Aku akan membawa keluar ia, melihat langit pada malam hari, susuri bau alam di jalanan. Aku tidak akan menyimpannya di kamar cantik, apalagi mewah, dengan spring bed, mainan banyak, terhalang dinding yang padat. Ia bukan bayi. Ia adalah jiwa. Ia adalah jiwa. Ji-wa.
Aku menyesal rasanya. Telah terlalu lama aku meninggalkan diriku sendiri, terkungkung dalam hidup yang bukan aku. Kadang aku ingin menemaninya lebih lama, tapi aku sungguh tak bisa. Mungkin karena aku tak dibawanya pergi, melihat petang yang cantik, hanya dongeng tentang yang baik, sehingga kemudian ada yang jahat. Lantas ia berperan sebagai yang jahat dan aku hanyalah dongeng bagi kehidupan ini.
Aku bukan ia dan aku sama sekali tak berniat ingin menjadi sepertinya. Aku punya ia yang lain yang perlu kubawa keluar dan kuceritakan banyak kisah. Ia bebas memilih cerita untuk belajar nantinya bahwa pilihan itu pun tak ada. Bahwa hitam hanyalah warna, putih hanya keadaan, dan segala sesuatu bisa menjadi nisbi.
Aku hanya perlu memahami, kelak aku akan ditinggalkan. Dunia pamit pergi, kehidupan menjauh berjalan. Tapi, selagi aku tetap menjadi diri sendiri, semua akan baik-baik saja. Karena, sejatiku adalah memberi jiwa, bukan hiasan, bukan menjadi ibu, melainkan teman.
Ada dua ia, dan aku di antaranya. Masaku tak akan habis, menjadi siapa pun itu: anak, ibu. Seandainya ada yang mau mengerti, tapi aku tak berharap itu. Tugasku hanya menemani sebab selamanya jiwa tetaplah jiwa, yang bebas, mencari-cari, rindu pada pemiliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H