Mohon tunggu...
Si Murai
Si Murai Mohon Tunggu... Editor - Itu, burung kecil berekor panjang yang senang berkicau!

“Do not ask who I am and do not ask me to remain the same. More than one person, doubtless like me, writes in order to have no face.” ― Michel Foucault

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gadis Kecil

3 Desember 2020   10:57 Diperbarui: 3 Desember 2020   11:04 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di pinggir padang, ada pohon dan seekor burung*


Aku harap ia menyukainya, tapi mungkin ibuku lebih ingin kembali ke pinggir padang itu. Di sana ada pohon dan seekor burung. Ia ingin bermain-main di tengah padang, berlari-lari, berkejar-kejaran dengan gerimis dan mungkin juga hujan. Jika lelah dan tubuhnya sudah semakin basah, ia akan berteduh di bawah pohon pinggir padang itu, lalu bernyanyi-nyanyi bersama seekor burung yang juga berteduh di situ. Lagu Gadis Kecil. Nadanya memang terdengar kekanakkan, tetapi sesungguhnya suram.

Ia mungkin pernah berada di pinggir padang itu. Tapi, gerimis kemudian menyeberangkannya. Entah mengapa, gerimis mendadak menjelma takdir yang tak terlalu ia suka. Di sisi lain jalan itu kini ia harus membesarkan anak, mengurus suami yang bermasalah dan suka berhalusinasi, menyiapkan masakan, mencari uang, membereskan segala urusan dalam rumah tangganya. Sementara itu, payung di tangan kanannya hanya bergoyang-goyang, tak sepenuhnya bisa melindungi dirinya yang semakin diguyur gerimis.

Karena itu, ia pun menangis. Ia hanyalah seorang gadis kecil yang kerap kukibaskan tangisnya yang keluar dari matanya yang rindu pada padang itu. Begitulah ibuku.

Teks dan Makna

Secara historis, ia adalah sosok yang memperkenalkanku pada puisi Gadis Kecil. Hanya saja, ia tak menyadarinya. Sejak aku kecil, ia sudah melanggankan majalah untukku, bahkan sampai aku beranjak dewasa. Pada hari tertentu, ia selalu pulang kerja dengan membawa majalah yang terbit pada hari itu. 

Iya, majalah. Ia tidak pernah membawakanku buku-buku, hanya majalah. Tapi, dari situlah aku mulai menyukai teks. Aku suka meminta ibuku membacakan teks-teks yang ada di majalah itu, terutama ketika aku masih kecil. Pada berikutnya, kesukaanku pada teks membuatku suka sekali menulis.

Aku seperti menemukan ruang bagi duniaku sendiri saat menulis. Ketika suasana keluarga semakin tidak harmonis setiap tahunnya, aku dijaga untuk tetap baik-baik saja bersama dunia teks. Aku menerima gelar akademisku hingga ke jenjang magister pun dalam bidang sastra. Pekerjaanku juga sekarang di perpustakaan. Di mana-mana ada teks! Menurutku, ibukulah yang telah membawaku hingga ke titik ini.

Karena kami tinggal berjauhan, aku di ibukota dan ibuku di sebuah kampung di kaki Gunung Ciremai, teks menjadi sangat penting di antara kami. Bagaimana tidak, nyaris seluruh komunikasi setiap harinya dilakukan melalui teks. Rasa rindu, rasa terima kasih, kegalauan, obrolan santai, bahkan cerita-cerita masalah, semuanya disampaikan melalui tulisan. 

Aku bahkan merasa lebih bisa mengobrol dan mengutarakan apa pun kepadanya dengan santai dan leluasa saat harus menuliskannya, bukan membicarakannya secara verbal. Begitu pun dengan ibuku. Komunikasi kami lebih berkualitas lewat teks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun