Mohon tunggu...
Sinar Sulastri Wijaya
Sinar Sulastri Wijaya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Seorang mahasiswi dari jurusan Sastra Indonesia yang menyukai cerita fiksi dan kucing.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stigma Masyarakat Mengenai Childfree

3 Januari 2023   06:43 Diperbarui: 3 Januari 2023   06:54 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis : Sinar Sulastri Wijaya Sitompul/Dr. Dra. Gustianingsih, M.Hum., CP.NLP.


Setiap pasangan suami istri secara alamiah mengharapkan kehadiran seorang anak terutama mereka yang tinggal di komunitas pro-natalis yang mendorong kelahiran anak. Kehadiran anak kandung dianggap memberikan manfaat secara psikologis, budaya, dan agama, dianggap memberikan rasa aman ketika orangtua berusia lanjut, dianggap memberikan manfaat secara sosial dan ekonomi ,dianggap memberikan manfaat secara sosial. 

Dengan asumsi bahwa anak-anak dapat memperoleh manfaat dari manfaat yang tercantum di atas, tidak masuk akal untuk mengasumsikan bahwa setiap perempuan yang menikah akan ingin memiliki anak. Bahkan, setiap perempuan yang menikah kemungkinan besar akan berharap untuk memiliki anak dan kemungkinan besar akan berharap untuk melakukannya bahkan setahun setelah pernikahan mereka.

Indonesia adalah negara yang pro natalis, terbukti dengan adanya tekanan sosial pada pasangan untuk segera memiliki anak karena jika tidak memiliki anak maka pernikahan mereka dianggap tidak sempurna. Masyarakat menganggap kehadiran seorang anak sebagai harapan dan generasi penerus pasangan. 

Dari segi sosial dan ekonomi, kehadiran anak dapat meningkatkan perekonomian rumah tangga karena anak dipandang sebagai pembawa keberuntungan dan mendapat pengakuan sosial yang positif dari masyarakat. Alasan ini memperkuat kebutuhan masyarakat pronatalis untuk memiliki anak.

Saat ini, fenomena childfree sedang berkembang di Indonesia. Fenomena ini mulai diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat umum dan menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat mengenai kebebasan memiliki anak.  Pro dan kontra di masyarakat mengenai kebebasan untuk memiliki anak. 

Angka kelahiran di Indonesia terus mengalami penurunan, bahkan pada tahun 2019 angka kelahiran Angka kelahiran kasar per 1.000 penduduk yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dimana terjadi penurunan laju pertumbuhan penduduk.

Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2020 menunjukkan penurunan 1,25 persen dari periode sebelumnya pada tahun 2000 hingga 2010 yang menunjukkan 1,49 persen. CSA juga memperkirakan bahwa pada tahun 2025-2030 laju pertumbuhan penduduk laju pertumbuhan penduduk hanya 0,80% dan akan terus menurun pada tahun berikutnya.

Menjadi orang tua membutuhkan persiapan yang matang tidak hanya dari segi materi dan fisik, tetapi juga dari segi kesiapan mental seseorang yang menjadi orang tua.

5 alasan utama mengapa orang-orang memutuskan untuk menjadi childfree.

1. terkait dengan masalah fisik atau sakit keturunan. Beberapa pasangan mengatakan bahwa masalah fisik adalah indikator indikator terpenting bagi seseorang untuk memiliki anak. Jika pasangan merasa secara fisik tidak mampu menghasilkan keturunan, maka mereka langsung memilih keputusan untuk tidak memiliki anak tanpa berusaha.
2. Faktor psikologis, dimana beberapa subjek menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kesiapan diri dan memiliki masalah mental. Berdasarkan hasil Berdasarkan hasil observasi Tunggono (2021), banyak orang yang memilih tidak memiliki anak karena pengalaman masa kecil mereka yang buruk dengan orang tua mereka. Mereka khawatir nantinya akan menularkan jiwa beracun kepada keturunannya karena mereka menyadari bahwa mental mereka tidak mampu, sehingga mereka memilih untuk tidak memiliki anak.
3. Faktor ekonomi. Beberapa pasangan menyatakan bahwa alasan mereka tidak ingin memiliki anak karena mereka takut kekurangan uang dan tidak ingin hidup susah.
4. Faktor lingkungan, dimana para pasangan memiliki anggapan bahwa dunia terlalu padat, dan mereka merasakan dampak dari pemanasan global yang semakin parah. Alasan ini memicu mereka untuk tidak ingin menambah kerusakan alam dengan satu jiwa lagi.
5. Alasan terakhir yang diungkapkan oleh pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak didasarkan pada alasan pribadi, yaitu keputusan yang dibuat oleh mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun