Windy menyibakkan poni di dahinya. Ia menghembuskan nafas panjang. Segurat bekas luka di keningnya nampak di cermin. Guratan yang merenggut sebagian kepercayaan dirinya.
                                                                        ***
     Bergegas Windy menapaki teras cafe menghindari gerimis, mengedarkan pandangan mencari-cari Tanti. Sosok itu ternyata sedang menekuni HP di hadapannya.
    "Kak Tanti," sapa Windy.
    "Ternyata kamu datang tepat waktu. Pas datang, pas gerimis," ujar perempuan setengah baya itu.
Windy menggeser kursi dan menyandarkan tubuhnya, "Tidak telat, kan?" tanyanya.
    "Tidak, nyantai saja. Lagian kita kan tidak diburu waktu. Mau pesan minum dulu?" tanyanya. Windy mengangguk. Tidak berapa lama minuman terhidang di meja.
    "Nah, sekarang kamu mau ngobrol apa sama Kak Tanti?" Pandangan Tanti tertuju pada Windy. Gadis itu mengaduk-aduk minuman. Bimbang. Ia mencari kata-kata untuk mengungkapkan perasaannya pada pembimbing Bina Iman Remaja itu.
    "Hmm.. ini tentang.. tentang...ini, Kak," ungkap Windy sambil menyibakkan poninya.
Pandangan Tanti beralih pada kening Windy. Ia pun mengangguk perlahan. Tidak ada kata yang terucap. Windy menarik nafas panjang sebelum bercerita panjang lebar. Wajah gadis muda itu tidak bisa menyembunyikan kegundahannya.
    "Andaikata keisengan itu tidak terjadi, parut ini tidak akan saya bawa seumur hidup. Di wajah lagi," ujar Windy dengan suara bergetar.
    "Tiap kali saya merasa orang memandang bekas luka ini dengan mata bertanya-tanya. Tiap kali itu pula peristiwa itu selalu terbayang,"
    Tanti menganggukkan kepalanya perlahan. Ia bisa memahami perasaan gadis di hadapannya dan memaklumi kalau Windy lebih memilih memanjangkan poninya.
    "Sekarang saya harus bagaimana, Kak? Apalagi di sekolah saya sekarang wajib memakai jepit rambut bagi yang berponi. Saya tidak bisa lagi menyembunyikannya," keluh Windy.
    Tanti mereguk minumannya sebelum menjawab, "Windy," ujarnya perlahan, "Terima kasih sudah bercerita. Kakak turut prihatin," lanjutnya, "Tidak mudah menerima situasi terluka dan bukan kita penyebabnya. Dan itu persis yang juga Kakak alami."
    Windy mengangkat wajah. Matanya menatap teman bicara dengan sorot bertanya.
    Paham atas kebingungan Windy, Tanti menggeser kursi, mengeluarkan kaki dari bawah meja dan melepas sepatu yang dipakainya. Dan Windy pun terkesiap. Jari-jari kaki Tanti tidak utuh. Dua jari tidak ada.
    "Sama seperti yang kamu alami. Ini juga tentu saja bukan karena ulah Kakak. Seseorang menabrak Kakak," Kak Tanti menjelaskan. Ia mengenakan lagi sepatunya.
    "Orang bertanya, apakah Kakak menerima kondisi ini dan memaafkan penabrak itu? Jujur Kakak katakan perlu proses yang tidak mudah dan waktu tidak sedikit untuk menerimanya. Sampai pada satu titik, Kakak berhasil melepaskan kemarahan dan kesedihan Kakak dan Kakak merasa bebas. Alhasil Ketika kakak mesti tidak bersepatu dan menampakkan jari-jari kaki yang tidak lengkap, kalaupun ada yang bertanya, ya... kakak bawa ke candaan, digondol maling." Seulas senyum tipis mengembang di bibir Kak Tanti.
    "Situasi kita ada kemiripan sekalipun  Kak Tanti bisa memahami situasi yang lebih membebanimu. Bekas luka itu di kening. Hanya, Kakak kok yakin, entah kapan, kamu akan sampai pada titik kebebasan tersebut ketika kamu belajar menerima situasi ini dengan lapang dada."
    Tatapan Tanti menyapu wajah Windy. Ia membiarkan keheningan membantu Windy mencerna kata-katanya.
    "Terlepas ketika ada orang yang berkomentar atau dengan sorot matanya bertanya-tanya," lanjutnya, "Kamu bisa memberikan reaksi yang lebih positif dan menguatkan. Seperti Kakak contohnya, alih-alih berkubang dalam kesedihan, Kakak malah bercanda. Kamu juga bisa lakukan hal yang sama, bahwa anggaplah kamu itu Harry Potter, bekas luka itu karena Voldemort. Kadang candaan membuat sesuatu hal menjadi ringan."
    Windy mengangguk pelan. Benaknya mencoba mencerna nasihat Kak Windy. Tatapan gadis itu tertuju pada sedotan di gelas yang sedang dimainkannya ketika telinganya mendengar panggilan.
    "Sore Bu Tanti."
    Windy mengalihkan pandangan dan sontak raut wajahnya berubah. Tangan kirinya refleks menyeka kening dan membiarkan poni menutupinya. Pegangannya pada gelas mengencang. Pun anak muda yang menyapa Kak Tanti tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
    "Wi... Windy?" tanyanya tergagap.
    Windy tidak menjawab. Pandangan penuh tanya beralih pada Tanti yang nampak heran.
    "Arlan? Lho, kamu kenal Windy?" tanyanya seraya mengalihkan pandangan antara Windy dan Arlan.
                                                                     ***
    "Setan apa yang merasukiku hingga aku tidak menggunakan otakku!" pikiran buruk itu kerapkali menghantui Arlan, menjadi mimpi buruknya.    Â
    Wajah bersimbah darah Windy dan jeritan ngeri teman-temannya terngiang, tidak pernah hilang dari pendengarannya. Pun parut di kening gadis itu, jadi penanda keisengannya yang berbuah luka bagi banyak pihak, terutama Windy. Seutas tali yang ia ikatkan di dua bangku ternyata berakibat fatal. Alih-alih gelak tawa menertawakan temannya yang tersandung, kecaman yang Arlan dapatkan. Tidak semata dari  guru dan teman sekelas, tapi juga orang tuanya. Ibu yang selama ini begitu perhatian marah semarah-marahnya, menangis dan menceramahinya dengan ujaran-ujaran kekecewaan dan kesedihan. Ayahnya yang berpembawaan lebih  tenang tidak banyak bersuara dan justru dalam kediamannya Arlan lebih merasa bersalah. Sampai akhirnya ayahnya mengatakan tidak habis pikir dengan keisengannya sehingga membuat Windy terjerembab dan wajahnya  terbentur keras ke sudut lemari. Arlan merasakan kekecewaan mendalam dalam suaranya. Wajah orang tuanya yang menampakkan sudah tidak punya muka di hadapan orang tua Windy, meminta maaf dan terdiam ketika dianggap tidak bisa mendidik anak menggedor rasa bersalahnya.
                                                                      ***
     "Win..windy?" Arlan tergagap menyebut nama itu. Tidak ia duga gadis itu bersama Bu Tanti. Dan entah keberanian dari mana, tangannya menangkap pergelangan tangan Windy yang beranjak dari duduknya hendak pergi.
    "Win.. tunggu! Win.." ujar Arlan. Ia tak memedulikan Windy yang berontak, berusaha melepaskan pegangan Arlan. Arlan semakin mengeraskan pegangannya. Windy luluh ketika tangan Tanti merengkuh bahunya. Ia terisak di pelukannya.
    Pegangan Arlan terlepas. Matanya nanar menatap Windy yang terduduk. Rahangnya mengeras. Matanya mengerjap mencegah mata berkaca-kacanya melelehkan air mata.  Hening. Windy, Arlan dan Tanti berkecamuk dengan pikirannya.
    Perempuan yang disapa ibu oleh Arlan mengeluarkan tissue dan memberikannya pada Windy dan Arlan.
    "Kak Tanti tidak tahu kalian saling mengenal," ujarnya memecah kebisuan. Tatapannya lembut menyapu wajah Windy. "Entah ada apa di antara kalian," lanjutnya, "Tapi sepertinya kejadiannya sangat istimewa." Pandangannya beralih pada Arlan.
    "Siapa sangka kita bisa bertemu di sini, Arlan," katanya. Anak muda itu menunduk.
    "Sekiranya tidak keberatan, mungkin ada yang bisa bercerita," kata Tanti seraya membagi pandangan. Windy mendongak bertemu pandang dengan perempuan di hadapannya sebelum menunduk kembali.
    "Arlan itu murid Kak Tanti." Tanti menjelaskan, menangkap tanya di pandangan Windy.
    "Ternyata Kak Tanti mengenal kalian dengan cara berbeda. Dan Windy adalah anggota Bina Iman Remaja. Ibu pembinanya," jelasnya pada Arlan.
    "Baiklah, mungkin panggil Kak Tanti saja ya," lanjutnya seraya membagi pandangan ke kedua anak muda itu.
    Arlan mengangkat mukanya. Matanya menatap gurunya lantas melirik Windy, "Sebenarnya.. sebenarnya semua bermula dari kesalahan besar saya," katanya terbata.
