Kami mengekor kakak perempuan terbesar. Ia nyuhun (membawa barang di kepala) baskom berisi congcot (tumpeng). Pagi itu kami akan memanen padi dan seperti biasa kegiatan ini akan jadi syukur kami atas proses bercocok tanam.
"Duh Gusti hatur nuhun kana panangtayungan sareng kalancaran tatanen. Pamugi hasil tatanen dinten ieu tiasa nyekapkeun sagala pangabutuh," (Oh Tuhan, kami bersyukur atas penyelenggaraan serta kelancaran dalam bercocok tanam. Semoga hasil bercocok tanam hari ini bisa mencukupkan kebutuhan kami).Â
Dikelilingi lima anak dan beberapa ibu buruh tani, bapakku mengucapkan doa. Congcot, lauk pauk serta amis-amis (makanan manis untuk cemilan) terhidang di depan kami. Inilah ritual yang bapak lakukan sebelum akhirnya masing-masing dari kami memegang etem (ani-ani)
"Kieu cara nyekelnya," (begini cara pegangnya) kakakku mengajariku cara memegang ani-ani. Alat pemotong padi ini kucapit dengan jari dan kupraktikkan untuk memotong batang padi. Awalnya terasa sulit namun lama-lama kecepatanku bertambah sehingga bisa mengumpulkan cukup banyak untaian padi. Mendekati siang, kami berkumpul mengelilingi congcot yang sudah diruntuhkan. Congcot ini hanya congcot biasa, bukan congcot sabogana. Congcot khas daerah Cisantana dan sekitarnya ini perlu waktu lebih lama untuk menyiapkannya.Â
Berbeda dengan congcot pada umumnya, congcot sabogana terdiri atas nasi dan masakan campuran sayur dan potongan kecil daging yang dikukus bersama. Sabogana sendiri berarti sepunyanya, apa-apa yang dipunyai di rumah meski dalam prakteknya ya... diada-adakan. Beragam jenis sayur, bumbu dan kalau ada potongan-potongan kecil daging dimasak bersama-sama. Setelah itu disiapkan aseupan (kukusan kerucut dari anyaman bambu) yang di ujungnya diberi telur asin.Â
Lantas, diatas telur diberi nasi gigih (nasi tanak setengah matang), setelahnya diberi sayuran sabogana, lalu ditutup dengan gigih, diberi lagi sayur  dan seterusnya. Alhasil ketika congcot dikukus di seeng (dandang), di dalamnya sudah ada lapisan nasi dan sayur sebagai teman nasi. Ketika congcot diruntuhkan, nasi dan campurannya akan diaduk. Warnanya kuning karena bumbu kunyit dan aromanya... menggugah selera. Congcot sabogana ini biasanya dibuat dalam perayaan-perayaan khusus.
Memanen padi pada saat aku kecil memakan waktu yang lebih lama karena alat yang digunakan adalah etem. Setelah seluruh padi dietem, untaian padi lantas diikat dan dijemur dibolak balik hingga kering. Padi-padi inilah yang nantinya mengisi goah (gudang) di rumah-rumah. Pada saat dibutuhkan untaian padi akan dirontokkan dengan cara diinjak-injak atau dikerok dengan sendok makan. Kalaupun ada padi yang dirontokkan setelah dipanen, bulir-bulir padi akan dijemur di atas giribik.Â
Anyaman bambu ini mirip bilik untuk dinding rumah namun lebih tipis dan lentur sehingga bisa digulung. Padi yang sudah mengering lantas disimpan di karung dan ditempatkan di goah. Saat keluarga membutuhkan beras, padi ini akan dikeluarkan dari goah dan ditumbuk menggunakan lisung (lesung) dan halu (alu) atau dibawa ke penggilingan. Bagaimana dengan pohon padi? Pohon padi akan dibabat menjadi jarami (jerami) dan dibiarkan mengering. Keumumannya jerami yang sudah kering dibakar dan menjadi campuran pupuk kandang.
Jaman berganti dan menggeser peran etem. Etem tidak lagi laku dan hanya terselip di sudut dapur, berkarat karena tidak dirumat. Sebagai penggantinya, sabit dengan cekungan bilah yang tajam membabat pangkal pohon. Dengan teknik ini, setelah tanaman padi dibabat, petani ataupun pekerja akan menggenggam pangkal pohon padi yang sudah dibabat dan menggebuk-gebukkan bagian ujung pohon padi ke terpal sehingga bulir-bulir padi terlepas.Â
Proses ini tentu saja jauh lebih cepat dibandingkan menggunakan etem. Diibaratkan meminum teh, proses panenan dengan etem seperti meminum teh dengan ritual tertentu, sementara memanen dengan sabit diibaratkan meminum teh dari botol instant. Kecepatan, kepraktisan dan kemanfaatan menjadi ukurannya. Salah satu alasan kemanfaatan adalah batang padi. Batang yang sudah tidak lagi berbulir padi akan dikumpulkan dan diangkut oleh mereka yang membutuhkan, para peternak sapi perah. Semenjak peternakan sapi merebak di kampungku, jerami menjadi incaran. Alhasil peran buruh tani perempuan pun terpinggirkan. Mereka yang membabat padi bekerja tidak lagi karena alasan upah, tetapi karena alasan jerami.Â
Bagaimana dengan kami anak-anak bolang? Bergesernya cara panen menghilangkan jerami-jerami yang belum dibabat sebagai  tempat persembunyian saat main petak umpet di sawah. Hilangnya  tumpukan jerami menghentikan kami untuk menjatuhkan diri dari ketinggian dan mendarat di jerami yang empuk. Batang-batang padi yang tidak bersisa tidak memungkinkan lagi kami membuat 'heheotan' (peluit) dari batang padi. Masa panen tak lagi berseri untuk kami.*** (Bandung, 29 Agustus 2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H