Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pengelana

25 Mei 2021   16:22 Diperbarui: 10 Juni 2021   22:49 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Aku sudah tidak kuat lagi," kembaranku mengeluh. Keluhan yang sama dari sekitar setengah jam yang lalu. Aku terdiam. Tidak karena tidak perhatian, namun bingung harus bicara apa lagi. Gerak kembaranku sudah kehilangan kemantapannya. Lecet di tumit memang bukan hal sepele ketika kami harus tetap bergerak. Apalagi dengan dibungkus sepatu boot tentara yang menjadi seragam gerak jalan. Plit komplit penderitaan kembaranku.

Saat itu kami merupakan satu pasang dari sekian banyak kembaran yang mengikuti lomba gerak jalan antar organisasi kemasyarakatan lintas golongan. Tuanku mewakili ormas Pemuda Katolik dan tergabung dalam grup anak-anak muda yang tidak tahu apa ormas ini sebenarnya. Hanya karena kekurangan peserta, maka kami anak-anak muda gereja diajak berpartisipasi. Bersama ratusan peserta lainnya dari berbagai organisasi se-kabupaten Kuningan, kami memulai lomba gerak jalan dari tempat bersejarah Gedung Perundingan Linggarjati menuju Pendopo Kuningan. Jauh? Jauh nian!!! 

Tiga tanda seru menegaskan jarak yang luar biasa. Inilah salah satu rute terpanjang yang aku dan kembaranku alami dengan siksaan sepatu tentara. Mengikut kehendak Tuanku kami berdua menyabarkan dan memaksakan diri untuk terus melaju dan tidak tergoda menyerah dan naik mobil kol buntung yang disediakan panitia untuk mengangkut mereka yang tumbang. 

Dua diantaranya dari grup kami. Meski tidak menjadi pemenang, aku mendapatkan pengalaman baru. Fisik kami bisa diibaratkan ayam-ayam kampung yang dibebasliarkan dan tidak seperti ayam sayur yang bergelambir lemak karena kurang gerak. Ototku semakin alot, liat. Tulang-tulangku semakin padat. Kulitku semakin kebas terhadap cuaca. Namun aku akan bilang pada tuanku untuk berpikir ulang membeli sepatu boot yang kurang pas untuk kami. Berat dan bikin lecet.

Berjalan kaki adalah salah satu kesukaan tuanku. Pengelana, itulah sebutan orang untuk kegiatan ini. Di waktu-waktu senggang, Tuanku menyusuri jalan, gang-gang sempit ataupun kalau di kampung halaman pematang sawah dan jalan setapak.Tiga alasan kesukaannya itu selain karena hobi jalan tanpa tujuan, Tuanku juga suka mencari jalan-jalan pintas untuk menuju ke satu tempat tertentu. 

Alasan ketiga ya... karena uang. Jalan membuat Tuanku bisa menghemat sekian rupiah untuk menuju ke satu tempat tanpa perlu membayar ongkos kendaraan. Jadi, tidak ada dalam list alasan berjalan karena kesehatan seperti sekarang menjadi trend, bahwa berjalan satu jam atau sembilan ribu langkah dengan stabil akan membakar kalori, menurunkan berat badan, melancarkan sirkulasi darah dan bla..bla.. bla... Sekalipun alasan tersebut sepertinya benar adanya, terbukti berkat kami yang selalu bergerak stamina Tuanku tetap prima.

             "Tidak disangka Tuan kita malah pergi." Kembaranku berkata.

             "Maksudmu?" tanyaku.

             "Lha yang lain mau bakar-bakar ayam, ini Tuanku malah memutuskan ke sini. Jalan lagi. Alhasil kita-kita juga yang kepayahan," jawab kembaranku.

Aku mengangguk. Nafasku masih tersengal-sengal. Jari-jariku terasa menegang. Betis kerasa keram. Keputusan Tuanku menyusuri jalanan tengah malam hampir 2 jam lamanya dari kost-an di belakang UPI sampai Jalan Merdeka tidak masuk akal sehat kami. Padahal penghuni kost sedang bersiap-siap berpesta. Memutuskan bergabung dengan ratusan orang tidak dikenal yang menunggu pergantian tahun membuatku berkernyit. Bukan aku mengeluh, hanya keramaian suara terompet dan riuh rendah orang-orang di pelataran pusat perbelanjaan BIP ini kurang kusukai.

            "Menurutmu pulangnya Tuanku akan cari angkutan atau tidak?" tanyaku.

Kembaranku menggeleng pelan. Ia tidak terlalu yakin. Sekalipun berjalan sudah menjadi kebiasaan kami, perjalanan malam ini terasa berbeda. Menyusuri jalanan di malam hari minus penerangan bukanlah kegiatan yang menyenangkan. Aku selalu curiga dengan keremangan dan kegelapan yang identik dengan misteri dan ketidakpastian. Maka aku selalu berkata pada kembaranku untuk selalu berjaga-jaga dan bersiap, mengerahkan kemampuan kami untuk bergerak lebih cepat. Berlari sebutan lebih tepatnya, untuk menghindarkan Tuanku dari misteri yang muncul dari kegelapan.

Berjalan dalam kegelapan dengan jarak yang cukup jauh bukan sekali ini saja terjadi. Saat di bangku SMA dan pulang kampung untuk merayakan natal, keputusan mengambil bis malam berakibat Tuanku tiba dini hari di terminal Kuningan dan tidak tersedianya angkutan menuju ke desa. Alhasil keputusan nekat diambil: berjalan kaki dari Cirendang - subterminal di Kuningan sampai ke desa Tuanku, Cisantana. Orang mungkin tidak akan habis pikir mengapa Tuanku tidak menunggu hari terang dan angkutan pertama melintas dan lebih memilih dua setengah jam berjalan kaki.

Jalanan mendaki dan menurun yang gelap, sepi, melewati kebun bambu, tebu, pesawahan dan pekuburan tidak menyurutkan Tuanku untuk memaksa kami bergerak dengan gerak cepat. Desau dedaunan, bayangan gelap pohon-pohon besar dan kelebat kelelawar tidak menjadi penghalang. Meskipun, aku dan kembaranku masih bisa menangkap samar nyali Tuanku yang ciut. 

Pikiran untuk berbalik arah tidak sekali muncul namun acapkali Tuanku kembali meneguhkan niat. Jari-jari tangan yang tak lepas menggilir bulir rosario dan komat-kamit mulut berdoa Salam Maria memfokuskan pikiran Tuanku. Gerak cepat kami berbuah peluh dan nafas yang menderu. Kontras dengan udara pegunungan dini hari yang mengigil untuk mereka yang bergelung di peraduan. Dua jam setengah perjalanan berlalu. Ketika Tuanku bercerita tentang perjalanannya, kedua kakak perempuannya hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dengan keputusan adik bungsu mereka yang tidak biasa.

Dan ini kami, aku dan kembaranku dalam gerak berirama meniti tangga menaiki pesawat Merpati Airlines. Keputusan Tuanku untuk setia mengelana membawa tidak semata fisik kami yang semakin tangguh, tetapi juga kesempatan-kesempatan yang terbuka lebar seperti halnya berbagai jalan dan gang yang siap Tuanku lalui. Satu dari kesempatan itu adalah melanglang kota-kota besar, negara di benua Eropa, Amerika, Australia dan tentu saja Asia, selain Indonesia tentunya.** (Cimahi, 25 Mei 2021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun