Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Uli-ku

6 Juni 2022   23:29 Diperbarui: 7 Juni 2022   09:41 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengekor perempuan berbatik coklat. Uli. Itulah panggilan sayang dari kami, keluarga besar, untuknya. Dia istriku dan sekarang sedang menuju ke stand siomay tahu bakso. Sebagaimana di resepsi-resepsi pernikahan sebelumnya, stand siomay tahu bakso selalu menjadi incaran pertamanya dan itu menular kepadaku. 

Aku yang semula tidak familiar dengan makanan ini menjadi suka. Kesukaan istriku pada makanan ini ditunjukkan semenjak kami masih jadi mahasiswa di UPI. Di belakang gedung pentagon yang menjadi tempat perkuliahan dan ruang himpunan mahasiswa, terdapat penjual baso tahu goreng atau batagor. Tempat ini menjadi langganan kami ketika mencari kudapan. 

Sekian tahun menyukai siomay tahu bakso tidak lantas ada keinginan Uli untuk mencoba membuatnya. Apalagi berniat untuk berjualan. Kalaupun berjualan, barang yang sudah ia jual jauh dari barang berbahan dasar tepung sagu. Dari ceritanya semenjak kecil Uli sudah diperkenalkan dengan kegiatan berjualan. Sewaktu dia SD, dia menitipkan gorengan di kantin sekolah. Ayahnya yang menjadi mertuaku  pernah berjualan bakso. Ibunya yang dikenal terampil memasak seringkali menyiapkan masakan yang tidak semata untuk keluarga sendiri tetapi juga untuk dijual kepada tetangga. Kegiatan berjualan makanan ini aku alami sendiri ketika setelah menikah aku tinggal bersama mereka.

Setelah purna karya dari tugas di perusahaan gas negara, ayah mertua berjualan bubur ayam sekalipun tidak berlangsung lama dan berganti berjualan lontong kari ayam. Rasa yang enak dan porsi serta harga yang pas membuat jualan lontong kari ini cukup laris. Bahkan beberapa kali mertuaku mendapatkan pesanan katering lontong kari untuk gathering dari dua bank swasta dan kegiatan gereja.

Pada saat pesanan katering inilah anggota keluarga yang lain termasuk aku ambil bagian untuk membantu menyiapkan sekian ratus mangkok porsi lontong kari, mencuci alat-alat yang sudah dipakai dan ini yang menjadi kenangan khusus - mendorong roda lontong kari dari bank tempat pertemuan ke rumah, menggantikan ayah mertua yang sebelumnya mendorong roda dari rumah ke tempat acara. Dekat? Tidak juga. Jauh? Ya lumayan, kurang lebih 1 jam mendorong roda.  Kegiatan mendorong roda makanan ini mengingatkanku pada pengalaman bekerja di toko grosir makanan setelah aku lulus SMA. Yang kudorong saat itu bukanlah roda makanan tetapi roda yang mengangkut dus-dus makanan dari toko grosir di Jalan Winaon ke Jalan Pekiringan Cirebon. Jadi, bekerja keras sudah menjadi bagian dari hidupku dan aku bersyukur ditempatkan dalam lingkungan orang-orang yang bersedia bekerja keras. Termasuk Uli dan keluarganya.

Pekerjaan pertama istriku adalah sebagai finance di toko ritel di Jalan Braga. Kesempatan bekerja di tempat ini pun melalui cara yang tidak biasa. Sekalipun lulusan dari UPI dan mendapatkan sertifikat akta 4 untuk mengajar, Uli lebih memilih untuk bekerja di perusahaan. Untuk alasan itu pula surat kabar Pikiran Rakyat menjadi referensi utama lowongan pekerjaan dan kemana pun dia pergi selalu membawa salinan ijazah dan dokumen lainnya kalau-kalau di suatu tempat ada kesempatan untuk mengirimkan lamaran kerja. Sejumlah surat lamaran pekerjaan sudah dikirimkan namun belum ada panggilan. 

Suatu waktu kami meninggalkan stasiun kereta api Bandung dan membeli koran PR. Di iklan ditemukan lowongan pekerjaan dengan deadline surat masuk hari itu juga. Kami saling berpandangan dan sepakat untuk memasukkan surat lamaran. Permasalahannya, yang dibawa hanya salinan dokumen sementara surat pengantarnya belum dibuat. 

Maka mencari-cari tempat foto kopi kami menemukannya tidak jauh dari Gedung Pakuan. Di tempat ini pula surat lamaran kerja ditulis, dilengkapi dengan dokumen pendukung dan dimasukkan ke dalam amplop. Dengan bergegas dari Jalan Kebon Kawung kami mencari angkutan kota ke arah Jalan Braga. Sudah menjadi jodoh pekerjaan Uli, akhirnya ia diterima bekerja di perusahan ritel yang sesuai dengan keterampilan yang ia pelajari dari semenjak SMA sampai kuliah - akunting dan administrasi perkantoran. Di tempat ini tidak lantas jiwa pekerja keras dan bisnisnya berhenti. Dalam rangka membantu usaha sampingan ibunya, Uli membawa kain batik yang dibeli ibunya ketika pulang kampung ke Jawa Tengah dan menawarkannya pada karyawan di tempat kerjanya. Demikian juga ketika ibunya memproduksi rempeyek, Uli membawanya ke kantor dan tidak semata menawarkannya pada karyawan tetapi pada saat istirahat kerja menawarkannya pada restoran, dan rumah makan yang ada di sekitar Jalan Braga. 

Ketika aku berkomentar, 'Hebat, ya, punya keberanian untuk menjajakan makanan." Jawabannya cukup sederhana, "Yang pasti jawabannya hanya ada dua - diterima atau ditolak. Kalaupun ditolak kita juga tidak rugi." 

 Aku terpana dengan jawaban itu karena aku sendiri tidak siap ketika mesti menawarkan barang dalam konteks berjualan. Dalam beberapa kesempatan aku pernah bergabung dengan multi level marketing namun tidak ada yang jalan karena aku tidak punya keberanian untuk menawarkan. Keberanian Uli menawarkan barang terbukti menjadi jalan pembuka usaha siomay yang kami geluti. 

Pandemi yang cukup panjang membuat Uli akrab bersahabat dengan youtube. Dari konten-konten masakan di youtube itulah akhirnya terbersit niat untuk mencoba membuat siomay dan tahu bakso. Dari komentar anggota keluarga besar yang mencicipi siomay yang kami bawa dalam acara keluarga, terpikirlah oleh kami untuk berjualan siomay. Alhasil setelah melalui beberapa kali uji coba rasa, kami meneguhkan hati untuk menawarkan siomay. Jiwa wirausaha Uli kembali menunjukkan kekuatannya dengan menawarkan siomay ke tetangga-tetangga dan tentu saja keluarga besar. Tanggapan tetangga sangat membesarkan hati.

Dari semenjak itu pula siomay RUNO menemukan jalannya untuk bergeliat dan mendorong kami untuk mengembangkan kreativitas dan keterampilan baru. Uli, istriku mengibaratkan siomay RUNO sebagai bayi yang perlu kami rawat untuk bisa melalui tahapan-tahapan perkembangannya.*** (Bandung, 6 Juni 2022)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun