Mohon tunggu...
Si Murai
Si Murai Mohon Tunggu... Editor - Itu, burung kecil berekor panjang yang senang berkicau!

“Do not ask who I am and do not ask me to remain the same. More than one person, doubtless like me, writes in order to have no face.” ― Michel Foucault

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hidup ala Overthinking

25 Maret 2021   14:49 Diperbarui: 25 Maret 2021   16:25 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Overthinking (knowyourmeme.com).

Mengetahui topik pilihan Kompasiana kali ini, rasa-rasanya saya jadi seperti panci ketemu tutupnya, kok, ya pas banget. Beberapa bulan ini, saya sedang dilanda overthinking.

Think apa yang saya over-kan? Duh, kalau diceritakan ya jadi panjang dan curhat. Masalahnya, semakin banyak diceritakan, hal-hal yang sedang saya pikirkan secara berlebihan itu, alih-alih berkurang, yang ada malah seperti bensin yang diguyurkan ke percikan api: overthinking itu makin menjadi-jadi!

Well, pada kadar tertentu, menceritakan apa yang kita pikirkan dan rasakan cukup juga mengurangi beban masalah yang kita emban. Tapi, ketika sedang dilanda overthinking, yang saya rasakan, saya sebenarnya sedang mengalami ketidakseimbangan dan ketidakstabilan mental. Banyak hal yang sebenarnya tidak sedramatis itu, tapi ketika sedang bercerita kepada sahabat, ya itu tadi, mendadak saya jadi seperti bensin. Ketika saya agak reda dan mulai mengambil jarak pada diri saya sendiri, di situlah saya sadar, "Rasanya gak gitu-gitu amat, kayanya lo berlebihan, deh!" lalu berbicara seperti itu pada diri sendiri.

Karena itu, penting ketika butuh bercerita saat dilanda overthinking, memperhatikan betul siapa orang yang kita ajak bicara. Ibaratnya, disyariatkan berbicara kepada orang yang benar-benar kita percaya, seperti sahabat dekat banget atau bahkan ahlinya sekalian, seperti psikiater. Kalau tidak bisa menemui psikiater, saya biasanya lebih cari aman, yaitu bicara sama diri sendiri. Saya bisa ngedumel, mencaci, bahkan memuji, apa pun pokoknya; hal kecil maupun besar yang terlintas dalam benak, saya coba verbalkan. Terkadang, hal itu memantik pertengkaran, sih, terutama pengalaman saya ketika saya jadi suka marah-marah sendiri di rumah yang kemudian membuat suami saya bete.

Self Talk

Mengenai berbicara sendiri ini, sudah banyak penelitiannya yang menyatakan bahwa itu merupakan ciri orang yang sehat dan cerdas (lihat di sini). Saya sendiri melakukannya karena berdasarkan pengalaman saja. Jika saya berbicara lebih banyak pada diri sendiri, saya merasa lebih lega, mendadak overthinking saya berkurang, bahkan lupa sama sekali pada apa yang dipikirkan. Tapi, mungkin nanti akan kambuh lagi, jadi bicara lagi saja pada diri sendiri. Hehehe. 

Ya, mau bagaimana lagi. Pada dasarnya, hidup sendiri adalah sebuah masalah. Tidak ada yang abadi, termasuk ketenangan dan kedamaian, termasuk pula masalah. Jadi, hidup itu ya perjalanan mempertahankan keseimbangan diri di antara masalah dan solusi yang datang silih berganti. Penting untuk tetap seimbang, salah satu cara menjaganya adalah dengan self talk.

