Mohon tunggu...
Si Murai
Si Murai Mohon Tunggu... Editor - Itu, burung kecil berekor panjang yang senang berkicau!

“Do not ask who I am and do not ask me to remain the same. More than one person, doubtless like me, writes in order to have no face.” ― Michel Foucault

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Neo-Nomadisme

1 Mei 2019   13:10 Diperbarui: 1 Mei 2019   13:26 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem telah membelenggu hak hidup manusia. Mereka tidak lagi bisa sembarang membangun rumah mereka sendiri dengan proses yang dikatakan Mohamad dalam catatannya, seperti ketika tikus tanah membuat ruang hidupnya dengan membuat liang yang cocok; mungkin juga sama seperti ketika para manusia purba berpindah tempat dengan membangun rumah dan lahan untuk bercocok tanam yang tepat. Manusia modern tak bisa begitu. Para nomad baru tak membangun liangnya; ia masuk ke sebuah geografi yang sudah disiapkan untuk siapa saja. Di sana, ia hanya seorang tamu.

Properti menjadi aset bisnis yang menjanjikan. Pembangunan perumahan tumbuh subur menggantikan tanaman pangan di lahan-lahan pertanian. Di pelosok suatu wilayah, permukiman dibangun untuk ditempati oleh siapa pun yang mampu mengkredit ke bank selama lebih dari satu dekade. "Penduduk kota-kota besar tinggal di dalam kotak-kotak yang dipasang-susun," begitu yang ditulis Gaston Bachelard, filosofis Perancis, sebagaimana yang dicatat Mohamad. Manusia modern benar berpindah tempat: mengontrak, lalu membayar sewa. 

Di sisi lain, rumah cluster yang telah dibangun dan berstatus ready stock, namun belum laku oleh pengkredit, dibiarkan kosong untuk diisi makhluk gaib selang 40 hari kemudian. Banyak kutemukan yang seperti itu di balik gerbang komplek tempat sepasang manusia pengumpul sampah plastik duduk beristirahat. Ingin rasanya kugiring mereka ke rumah kosong itu agar tak luntang-lantung di jalanan dan bisa beristirahat dengan leluasa di sana. Kalau perlu ajak saudara mereka, rekan-rekan senasib, para tunawisma yang lain, para gelandangan. Apalah bedanya, toh, kita semua ini adalah tamu? 

***

"Neo-nomadisme itu juga lahir dari jarak: di Jakarta, rumah dan tempat kerja sering kali begitu jauh, lalu lintas begitu padat, hingga lebih lama orang hidup di jalanan ketimbang di kamarnya sendiri. Ia akan berangkat pukul enam pagi, sampai di rumah kembali pukul tujuh malam, untuk kemudian duduk menonton televisi tentang dunia jauh, sebelum tidur, mungkin mimpi. Dan pada pukul lima..."

Aku bahkan berangkat kerja lebih pagi dari itu--tapi tidak pernah menonton televisi sepulangnya. Hidupku adalah di luar, di perjalanan. Tapi, bukankah begitu hakikatnya kehidupan manusia? Kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain karena tempat apa pun pada akhirnya hanya sebuah ruang transit. Kamar apartemen, kos-kosan, vila, rumah hanyalah kemah dalam hidup yang tak bisa mandeg.

Bagi sebagian manusia, rumah menjadi abstrak definisinya. Mungkin ia tak lagi sebuah bangunan beratap genting, tembok bata, berkasur, berkamar mandi, berdapur, ada garasi, taman, dan fasilitas lainnya. Ia semata dimensi yang jauh dan begitu dirindukan: rumah adalah tujuan, akhir sebuah perjalanan, tempat paling semestinya untuk berpulang, beristirahat dengan tenang. Tetapi, Mohamad memberi alternatif lain untuk menjelaskan bahwa seorang nomad tak pernah sempurna sebagai seorang nomad. Kita boleh membangun sebuah "rumah" yang bisa kita tempati dengan betah. 

"Ada ruang, sebagiannya tersembunyi dalam hati, yang tak hendak dan tak bisa diperjual-belikan: sebuah pojok taman, sebuah sudut kota yang menyimpan kenangan, sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedai, sebuah stasiun bus, sebuah tempat pertemuan..."

Aku juga menemukan satu dari alternatif yang diberikan itu--lebih homey dari sebuah rumah. Dan aku menyebutnya ruang yang pas untukku, sambil terus berjalan, namun tak menyebut diri tunawisma--selain karena memiliki nomor HP dan alamat e-mail.

*Judul ini diambil dari istilah dalam Catatan Pinggir Goenawan Mohamad berjudul "Kamar".  Tulisan ini disalin dari blog pribadi penulis dengan judul sama.

Gambar diambil dari sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun