Keputusan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi sebenarnya merupakan keputusan politik yang tidak popular bagi setiap pemangku kekuasaan di Indonesia. Siapapun presidennya tetap tidak dapat mengelakkan diri dari kebijakan itu. Dari Soeharto sampai Jokowi tetap juga melakukan penyesuaian harga BBM. Dibuat dan dikeluarkannya kebijakan kenaikan harga BBM hanya sebagai wujud antisipasi atas masalah yang mungkin akan lebih pelik di hadapi Indonesia kedepannya. Sebelum melakukan kenaikan harga bbm, pemerintah pastilah melakukan ekspektasi yang didasarkan pada informasi yang tersedia baik itu informasi pasar, informasi internal pemerintah, dan bahkan informasi perkembangan internasional. Dan ekspektasi yang dilakukan pemerintah pastilah berupa ekspekstasi adaptif dan rasional dimana ekspektasi adaptif didasarkan pada masa lalu dan ekspektasi rasional didasarkan pada kemungkinan yang akan terjadi dimasa depan.
Ketika Presiden Jokowi sebelumnya menyatakan :"Pemerintah berencana menaikkan harga bensin dan solar sekitar 50 persen bulan depan untuk mengurangi defisit anggaran negara", itu karena Jokowi terlebih dahulu telah melakukan ekspektasi. Adapun ekspektasi Jokowi ialah dengan memperkirakan inflasi sebagai dampak kenaikan harga BBM ini sudah akan teredam dalam waktu dua bulan. "Perkiraan awal, dengan kenaikan Rp 2.000, perkiraan tambahan inflasi 2014 ini ada di kisaran 2 persen. Kalau baseline 5,3 persen, jadi 7,3 persen untuk (akhir) 2014. Dengan melakukan ekspektasi maka Jokowi pasti telah memikirkan bahwa jika harga BBM tidak dinaikkan maka subsidi BBM akan menyebabkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) lebih dari tiga persen (Baca: http://www.voaindonesia.com/content/presiden-jokowi-berencana-naikkan-harga-bbm-bulan-depan/2489286.html ).
Disisi lain juga dengan dinaikkannya harga bbm dikisaran Rp 7.500 untuk Solar dan Rp 8.500 untuk Premium maka jelaslah sudah bahwa harga bbm telah mencapai harga keekonomisannya (harga yang layak secara ekonomi / sesuai perkiraan atau perhitungan). Dan apabila rakyat mengharapkan harga BBM seperti dulu lagi yaitu Rp 6.500 plus bersubsidi maka niscayalah pasti terjadi penyalahgunaan penggunaan BBM bersubsidi seperti dulu lagi atau lebih besar dari sebelumnya, itu dikarenakan harganya murah.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H