Andaikata aku tidak memiliki kesukaan membaca, entah imajinasiku akan seperti apa dan terhenti dimana. Membaca membukakan jendela sehingga aku bisa menatap dunia luar, menghirup aroma yang menguar dan merasakan apa yang orang lain rasakan dalam setiap peristiwanya. Membaca melambungkanku melampaui lapisan-lapisan atmosfir yang kupelajari di mata pelajaran IPA, bahkan menghempaskanku ke ruang tanpa batas, surga ketujuh sekalipun.
Di usia yang menjelang setengah abad, momen terdini yang aku ingat menikmati bacaan adalah di kelas empat saat aku menemukan stensilan di sorog, istilah yang disematkan orang Cisantana Kuningan pada laci. Entah siapa yang menempatkannya di sana. Di tahun-tahun tersebut jangan harap di desaku ditemukan buku-buku cerita sebagaimana yang dengan mudahnya bisa ditemukan sekarang ini dengan tampilah yang wah.Â
Mungkin ada, tapi tidak dalam jangkauanku. Di SD tempatku sekolahpun saat itu belum ada ruangan yang dinamakan perpustakaan. Bagaimana ada ruang perpustakaan kalau bukunya tidak tersedia. Sekolah dasar swasta katolik yang terletak di kaki Gunung Ciremai ini pada masanya merupakan sekolah misi yang menyediakan fasilitas belajar untuk anak-anak dari keluarga-keluarga katolik dan beberapa non katolik. Seterbatas apapun kemampuan sekolah itu, pada masa aku bersekolah tidak kusadari keterbatasan itu. Kalaupun sekarang keterbatasan itu menampakkan bentuknya, keterbatasan itu menjadi keunikan dan cerita yang selalu kukenang.
 Kenangan masa TK dan kelas 1 menarikku pada ingatan kegiatan jalan santai dan piknik, kegiatan sederhana yang tidak membutuhkan bus pariwisata, tour guide ataupun kaos seragam. Aku masih ingat berjalan beriringan bersama teman-teman sekelas didampingi biarawati katolik yang menjadi kepala sekolah, guru kelas dan beberapa siswa kakak tingkat yang bertugas sebagai pendamping  menyusuri jalan desa dan berhenti di tempat lapang, biasanya ladang yang belum diolah dan lantas kami menikmati bekal yang sudah disiapkan. Setelahnya kami kembali ke sekolah.
Aku masih mengalami harus lepas sandal untuk masuk kelas. Sandal-sandal jepit berbagai warna, ukuran dan tampilan berjajar di halaman kelas. Ketika di kelas dua, karena kami masuk siang bergantian kelas dengan kelas satu, kami kadang tergerak untuk menata sandal-sandal kakak tingkat yang berserakan di depan kelas.
Untuk siswa kelas besar setiap pagi pukul 5.30 ada tugas piket pagi. Mereka bangun dan pergi dari rumah ke sekolah untuk membersihkan kelas -- menyapu, mengepel dan menyapu halaman. Setelahnya, siswa yang bertugas pulang kembali ke rumah untuk bersiap-siap dan kembali lagi ke sekolah untuk belajar. Setiap Sabtu kami benar- benar membersihkan sekolah. Aku masih ingat mengepel lantai halaman kelas dekat WC dengan cara mengguyur dan menggosoknya dengan sikat.
Samar dalam ingatan, rasanya kami mendapatkan satu gelas plastik bubur kacang gratis dari sekolah di hari-hari tertentu. Dari kebun sekolah yang dikelola siswa putra kelas besar dalam pelajaran PKK, kami mendapatkan pembagian 1 pisang atau satu potong ubi rebus setelah panenan. Tetap saja pisang yang diberikan sekolah terasa lebih spesial sekalipun di rumah bisa setiap kali kami mendapatkan pisang. Di pelajaran PKK inilah aku mendapatkan pengalaman pertama dan terakhir membuat lubang cukup besar, mengisinya dengan rabuk dan menanam anak pohon pisang dan merawatnya. Sekalipun anak petani, aku tidak pernah mendapatkan pelajaran itu dari ayahku.
Pada saat perayaan Hari Kartini, kegiatan rutin yang dilaksanakan sekolah adalah lomba memasak. Tentunya untuk kelas besar. Kembali, pertama kalinya aku membuat nasi kuning, membuat telur dadar tipis bersama-sama dengan teman kelompokku adalah saat perayaan hari Kartini. Pada perayaan ini sudah jamak siswa putri memakai kebaya. Satu kejadian yang masih kuingat, kebaya pinjaman yang dikenakan kakak perempuanku terkena minyak goreng saat memasak. Adegan kakakku bergegas pulang untuk 'menyelamatkan' kebaya masih kuingat. Â Â
Di seberang halaman sekolah terdapat panggung permanen yang digunakan untuk penampilan siswa. Aku termasuk yang beruntung karena ingatanku menorehkan catatan bahwa sewaktu aku TK aku tampil menyanyi diiringi orkes dapur yang dimainkan siswa kelas 6, kakak laki-lakiku salah satunya. Salah satu pemain orkes dapur tersebut adalah teman kakakku yang sekarang menjadi pastor diosesan di Keuskupan Bogor yang memainkan buyung, semacam bejana besar terbuat dari tembaga untuk mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari. Saat itu. Tidak ada aliran air ke rumah-rumah. Maka, buyung menjadi perkakas yang lumrah digunakan para perempuan di desaku untuk mengambil air dari sumber air.
Lantas, bagaimanakah aku mulai mengakrabi buku dan setia meluangkan waktu untuk membaca? Ingatanku tidak mengarahkanku pada pengalaman di sekolah dasarku. Sekalipun saat aku di kelas besar, SD-ku membuat majalah dinding yang ditempeli koran, ingatanku tidak menyimpan satu memoripun bahwa aku pernah membaca koran tersebut. Bagiku kertas besar dengan tulisan super kecil itu seperti barang asing. Penempatannya dibalik kaca seolah-olah menyiratkan betapa berharganya barang tersebut sehingga akupun khawatir untuk mendekat. Setidakny kaca itu yang memunculkan ketakutan untuk dengan tidak disengaja aku memecahkannya.Â
Dalam masa itu stensilan yang nantinya aku tahu sebagai novel yang kutemukan di sorog itulah yang menjadi titik awal aku belajar berimajinasi. Di stensilan itulah aku membaca cerita romansa dengan bumbu hujan gerimis, jerami, jatuh cinta. Karena aku akrab dengan hujan (sering main hujan-hujanan di desa saat kecil, menikmati air cucuran atap dari satu rumah ke rumah yang lain) dan juga jerami (seringnya menjadi bantalan empuk dan aman untuk melompat dari gawir (tebing) pematang sawah) maka mudah bagiku untuk membayangkan membayangkan tokoh cerita yang hujan-hujanan dan lantas berteduh di dangau (saung) beralaskan jerami dan lantas bergulingan. Hmm.. jangan tanya terusan ceritanya, ya. Silakan menggunakan imajinasi untuk meneruskan cerita tersebut.