Akan tetapi, banyak yang harus diperhatikan ya ketika hendak self talk. Sebagai contoh, ibu-ibu sebaiknya tidak melakukan self talk di depan anak-anaknya kalau tidak ingin memantik anggapan anak-anak ini terhadap ibu mereka. Selain itu, sebaiknya ketika sedang normal dan waras, bicaralah pada pasangan tentang manfaat self talk bagi diri kita sehingga jangan kaget kalau mendapati pasangannya ini sedang asyik self talk di dapur, kamar mandi, sebelum tidur, atau waktu senggang sekalipun. Selain jangan kaget, juga sebaiknya jangan dibantah, jangan berkomentar! Biarkan orang yang sedang self talk bicara semaunya saja. Pada kenyataannya, kita semua sudah sama-sama dewasa. Ini cuma salah satu cara untuk tetap menjaga kewarasan kita.

Berhubung risiko self talk itu lebih besar ya, sebenarnya ada satu cara lagi yang hakikatnya sama dengan self talk, yaitu menulis. Kalau kita tidak siap dengan keributan dan hal-hal lain yang diakibatkan oleh kebiasaan kita bicara pada diri sendiri, kita bisa memilih menulis.

Menulis

Menulis bisa mengurangi overthinking kita karena ada upaya penyaluran energi di sana. Jika menulis bukan hobi kita sekalipun, menurut saya, menulis tetap bisa menjadi "terapi" untuk seseorang yang sedang dilanda overthinking. Tulis saja apa pun. Jika tidak mau menulis apa pun, ya tulis saja apa yang kita jalani hari ini secara teknis, tidak perlu pakai rasa. Sebagai contoh, kita bisa menulis bahwa kita hari ini bangun jam sekian, lalu melakukan ini, itu, lalu begini, begitu, dan mengalami ini, itu, lalu tidur jam sekian--seperti membuat jurnal (diary). Dalam proses menulis itu, nanti ada pikiran-pikiran yang tidak kita duga akan turut memengaruhi tulisan kita. Tanpa kita sadari, kita telah memberikan rasa pada tulisan "remeh" kita itu. Pengaliran rasa dan pikiran ini penting untuk menyelamatkan diri kita yang sedang overthinking mengingat banyak sekali manfaat menulis, terutama menulis jurnal (lihat di sini).

Sekali lagi, ini juga based on pengalaman sendiri. Akan tetapi, pada kegiatan menulis ini ada kendalanya juga, yakni kita mengeluarkan energi lebih banyak dan fokus lebih besar. Jadi, cukup banyak juga yang harus disiapkan sebelum menulis, setidaknya kita lebih harus mempersiapkan sesuatu secara teknis ketimbang melakukan self talk. Sebagai contoh, kita harus menyediakan waktu untuk menulis (tidak bisa disambi dengan memasak atau menemani anak bermain); menyediakan alat tulis, bisa laptop, ponsel, kertas, pulpen, dan lain-lain;  menggerakkan tangan lebih banyak; duduk lebih lama untuk menulis; dan lain-lain.

Karena itu, ada sebenarnya satu cara lagi ala saya untuk mengatasi overthinking, yaitu membaca buku. Menurut saya, cara ini adalah yang paling sederhana sebenarnya karena kita cenderung diam, tidak banyak melakukan aktivitas (berbicara atau menulis).

Membaca Buku

Kalau sudah benar-benar lelah, baik fisik maupun jiwa, seperti banyak bicara dan marah-marah sudah capek, mau menulis tidak ada kesempatan dan tenaga, saya akhirnya memilih cara yang paling aman dilakukan, yaitu membaca buku. Membaca buku dapat mengalihkan fokus saya sekaligus membangun fokus saya. Kalau merasa sudah stuck, saya lebih suka mencari buku di antara tumpukan buku yang saya kerjakan (kebetulan saya kerja di perpustakaan) untuk saya baca di rumah dan perjalanan. Membaca membuka peluang menyerap wawasan, membantu otak berimajinasi, mengalihkan pikiran, dan masih banyak lagi manfaat membaca (lihat di sini). Membaca tentunya bisa dijadikan solusi untuk mengurangi overthinking yang sedang melanda.

