Kami rebahan dalam kamar yang gelap. Bukan apa-apa, serombongan laron malam ini mengerubungi cahaya. Apa pun. Lampu teras, bohlam kamar, layar televisi, semua cahaya tak ada yang luput dari rangsangnya yang peka. Kami pun memutuskan untuk mematikan semua alat yang menimbulkan cahaya. Rebahanlah kami kemudian dalam kamar yang gelap.
Ternyata, dalam gelap semua terasa lebih lekat. Kami tak butuh bersetubuh, hanya berbaring dan memandang ke arah jendela, tempat bulan menggantung jauh di luar sana dalam gelap yang lebih pekat dari kamar ini. Hanya itulah satu-satunya cahaya yang ada, jauh pula. Para tetangga sudah lebih dahulu mematikan semua alat yang menimbulkan cahaya dalam rumah masing-masing. Dan mungkin, kini mereka juga sedang asyik memandangi satu-satunya cahaya yang ada di sekitar kami semua: bulan.
Andai serombongan laron itu mampu terbang jauh, tentu mereka akan ke sana, mengerubungi satu-satunya cahaya yang tak mungkin bisa dimatikan oleh siapa pun.
"Laron sudah datang, sebentar lagi musim hujan," katanya.
*
Laron selalu menjadi pertanda musim yang berganti. Ketika senja tiba, mereka serombongan keluar dari sarang, beterbangan sana sini, mencari sumber cahaya di sekitar mereka.
"Kenapa laron mendatangi cahaya?" aku bertanya, "bukankah mereka itu rayap yang bersayap?"
Dia mengatakan padaku bahwa laron adalah rayap pecinta. Aku terkekeh mendengar istilahnya. Tapi, memang begitulah takdir laron sebagai kasta reproduksi dalam koloni rayap. Mereka kelak bersayap dan punya tugas untuk membentuk generasi baru.
"Maka, setiap pecinta akan dianugerahi keistimewaan, seperti laron yang dianugerahi sayap agar bisa terbang."
Bila waktunya tiba, rayap pecinta akan keluar dari sarang, lalu berkumpul di cahaya terang demi menemukan pasangan. Mereka yang berhasil bertemu, akan kawin dan melepaskan sayap. Lalu, mereka akan pergi untuk membuat sarang baru.
*