    "Bu.. hmm Kak Tanti mungkin masih ingat pertanyaan di kelas BK tentang pengalaman paling menyedihkan. Saya saat itu tidak menuliskan apapun. Tidak lantas saya tidak punya pengalaman, sebaliknya pengalaman itu sangat berbekas sehingga saya tidak siap dan berani berbagi." Arlan terdiam. Wajahnya sedih. Ia kembali menunduk. Tanti tak berkomentar, menunggu Arlan melanjutkan ceritanya. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi, mengalirlah cerita dari mulut anak muda itu. Cerita dengan detil peristiwa sebagaimana yang diungkapkan Windy.
Dalam beberapa kesempatan Tanti mengernyitkan kening, menggelengkan kepala, dan menganggukkan kepala sebagai tanda perhatiannya pada cerita Arlan. Sesekali pandangannya terbagi pada sosok Windy.
    "Sampai sekarang rasa bersalah itu terus menghantui," ungkap Arlan dengan suara bergetar. "Sekalipun saya memutuskan untuk pindah sekolah,  dengan resiko kehilangan beasiswa. Tapi.. peristiwa itu tidak benar-benar menjauh. Dan entah itu sampai kapan," keluhnya. Matanya melirik Windy.
    Suasana membisu. Pandangan Tanti menerawang membayangkan peristiwa yang dialami dua anak muda di dekatnya.
    "Tiap kali melihat Windy meraba keningnya, bekas luka itu, tiap kali itu pula, rasa bersalah membelit perasaan saya. Saya mencoba berdamai dengan peristiwa itu. Tapi..." Arlan menghentikan ucapannya. Tangannya menyeka matanya yang berair.
    "Kak Tanti  bisa memahami perasaanmu," ujar Tanti pelan, "Tentu peristiwa yang sangat tidak mudah untuk kalian berdua. Saat itu kalian berdua sekelas, ya?" tanyanya. Arlan mengangguk lemah.
    "Kalau boleh Kak Tanti bertanya, apakah.. apakah Arlan sudah berdamai dengan Windy?" tanya Kak Tanti.
   Arlan menoleh pada Windy yang tidak memberikan reaksi apapun. Arlan mengangguk.
   "Tapi memang situasinya tidak sama lagi seperti sebelum kejadian. Dan saya bisa memakluminya. Saya sangat paham kalau Windy menghindari saya." ujar Arlan pelan.
   Pandangan Kak Tanti beralih pada Windy. Gadis itu tidak menampakkan reaksi apapun. Wajahnya menunduk. Tangannya memilin-milin tissue yang dipegangnya. Pembina bina iman itu turut bersimpati dengan Windy pun iba dengan kondisi yang dirasakan Arlan. Pertemuan tidak diduga sore ini membersitkan tanya, apa gerangan yang ia bisa lakukan. Dalam keheningan samar Tanti mendengar suara hatinya mengingatkan untuk berdoa.
   "Kak Tanti sangat tidak menduga pertemuan ini," katanya, "Kak Tanti dan Windy memang ada janji bertemu di sini. Tidak disangka malah bertemu dengan kamu, Arlan."
   "Saya janji sama teman. Cuman dia tidak jadi datang. Melihat Kak Tanti di sini.. malah..." mata Arlan melirik pada Windy.
   "Itu yang Kak Tanti renungkan. Mendengarkan ceritamu Arlan, dan cerita Windy, ya, sebelum kamu datang Windy bercerita juga tentang bekas luka itu," ungkap Kak Tanti melihat sorot mata Arlan,
   "Sepertinya pertemuan ini bukan suatu kebetulan. Kalian, dulu satu sekolahan, sekelas malahan. Lantas ada kejadian yang sangat membekas sampai sekarang. Lulus SMP kamu memutuskan pindah karena rasa bersalahmu. Kak Tanti merasa...pertemuan sore ini, pasti ada maksud. Entah apakah kalian sepemikiran dengan Kak Tanti." Tanti menghentikan kata-katanya. Pandangannya berbagi antara Arlan dan Windy.
   "Kita tidak bisa seratus persen menghapus kenangan itu. Tapi mengurangi pengaruhnya, bukan suatu hal yang mustahil. Justru itulah yang akan membantu kita melangkah lebih ringan ke depannya." Tanti sengaja melambatkan ucapannya dan memberi penekanan pada setiap kata. Matanya tak henti beralih pandangan ke Windy dan Arlan. Keduanya tepekur. Tanti tidak bisa memastikan apa yang berkecamuk dalam pikiran mereka.
    Sayup lagu mengalun dari dalam pusat perbelanjaan, menyelinap di pendengaran Tanti.
Â
Time will heal my heart
When I have to depart
The misery I say good bye
    "Semoga itu yang terjadi pada mereka," pikirnya, "I pray for you Windy, Arlan," bisiknya dalam hati, Ia  menarik nafas panjang. Pandangannya beralih pada  langit sore yang beranjak kelam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H