Belakangan, saya juga lagi rajin membaca buku, ya itu tadi, akibat sedang dilanda overthinking selama berbulan-bulan. Tapi, kalau dipikir, kalau dilihat cara "pengobatannya" positif begini, ternyata ada baiknya juga mengalami overthinking, ya. Setidaknya, kita jadi berupaya untuk selalu mempositifkan diri kita karena menyadari bahwa kita sedang "bermasalah". Kita jadi banyak belajar tentunya dan mungkin menjadi lebih kreatif atau bahkan produktif.

Buku yang sudah seminggu ini saya baca.
Buku yang sudah seminggu ini saya baca.

Entahlah, bagi saya, mungkin ini adalah fase yang harus saya lalui agar saya menjadi seseorang yang lebih baik lagi, lebih bijaksana, dan lebih kuat menghadapi kehidupan.

Intermeso

Ngomong-ngomong, baru tadi pagi ketika di perjalanan menuju kantor saya menulis di ponsel, sekadar mengurangi pikiran yang berlebihan ini mengingat berdoa sudah, ibadah sudah, makan, minum, tidur, olahraga, bercanda sama anak, mengopi bareng suami, tapi, kok, overthinking ini seperti ulat yang menggerogoti buah apel dalam jiwa saya. Saya pikir, saya harus menulis. Siang harinya, saya lihat topik pilihan Kompasiana adalah overthinking. Ya sudah, sekalian saja saya blogging.

Btw, ini tulisan saya tadi pagi. Saya tuliskan di sini, ya.. buat reminder tentang hari ini. Terima kasih, Kompasiana...

Jika aku terus menghitung yang hilang, maka mungkin aku tak bisa banyak mendatangkan sesuatu lagi. Tapi, perhitunganku kerap meleset dan aku hampir sudah biasa dengan keputusasaan, bahkan segalanya seperti hanya sebuah spekulasi untuk penghiburan. Aku benar-benar seperti lelucon itu sendiri dan tak bisa berhenti menertawakan diri sendiri hingga tawaku menjadi kering dan hambar, dan aku tak tahu lagi untuk apa aku tertawa.
Kadang aku merasa ingin sesuatu yang lebih baik, lalu bertanya, "Adakah yang lebih baik dari saat ini?"
Kupikir, aku benar-benar tak mengerti diriku sendiri. Aku belajar mengerti, tapi sampai suatu titik, semuanya menjadi terasa berat lagi, lalu aku harus bagaimana?
Aku ingin yang lebih baik, tapi aku sendiri tak tahu itu apa. Hanya saja, semua selalu terasa kurang buatku, memang begitu keadaannya.
Semoga hatiku tidak kecil lagi. Semoga jiwaku bisa hidup kembali. Semoga yang hilang tetap hilang dan aku harus bersiap dengan sesuatu yang baru. Kenapa hilang? Karena di depan akan ada yang baru. Kalau yang sebelumnya tidak hilang, nanti memori kita akan penuh. Kalau kepenuhan, nanti bisa membludak. Pikiran juga tidak boleh serakah. Kenangan juga tidak boleh disimpan terus semuanya. Lupakan, biar nanti dihilangkan oleh keadaan. Mungkin, kenapa yang baru itu belum datang, karena dia masih mencari ruang. Mungkin, ruangku masih belum besar, sementara sesuatu yang akan datang itu butuh porsi yang banyak untuk dipikirkan, diupayakan, dijaga, dirawat, dijadikan lestari.. hingga mungkin kelak hilang lagi. Tak mengapa, karena artinya ada yang lebih besar lagi. Begitu terus, tak pernah lebih kecil pastinya.
Jika semua akan baik-baik saja, tentu aku tak perlu banyak mengumbar resah. Bersiap-siap saja karena jika sudah waktunya, tak cukup banyak waktu untuk belajar. Aku harus cepat dan sigap. Tinggal menunggu waktu, cepat atau lambat, itu tergantung nuansa saja.
Jadilah hidup, yang tumbuh dan menumbuhkan. Kamu harus mengerti semua ini, biar hatimu lega. Damai pun menjalarimu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun