Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pintu Kesempatan

26 Mei 2021   14:09 Diperbarui: 26 Mei 2021   14:13 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                       "Bantu dong. Ada bule nyari pastor. Aku ngerti maksud dia tapi kagak bisa jawabnya," anak gadis berambut ikal itu menuruni tangga Gedung Prakasita. Matanya mengarah pada Tuanku.

            Aku bisa merasakan keraguan Tuanku. 

            "Ayolah Simon. Bulenya masih menunggu," lanjut gadis itu. Ia menarik tangan Tuanku supaya berdiri. Dengan enggan Tuanku berdiri dan mengekor.

            "Memang dia mau ngapain, Magda?" tanyanya

            "Dia mau ketemu pastor. Tapi pastor Abu kan lagi tidur. Aku gak tahu ngomongnya dalam Bahasa Inggris," jawab gadis yang dipanggil Magda.

            Aku dan kembaranku menaiki tangga ke lantai satu dengan langkah yang tidak ringan. Keraguan Tuanku membuat otot-otot kami setengah tertahan untuk bergerak.

            "Kesampaian juga Tuan kita ketemu bule," bisik kembaranku dalam langkah berirama kadang di depan kadang di belakangku. Sol karet sepatu yang membungkus kami menggesek lantai menghasilkan ketukan irama.

            "Iya, cuman tidak harus segininya. Kayaknya Tuan kita grogi amat," gumamku

            "You know laah," ujar kembaranku.

            "I know." Aku membatin.

            Kuliah di jurusan Bahasa Inggris di tahun kedua semestinya sudah memberikan Tuanku bekal keterampilan berbahasa yang lumayan. Tapi tidak kenyataannya. Dua semester pertama berturut-turut Tuanku mendapatkan nilai D untuk mata kuliah Listening dan Speaking sehingga menjadi beban psikologis yang tidak kecil. Apalagi dua mata kuliah ini menampakkan sebenar-benarnya kemampuan praktis mahasiswa jurusan ini. Beban ini semakin berat manakala Tuanku menyadari ia mendapatkan fasilitas beasiswa untuk kuliahnya. Tentu, nilai D bukan pertanggungjawaban yang baik. Dan sekarang sekarang dia harus bertemu muka dengan bule dan bercakap-cakap dalam Bahasa Inggris.

           "Hmm, aku mesti siap-siap tutup kuping." Lagi, aku membatin.

            Langkah kami tiba di ruang tamu. Kulihat ada kembaran seperti kami milik dari seorang perempuan yang sedang berdiri. Aku mengangguk pada kembaran tersebut yang memang bule, terlihat dari warna kulitnya. Di pergelangan salah satu dari mereka melilit rantai emas dengan bel kecil yang akan berbunyi halus ketika ia bergerak.

            "Hello, please sit down. What I can help you?" Tuanku menyapa tamu dengan terbata dan dijawab persis seperti yang disampaikan Magda. Perempuan itu mencari pastor untuk pengakuan dosa. Magda sepertinya tidak mau terlibat  lagi karena langsung undur diri kembali ke perpustakaan gereja, meninggalkan Tuanku yang grogi.

            Aku yang semula berniat menutup telinga rapat-rapat berubah pikiran.  Aku penasaran dengan pertemuan ini. Ternyata Tuanku tidak jelek-jelek amat Bahasa Inggrisnya. Paling tidak dia mengerti yang diomongkan tamu dan bisa menanggapi sekalipun terbata. Dari yang kusimak dan kusaksikan pertemuan ini tidak semata berhenti di informasi dari Tuanku yang menyampaikan bahwa yang pastor yang sedang dicari bule itu sedang tidur tapi berlanjut pada obrolan lainnya. Ternyata M, inisial bule yang memperkenalkan diri itu, sedang mencari pekerja paruh waktu untuk menjaga anaknya. Sehubungan dia merencanakan memberikan satu hari libur bagi penjaga anaknya di hari Minggu, maka ia membutuhkan penjaga anak pengganti. Syaratnya  part timer tersebut haruslah laki-laki dan paham Bahasa Inggris. Dia ingin mengiklankan lowongan ini di buletin gereja.

            Entah apa yang terpikir oleh Tuanku, mendengar informasi ini ia spontan menyampaikan ketertarikannya dan menyebutkan bahwa ia mahasiswa Bahasa Inggris. Tertarik dengan reaksi Tuanku, Mrs. M langsung  menyambut keinginan Tuanku dengan memberikan alamat dan meminta Tuanku datang ke rumahnya untuk bertemu keluarga dan penjaga anak. 

            Kembaranku memelototkan matanya kepadaku. Perkembangan ini tidak dia duga. Demikian juga aku. Siapa meyangka dengan deal yang terjadi antara Tuanku dan Mrs. M.

            "Kamu yakin Tuanku bakal datang?"

            "Kita lihat saja nanti," ujarku.

            Terdorong oleh pembicaraan Mrs. M dan Tuanku maka kamipun menyapa dan bercakap-cakap dengan kembaran bule di balik meja tamu. Dari ceritanya ternyata Mrs. M berkewarganegaan Amerika dan menikah dengan orang Jerman. Keduanya tidak mampu berbahasa Indonesia sekalipun sudah cukup lama tinggal di Indonesia. Sang suami bekerja seorang civil engineer di Medan sebelum pindah ke Bandung dan menjadi konsultan perusahaan pelat merah. Mereka tidak dikarunia anak sehingga memutuskan untuk mengadopsi anak Indonesia. Saat berlibur di Bali mereka jatuh cinta pada salah satu anak laki-laki di panti asuhan. Anak itupun dibawa ke Medan dan dicarikan pengasuh orang Indonesia, seorang anak muda laki-laki. Kepada anak muda itulah libur akhir pekan akan diberikan sehingga dibutuhkan pekerja paruh waktu.

            Nobody knows the future. Benar juga pepatah ini. Siapa yang menyangka Tuanku bertemu dengan Mrs. M pada titik ia sedang galau  dengan kuliahnya. Dua nilai D menjadi beban pertanggunjawaban. Sekalipun ada banyak alasan untuk pembenaran diri namun tentu tidak berhenti di pembenaran. Mesti dicari cara-cara perbaikan. Dan pintu masuk perbaikan ini Tuanku dapatkan melalui keaktifannya dalam kegiatan kategorial gereja.

            Kesukaan Tuanku membaca mendorongnya untuk menengok perpustakaan darurat yang terletak di samping gereja. Rak-rak berdebu dengan buku yang tidak beraturan  menampakkan pemandangan yang kumuh. Bisa dimaklumi karena gedung pertemuan gereja dalam proses dibangun. Kelak perpustakaan gereja itu akan pindah dan menempati salah satu ruangan di gedung tersebut.

             Menjelang selesainya pembangunan gedung, tawaran untuk menjadi pengurus perpustakaan gereja disampaikan dalam pengumuman misa. Tidak ada secuil pikiran pun dalam benak Tuanku untuk menjadi pengurus. Sebagai mahasiswa perantauan dan jemaat yang baru aktif di gereja ia hampir tidak punya kenalan, sampai suatu saat seorang gadis mungil berkaca mata, berambut ikal dan berkawat gigi menghampiri Tuanku. Ia menawarkan apa yang tidak pernah Tuanku pikirkan: menjadi pengurus perpustakaan. Gadis yang ternyata mahasiswa kedokteran gigi itu pun berhasil menyingkirkan keraguan Tuanku. Dalam kurun waktu yang tidak lama, kumpulan anak-anak muda -- mahasiswa dan pekerja - bahu membahu menyiapkan kepindahan perpustakaan ke ruangan yang baru dan membangun sistem pengelolaan. Karena dipercaya menjadi koordinator katalog, maka Tuanku mengkoordinasi tim perpustakaan menomori, menyampul, dan menyiapkan kartu katalog. Alhasil dengan status barunya ini Tuanku lebih mengoptimalkan aku dan kembaranku untuk bergerak.

            Di sela-sela waktu luang Tuanku ternyata lebih memilih bekerja di perpustakaan gereja menyiapkan buku-buku. Ketika tidak ada kuliah pagi Tuanku akan berjalan kaki selama setengah jam dari tempat kost ke gereja untuk misa pagi dan berlanjut dengan bekerja di perpustakaan gereja. Sumbangan buku dari umat yang cukup melimpah dan anggaran pembelian buku setiap bulan dari paroki menjadikan pekerjaan katalogisasi tidak pernah usai. Hikmahnya Tuanku berkesempatan membaca buku-buku berbahasa Inggris dari novel dan bundel-bundel majalah Reader's Digest yang mendukung kemampuan reading. Untuk kemampuan lainnya, Tuhan bekerja dengan caranya. Pertemuan Tuanku dengan Mrs. M membukakan pintu kesempatan Tuanku melatih kemampuan listening dan speaking langsung dengan dengan penutur asli Bahasa Inggris. Pintu kesempatan itu menjadi pekerja paruh.** (Cimahi, 26 Mei 2021)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun