Dalam pemanfaatan pulau, khususnya pariwisata di Indonesia, kita harus menyadari bahwa investasi terbanyak dilakukan `orang asing' (baca: modal asing), misalnya yang sedang berkembang sekarang di Kepulauan Raja Ampat, kawasan Sumatra seperti di Kepulauan Mentawai dan Nias, serta yang telah lama berkembang di Bali, Lombok, dan Kepulauan Riau.
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dapat dilakukan dalam rangka penanaman modal asing dengan mendapat izin menteri kelautan dan perikanan. Izin penanaman modal asing dalam pemanfaatan pulau juga harus mengutamakan kepentingan nasional. Maka, rekomendasi dari bupati atau wali kota sebagai pihak yang lebih mengetahui kondisi di daerahnya merupakan hal yang wajib.
Perubahan UU No 1 Tahun 2014 juga mengatur kaidahkaidah penanaman modal asing yang harus menjadi perhatian dalam pemanfaatan dengan memenuhi persyaratan untuk memperoleh izin, seperti merupakan badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, menjamin akses publik, tidak berpenduduk, belum ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal, dapat juga bekerja sama dengan peserta Indonesia, dan menerapkan alih teknologi.
Selain itu, tetap harus memperhatikan aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan, serta hal penting ialah melakukan pengalihan saham secara bertahap kepada pelaku usaha Indonesia.
Penanaman modal asing bukanlah hal `asing' di Indonesia, seperti yang telah diatur dalam UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Pengaturan modal asing mendorong pemanfaatan berkelanjutan di pulau kecil serta memberikan jaminan kepastian hukum kepada investor asing ataupun lokal. Fenomena pengembangan wisata homestay oleh penduduk lokal di pulau kecil telah semakin berkembang, misalnya di Raja Ampat.
Hak akan tanah air
Bagaimana jika orang asing memanfaatkan tanah di pulaupulau kecil? Peraturan Pemerintah (PP) No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah sudah jelas mengatur siapa yang mempunyai hak. Hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) hanya dapat diberikan kepada WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, sedangkan orang asing yang berkedudukan di Indonesia dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia hanya diberikan hak pakai. Dengan demikian, orang asing tidak mungkin membeli pulau.
Pemerintah menegaskan tidak ada praktik penjualan pulau kepada pihak asing, yang ada hanyalah promosi pulau dilakukan individu atau pihak asing. Beberapa kasus yang sering digunakan ialah transaksi terkait dengan HGB sehingga yang dijual bukan merupakan pulaunya, melainkan lahan akan tanah di dalam pulau kecil tersebut. Beberapa kasus yang juga terjadi yaitu orang asing yang menikah dengan orang berkewarganegaraan Indonesia, misalnya bersuamikan orang asing yang memiliki modal. Kemudian segala hal yang berhubungan dengan perizinan dilakukan atas nama istrinya, sedangkan suaminya berperan mengelola pulau kecil tersebut sebagai lokasi wisata.
Namun, teknik marketing melalui iklan media cetak/elektronik sering digunakan agen investasi atau pihak-pihak tertentu untuk mempromosikan iklan suatu pulau agar diminati investor asing.
Di sisi lain, bangsa Indonesia memiliki jiwa kebangsaan yang besar terhadap bangsanya jika ada pihak asing mencaplok wilayahnya. Jadi di satu pihak kita harus merasa bangga terhadap besarnya perhatian media mem-blow up isu penjualan pulau, yang mengakibatkan pulau-pulau kecil di Nusantara menjadi pusat perhatian seluruh bangsa Indonesia untuk selalu dijaga dan dimanfaatkan potensinya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat