Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

(2) Menghitung Rahmat: Selamat Jiwa karena Beasiswa

1 Maret 2021   09:40 Diperbarui: 17 Mei 2021   07:06 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendapatkan kesempatan belajar di kota besar tentu pengalaman yang luar biasa. Dengan status sebagai seminaris menengah aku menyemai benih-benih panggilan untuk menjadi rohaniwan katolik dan menjalani pendidikan di sekolah lanjutan tingkat atas. Obrolan dengan biarawati katolik di desaku membawaku ke kota Bandung. Dengan keterbatasan kemampuan orang tua dan statusku sebagai seminaris, maka biaya pendidikan didukung pihak gereja. 

Setelah tiga tahun menjalani pendidikan sebagai seminaris  ternyata benih panggilan untuk menjadi rohaniwan katolik tidak menampakkan tunas-tunas segar. Dihadapkan pada pilihan, akhirnya aku memutuskan untuk surut dari panggilan menjadi rohaniwan. Setelah keputusan ini dibuat, tidak lantas situasi mejadi lebih lapang. Sebaliknya, kegamangan atas apa yang akan diperbuat membayangi langkah. What next setelah aku lulus SLTA? Kuliah? Kerja? 

Dalam situasi gamang, alur kehidupan menawarkan bentuknya dalam rupa kesempatan kerja. Seorang pensiunan guru sekolah tempatku mengajar menjadi penulis buku cetak pelajaran. Bukunya menjadi best seller dan iapun mendirikan CV penerbitan. Tahu kegamanganke, wali kelas menawarkan pekerjaan di usaha penerbitan sang guru tersebut. Maka dalam jeda menunggu wisuda SLTA, aku mengamini tawaran ini.

Bertempat di salah satu rumah kontrakan yang menjadi kantor penerbiatan, aku bekerja mempraktekkan keterampilan mengetik yang dipelajari di sekolah untuk membuat surat-surat korespendensi dengan sekolah-sekolah yang memesan buku pelajaran. Sekalipun aku sudah belajar komputer di sekolah, komputer sendiri saat itu barang langka, belum bisa menggantikan peran besar mesik tik. Menyiapkan kardus-kardus untuk pengiriman buku-buku sampai ke luar Jawa adalah pekerjaanku lainnya. Demikian halnya dengan keuangan. Mendapati nominal uang puluhan juta tercetak di buku rekening membuatku takjub. 

Menerima dari teller dan menyakui uang jutaan yang aku ambil dari rekening pensiunan guru tersebut merupakan pengalaman pertama yang tidak dilupakan. Ah, menjadi penulis ternyata menjanjikan juga, renungku. Dengan petunjuk guru pensiunan tersebut, bersama dengan tukang becak langganan, aku melaksanakan tugas dengan penuh kehati-hatian. "Pastikan menyimpan uang di sebelah kanan badan. Lebih aman," pesan sang mantan guru mewanti-wanti. Menenteng dus yang cukup berat berisikan buku pelajaran dan menaiki bus DAMRI yang membawa aku ke kantor pos merupakan bagian pekerjaan yang lainnya

Proses pekerjaan serabutan di penerbitan ini dibayangi pertanyaan yang merisaukan. Akan bertempat tinggal di mana setelah aku tidak lagi di seminari. Dalam situasi yang risau datanglah tawaran untuk melanjutkan kuliah dari seorang rohaniwan katolik. Dalam pendulum ketidakpastian tawaran tersebut tidak lantas memberikan kejelasan what's next. Sebaliknya goncangan risau semakin menenggelamkan harapan. Bahkan dalam situasi seperti itupun, nasihat dari guru Bahasa Indonesia yang sengaja meminta waktu untuk bertemu setelah kegiatan wisuda tidak ampuh untuk meluluhkan kegamangan. "Dari pada kamu bekerja, kenapa tidak kamu terima tawaran kuliah tersebut? Ibu yakin itu yang terbaik," ujarnya di teras gedung pertemuan yang sekarang menjadi masjid megah di samping gedung balaikota kota Bandung.

Dalam redup malam dan balutan pakaian tradisional aku menyusuri jalanan untuk kembali ke seminari. Hiruk pikuk pesta perpisahan dan pengalaman diarak dengan satu teman perempuan yang sama-sama menyandang predikat lulusan dengan nilai ujian terbaik hilang tidak berbekas. Kontras semarak pesta dengan sunyi jalanan, terang benderang gedung pertemuan dengan suramnya lampu jalanan menyedot rasa pada titik kelam keputusan yang berujung pada tetes air mata.

Surat pengunduran diri yang aku titipkan pada pemilik kontrakan kantor penerbitan beberapa hari sesudahnya menandai berakhirnya statusku sebagai pekerja. PULANG. Itulah keputusan akhir untuk meninggalkan senandung kalut di Bandung dan rebah di rumah, menghalau resah. Bagaimana dengan tawaran beasiswa kuliah? Itu juga dikalahkan gundah. (Cimahi, 28 Februari 2021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun