Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sosok Karismatik Banal Kita

26 November 2020   00:28 Diperbarui: 29 November 2020   16:40 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu kolumnis menuliskan sosok yang baru-baru ini menjadi primadona pemberitaan. Diulas bahwa yang bersangkutan bisa jadi mengikut premis mantan petinggi negeri ini yang mengatakan adanya kekosongan kepemimpinan. Kekosongan kepemimpinan ini, lanjutnya, ditengarai salah satunya dikarenakan semakin berjaraknya umat masyarakat dengan para pemimpinnya. 

Dalam kekosongan inilah sosok ini ibarat figur yang seolah-olah periuk bertemu denga tutupnya. Artikulasi dari sosok ini mengisi relung-relung kehampaan mereka yang lantas menyanjung dan bahkan memuja yang bersangkutan sebagai sosok penyelamat, terlepas dari kontroversi sang sosok. 

Situasinya tentu tidak sesederhana sebagaimana cuplikan di atas. Bahwa ada sosok yang mampu menggerakkan massa dari berbagai tempat dan seperti tersihir dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya menjadi realitas yang tidak bisa dipungkiri. Dari sudut pandang kepemimpinan, sosok seperti ini identik sebagai sosok karismatik. 

Kekuatannya terletak pada kemampuan menonjolkan karisma pribadi untuk mendorong orang lain mengabdi dan menjadi pengikut setia. Salah satu karisma yang menonjol dari kepemimpinan ini adalah kemampuan orasi yang menguras dan memeras emosi sehingga pengikutnya dikondisikan pada 'kehampaan' atas kemandirian rasionalitas berpikir dan lantas terisi dengan pesan-pesan sang pemimpin.

Maka, menjadi perhatian serius ketika sosok pemimpin karismatik muncul, apakah narasi-narasinya mengarah pada kemaslahatan bersama atau sebaliknya justru orasi-orasi sang pemimpin mengarah pada banalitas di luar nalar yang memecah belah. 

Berkaca dari salah satu sosok karismatik dunia - Martin Luther King Jr.-, sosok ini mewakili seorang pemimpin yang mampu menggerakkan massa untuk terlibat dalam gerakkan tanpa kekerasan dalam rangka mendorong kesetaraan hak-hak sipil antara kulit putih dan kulit hitam. Dibesarkan dalam keluarga kristen yang taat, Martin Luther Jr, sempat berpikiran untuk membenci semua kulit putih karena perlakuan mereka terhadap kulit hitam sampai ayahnya menegur dan mengingatkannya untuk mencintai semua orang. 

Situasi keluarga dan lingkungan dia dibesarkan membentuk Martin Luther King Jr. yang visioner, berkepribadian kuat, rendah hati, mau mengambil resiko, menjadi agen perubahan dan pantang menyerah. 

Orasi-orasinya yang menggetarkan tidak lantas memprovokasi pengikutnya untuk memecah belah, namun berjuang tanpa kekerasan (non violence) sebagaimana diinspirasi dari Mahatma Gandhi, bapak bangsa India yang beragama Hindu. 

'I have a dream' adalah cuplikan orasinya yang sangat terkenal dan menginspirasi banyak pihak termasuk simpatisan dari kaum kulit putih yang menyadari kesalahan sejarah dan sistem masyarakat. Sekalipun hidup pemimpin legendaris ini terhenti di usia 39 tahun karena penembakan, sosok Martin Luther King Jr. dikenang sebagai pahlawan pemersatu bangsa dan bangsa Amerika tidak melupakan jasa-jasanya dengan salah satunya menjadikan 1 hari dalam setahun sebagai Martin Luther King Jr. Day sebagai  bentuk penghormatan. Kesetaraan hak-hak sipil antara kulit putih dan kulit hitam sebagaimana diimpikan oleh sang karismatik ini dirasakan oleh generasi sekarang sekalipun sisa-sisa segregasi itu tidak 100 persen hilang.

Bagaimana kalau situasi sebaliknya justu yang terjadi? Pemimpin karismatik menggunakan karismanya dengan banalitas untuk outlet ambisi-ambisi  dengan cara-cara yang melegalkan kekerasan yang nampak pada orasi-orasi yang memecah belah dan memunculkan 'fear' - ketakutan. Orasi-orasi seperti inipun tentu tanpa maksud. 

Ungkapan-ungkapan yang menampakkan banalitas  pertama-tama dimaksudkan untuk mengobarkan insting manusia dan hakekat kehendak daging manusia yang bersifat ego komunal duniawi. Hakekat kehendak daging ini bertolak belakang dengan kehendak Roh yang dalam berbagai aliran kepercayaan menuntun manusia pada perdamaian dan kebermanfaatan bagi yang lain.  Pada kenyataannya, pemimpin karismatik ulung  justru mampu membungkus kehendak daging seolah-olah sebagai kehendak Roh dalam kemasan jargon-jargon yang menjadi mantra bagi para pengikutnya dan menjadi ikatan  kerinduan mereka kepada pemimpinnya. 

Sekiranya narasi-narasi karismatik banal ini hanya semata ujaran tak bermakna, maka tentu tidak perlu ada yang dikuatirkan. Menjadi masalah ketika jargon ini memicu pergeseran perilaku para pengikutnya menjadi pribadi-pribadi yang ekslusif, diskriminatif, abai terhadap ketentuan umum yang berlaku dan terburuknya melakukan cara apapun dalam rangka mengkonkritkan amanat mantra sang karismatik yang mereka dengar. Maka, mengharapkan karismatik banal ini akan memberikan dampak seperti yang ditunjukkan oleh Martin Luther King Jr., nampaknya jauh panggang dari api. Bukannya menjadi berkah, bisa-bisa karismatik banal menjadi sumber masalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun