat seseorang kehilangan kepercayaan diri, kehilangan antusiasme, bahkan depresi. Jika sudah demikian maka tujuan untuk membentuk karakter dan sikap mental yang kuat bisa sangat melenceng jauh.
Saat cara-cara persuasif tidak cukup efektif dalam mendidik seseorang, maka ketegasan diperlukan untuk memaksa penerimanya agar paham. Tapi juga perlu juga diperhatikan untuk memilih cara dan ujaran agar ketegasan tidak berubah menjadi kekerasan. Selain itu diperlukan pendampingan dan pengawasan oleh pihak-pihak yang lebih berkompeten untuk menetapkan aturan dan batasan agar kegiatan bisa lebih dipertanggung jawabkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H