reklamasi pantai utara jakarta, ekbis.rmol.co.
Bicara mengenai reklamasi berbicara mengenai upaya pembenahan secara berkelanjutan terhadap suatu hal yang terjadi didalam pembangunan karena secara definisi reklamasi merupakan upaya melakukan perbaikan sesuatu yang telah rusak. Dan jika itu dikaitkan dengan lingkungan maka reklamasi merupakan upaya memanfaatkan lahan atau kawasan yang sudah tidak bermanfaat atau masih kosong dan berair menjadi lahan yang berguna dengan cara dikeringkan. Biasanya reklamasi dapat dilakukan untuk kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, atau di danau.
Bila reklamasi mau ditarik secara nilai ekonomis didalam pembangunan yang keberlanjutan maka reklamasi dapat membawa keuntungan dan bahkan kerugian didalam pembangunan. Keuntungan reklamasi secara pembangunan berkelanjutan ialah sebagai berikut: [1] Membantu negara/kota dalam rangka penyediaan lahan untuk berbagai keperluan termasuk pemekaran kota, [2] penataan daerah pantai, [3] pengembangan wisata bahari, [4] Dan lain-lain. Sedangkan kerugian reklamasi didalam pembangunan berkelanjutan dikarenakan adanya intervensi dari manusia yang berdampak pada ketidakseimbangan lingkungan alamiah.
Akan tetapi saat ini di Jakarta ternyata reklamasi justru menjadi masalah dikarenakan terjadi perbedaan orientasi nilai antar stakeholder kebijakan didalam pelaksanaannya. Perbedaan orientasi nilai tersebut terjadi antara:
- Ahok dengan Jokowi
- Walhi dengan Korporasi dan Ahok
- Ahok dengan Rizal Ramli
- Ahok dengan Mahfud MD
- dll
Hal ini dapat dibuktikan melalui argumentasi dari para stakeholder kebijakan sebagai berikut:
Joko Widodo
“Reklamasi pantai utara Jakarta sudah habis batas izinnya pada pertengahan tahun 2013, reklamasi pantai utara Jakarta tidak boleh membebani APBD mengingat biaya yang digelontorkan untuk proyek reklamasi pantai utara Jakarta itu sangat besar, dan reklamasi pantai utara Jakarta butuh kajian lebih mendalam dikarenakan rencana dari reklamasi akan menyediakan: tenaga kerja sebanyak 500.000 orang, 1 miliar meter kubik air bersih, dan menyediakan sejumlah infrastruktur seperti bandar udara dan pelabuhan yang baru. Artinya, Jokowi ingin proyek berpihak kepada rakyat, bukan developer"
WALHI
"Proyek reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta merupakan bukti bahwa negara dilecehkan oleh Korporasi. Pasalnya, pemerintah melalui Kementerian Koordinator [Kemenko] bidang Kemaritiman telah memutuskan untuk membekukan sementara proyek tersebut, namun hingga saat ini perusahaan melakukan pengerukan pasir di pesisir utara Jakarta tersebut. Dan pendapat Walhi selanjutnya bahwa DPRD DKI Jakarta sudah memberhentikan pembahasan izin zonasi, KLH sedang melakukan investigasi, dan Menko Maritim serta Wapres sudah memberhentikan reklamasi. Ketika sudah dikatakan stop, tapi perusahaan atas izin gubernur DKI tetap melakukan pencurian pasir, ini kesalahan besar. Negara dilecehkan oleh Korporasi”.
Rizal Ramli
“Dihentikannya reklamasi Pantai Utara Jakarta tersebut lantaran proyek tersebut masih belum memenuhi unsur dalam Undang-undang (UU) Nomor 27 tahun 2007, UU Nomor 26 tahun 2007, dan Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012. Dan pada dasarnya reklamasi adalah proyek yang banyak terjadi di seluruh dunia. Namun, harus memenuhi tiga objektif, yaitu kepentingan rakyat, kepentingan negara dan kepentingan bisnis”.
Ahok
“Reklamasi nantinya akan menjadi hal yang biasa dan lumrah dilakukan, karena seiring dengan pertumbuhan serta lonjakan jumlah manusia, kebutuhan akan lahan pun akan semakin meningkat. Dan ada analisa mengenai dunia pada 40 tahun mendatang, jadi kalau tidak mau dilakukan reklamasi akan banyak terjadi musibah kelaparan akibat lonjakan jumlah penduduk, dan lahan tidak cukup. Sementara itu, sesuai dengan kepres Nomor 52 Tahun 1995, Pemerintah pusat sudah mengeluarkan izin untuk melakukan proyek reklamasi. Kemudian, aturan tersebut diperbaharui oleh aturan yang lain. Yakni Peraturan Presiden No. 122 Tahun 2012. Selanjutnya saya juga sudah memberikan izin melalui surat keputusan gubernur bagi para pengembang. Salah satu izin yang saya maksud adalah SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2268 Tahun 2015 mengenai pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F kepada PT Jakarta Propertindo".
Mahfud MD
“Kepres Nomor 52 Tahun 1995 sedianya tidak lagi berlaku karena sudah digantikan dengan peraturan yang lebih baru. Kepres yang ada sebelum tahun 2000 dan sebelum amandemen UUD’45 sejajar dengan perpres sesudah tahun 2000. Karena kedudukannya sejajar, setelah ada perpres, peraturan yang lama dicabut, dan tidak berlaku lagi. Mengenai adanya tiga aturan terkait reklamasi, Mahfud MD juga menilai bahwa aturan yang berlaku adalah perpres yang terbaru, yakni Perpres Nomor 122 Tahun 2012. Berdasarkan Pasal 16 perpres tersebut, menteri disebut sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada kawasan strategis nasional tertentu, kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah pusat".
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa inti dari cerita diatas tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta sebenarnya berkutat pada konflik nilai yang terjadi antara pemangku kebijakan.
Perlu diketahui bahwa nilai-nilai yang ada didalam kebijakan publik terdapat pada good governance, yaitu: 1. Performing Governance (Efisiensi dan Efektifitas), 2. Proper Governance (Integritas, keadilan,kesetaraan, dan kepatuhan terhadap hukum), Dan 3. Responsive Governance (Partisipasi, transparansi, legitimasi, dan akuntabilitas) [Lele dalam Fisipol UGM, 2016:7].
Ahok sebagai inisiator dari proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta sangat dipengaruhi oleh nilai Proper Governance khususnya nilai keadilan karena dia memikirkan nasib rakyatnya 40 tahun kedepan untuk hidup yang lebih baik. Sementara Jokowi, WALHI, Mahfud MD, dan Rizal Ramli dipengaruhi oleh nilai Performing Governance, dan nilai Proper Governance, khususnya nilai efisiensi dan efektifitas, dan nilai kepatuhan terhadap hukum. Sedangkan Korporasi dipengaruhi oleh nilai Responsive Governance, khususnya nilai legitimasi untuk menjalankan proyek reklamasi sebagai kontraktor. Dengan adanya perbedaan nilai dari para stakeholders kebijakan tersebut maka tampaklah dalam rencana perwujudan proyek reklamasi pantai utara jakarta telah terjadi konflik nilai didalamnya.
Dan menurut saya jika didasarkan pada nilai-nilai yang mempengaruhi antara Ahok, Jokowi, Rizal Ramli, WALHI, Mahfud MD, dan Korporasi maka langkah Ahok sudah tepat karena sudah sesuai dengan tujuan reklamasi dan bersifat jangka panjang, ketimbang langkah Jokowi, WALHI, Rizal Ramli, Mahfud MD, dan Korporasi yang memikirkan untung rugi, dan bersifat jangka pendek.
Catatan
1. Secara empiris, konflik telah menjadi “The Order Of The Day”. Hal ini berangkat dari watak alamiah manusia yang selalu berbeda, bahkan bertentangan, dalam memperjuangkan motif alamiah dasar: survavilitas [Fisipol UGM,2016].
2. Saya setuju dengan Lele bahwa kehadiran negara sangat diperlukan sebagai wasit yang menyiapkan atau bekerja berdasarkan “level playing field” untuk mengelola perbedaan dan pertentangan yang ada melalui berbagai instrumen otoritatifnya. Salah satu instrumen dimaksud adalah kebijakan publik [2016:1]. Menurut saya, dalam latar belakang konflik kebijakan publik dapat dipahami sebagai instrumen otoritatif untuk mengelola berbagai kepentingan sekaligus mengalokasi nilai dan atau sumberdaya terbatas.
3. Saya setuju dengan Lele bahwa kebijakan publik sering kali memicu konflik [2016:1].
Daftar Pustaka
http://www.jelasberita.com/2016/04/14/heboh-reklamasi-inilah-alasan-ahok-kenapa-ngotot-reklamasi/
http://ahok.org/berita/news/jokowi-soal-reklamasi-pantai-utara-jakarta/
http://materi-perkapalan.blogspot.com/2014/11/pengertian-dan-tujuan-reklamasi-untuk.html
Fisipol UGM, Studies. 2016. Kebijakan Publik Dan Pemerintahan Kolaboratif Isu-Isu Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Gava Media
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H