Cerita ini tentang aku dan ibuku, dua pelaku dengan aku mengikut apa kata kodrat: anak, subordinat dengan kebebasan yang terbatasi. Ya, aku dipersiapkan dengan jalan demikian. Anak siapa sih yang tidak dipersiapkan dengan cara seperti ini? Pagar-pagar yang dipancang oleh ayah dan ibu, untuk aku mengerti, sehingga kelak, manakala aku mengambil alih posisi mereka, aku tahu apa yang semestinya aku lakukan pada calon anak-anakku - mengulang sejarah. Sebagai suatu daur dengan titik pangkal yang tak jelas.
Pagi itu kembali ibu memberikan apa yang tidak kusukai: ramuan. "Jangan tidak diminum." Ujarnya tegas.
Aku menatap hampa segelas cairan di depanku. Entah untuk keberapa kali aku minum cairan itu. Dengan harapan yang tidak sepenuhnya menjadi milikku. Aku tidak kuasa menolak ibuku. Menolak berarti durhaka. Demikian yang orang katakan. Surga ada di telapak kaki ibu. Karenanya aku tak diharapkan menentang keinginannya.
Akh, benarkah aku tak punya hak itu? Benarkah durhaka adanya menentang sang ibu? Kalaupun aku boleh menentang, sejauh mana aku bisa menentangnya dan tidak menghancurkan hatinya? Lantas seberapa besar nantinya durhakaku kelak? Ingin benar aku tahu jawabannya, sehinggga aku punya daya. Daya untuk membuat batas kabut antara durhaka dan tidak. Kadang aku berharap keluar dari belahan batu. Tapi, bisakah nanti aku mempunyai hati seorang ibu, yang juga berisi kelembutan? Bukankah hatiku akan pula sekeras batu kalau aku keluar dari batu?
Aku meraih gelas, kuteguk dan kutelan isinya dalam diam.
"Suatu saat, kamu akan rasakan khasiatnya. Laki-laki tidak akan lepas pandangannya dari kamu." Ibuku berkata. Aku hanya diam. Ujung mataku melirik perawakan ibu. Ada desir kecemburuan. Dan karena itu pulalah ibu memaksa ritual ini. Toh, sekalipun usaha ini menampakkan hasil, tidak lantas ibu menghentikan usahanya. Sebaliknya berbagai ramuan mengaliri kerongkonganku. Aku tak kuasa menolak. Siapa yang bisa menolak keinginannya? Ayahkupun sekalipun. Di matanya ibuku sebagai dewi. Tak ada yang bisa diperbuat kecuali mengiyakan apa yang dimauinya, termasuk membuat duplikat dirinya.
"Kamu sudah pantas memiliki pendamping." Demikian suatu kali ibu berkata. "Penampilanmu sudah tidak malu-maluin lagi."Â
"Dan rasanya kamu layak mendapatkan yang lebih... tidak seperti ibumu." Telingaku mencuat. Mataku menyelidik gambaran wajah ibuku di cermin. "Kamu harus mendapatkan lelaki jauh melebihi ayahmu." Gumamnya. Aku tercekat! Aku tidak percaya pendengaranku. Ayahku dijadikan ukuran untuk menentukan siapa pendampingku. Tak terbayangkan lelaki seperti apa yang bisa melebihi ayahku, lelaki yang mendekati kesempurnaan di mataku, kecuali ketidakberdayaannya di hadapan ibuku.
Untuk sementara waktu ibuku tidak pernah lagi mengungkit soal pendamping sampai suatu saat aku dimintanya untuk berias. Jauh dari  kegirangan aku menerima kabar akan diperkenalkan pada seseorang. Tak dapat kubayangkan seperti apa calon suamiku.
"Ini lho, yang pernah Ibu ceritakan. Pram ini putra kenalan Ibu dulu. Tidak jauh dari yang diceritakan, Â kan?" Aku menunduk. Pikirku bertanya kapan ibu menceritakan orang bernama Pram. Tapi tak kupungkiri pilihan ibu. Namun, aku gamang mendapat sorot matanya tajam menyelidik berpindah dari setiap inci tubuhku.
      "Senang akhirnya bisa bertemu." Sapaku seraya menerima jabat tangannya.
      "Sebentar, Ibu tinggal dulu, ya." Ibu melirik kepadaku. Aku tak berani menatap wajah Pram. Dari cermin tepat di seberang tempat dudukku aku bisa memastikan tatapannya yang tak lepas dari diriku.
      "E...ehem..." Ia mendehem. "Masih kuliah?" tanyanya. Aku menggeleng.
      "Sudah kerja?" tanyanya lagi
      "Dalam proses mencari." Jawabku terbata
      "Memang tidak gampang cari pekerjaan." Katanya. Aku mengangguk mengiyakan. Mulutku terbuka hendak bertanya. Namun tidak ada kata yang terujar.
      "Saat ini saya punya usaha kecil-kecilan." Kata Pram, seakan menangkap maksudku.
      "Usaha apa?" Belum sempat dijawab, ibuku memasuki ruangan
      "Maaf lho, di sini tidak ada apa-apa." Ibuku menaruh gelas air dan penganan di meja.
     Â
Ada yang berubah semenjak pertemuanku dengan Pram. Berkali ia bertandang. Tapi, masih gelap entah dia memiliki ketertarikan padaku. Ibukulah yang bersemangat. Acapkali setengah memaksa dia menuntutku untuk berias. Aku risih dan mengatakan terlalu dini untuk membicarakan menantu. Namun, ibuku malah tersinggung. "Justru kamu harus memikirkannya dari sekarang. Ibaratnya sudah mengepal emas, masa mau dilepas begitu saja?"
      "Ibu kok begitu bersemangat tentang Pram?" Aku bertanya menyelidik suatu saat.
      Ibuku menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu ini kayak tidak bisa melihat saja. Apa yang kurang dari Pram? Ganteng, sopan, punya penghasilan. Seharusnya kamu berterima kasih pada Ibu. Tetangga-tetangga berkomentar kamu beruntung."Â
      Aku tercenung, mencerna kata-kata ibuku. Lamunanku sirna ketika  rasa nyeri tak tertahankan menyerang perutku..
     "Aduh!" aku mengerang, terduduk di kursi.
      "Ada apa?" Ibu menghampiriku
      Tubuhku tiba-tiba lemas. Keringat dingin membasahi kening.
      "Sakit?" Aku tak perlu mengiyakan karena telah hilang kesadaran. Saat tersadar aku sudah di ruang UGD. Diagnosa dokter mengejutkan bahwa aku terkena batu ginjal. Tidak ada pilihan selain operasi.
      Kembali ke rumah, aku masih diharuskan beristirahat. Rumah lengang karena hanya aku dan ibuku yang ada. Suara bel berbunyi. "Ada tamu." Pikirku. Aku tak terlalu menaruh perhatian sampai samar suara yang kukenal benar. Penasaran aku bangkit. Kuraih telepon genggam yang selama ini jadi sumber hiburanku. Langkahku sebatas gerakan pelan sampai mendekati ambang pintu tengah yang setengah terbuka
      "Apa?!" Bisikku terkesiap. Serasa ada pisau menghujam ulu hatiku. Mataku nanar. Namun benakku masih jberkompromi berpikir. Dengan tangan bergetar kuarahkan telepon genggam ke ruang tamu sampai aku tidak kuat lagi menahan badanku. Kakiku limbung. Beruntung aku bisa bersandar pada dinding sebelum tertatih memasuki ruang tamu.
      Ibu mengantar tamu sampai pintu. Tatkala berbalik, keterkejutannya tidak bisa disembunyikan.
      "Ka... kamu sedang apa di sini?" tanyanya. Aku tak segera menjawab. Aku tertatih menuju kursi. Aku heran dengan ketenanganku sekalipun dadaku menggelegak seakan hendak meledak. Tidak bisa kubayangkan rona wajahku, apakah memucat atau memerah marah. Aku menatap tajam ibuku.
      "Saya yang bertanya!" Kataku
      "Maksudmu...?" Jawab Ibu pelan dengan wajah memucat. Aku tak lantas menjawab. Entah kekuatan apa yang membuatku berani menantang mata itu.
      "Tamu barusan Mas Pram, kan?" Ibuku gelagapan.
      "Emmm..." Ibuku tergagap.
      "Herannya, kok, dia tidak menjenguk saya?" Ibu mereman-remas jarinya. Gelisah. Wajah memucatnya semakin jelas.
      "Atau dia tidak peduli dengan keadaan saya?" Aku tak percaya dengan suaraku yang sinis dan sedingin es. Demikian halnya tatapanku yang bertemu dengan mata ibuku yang gelisah.
      "Atau..." aku menggigit bibir. Ada kemarahan yang berkelejat ingin menerobos bibirku.Â
      "Memang niat Mas Pram hanya untuk bermesraan dengan Ibu?" lanjutku tajam tanpa terlepas menatap Ibuku.
      Aku tak pernah melihat wajah ibu begitu pucat. Bibirnya bergetar namun tak ada kata yang keluar.
      "Saya merasa iba pada Bapak. Apa jadinya kalau Bapak tahu calon mantunya kekasih istrinya?"
      "Ratih..." Bentak Ibu  tergetar, namun berlanjut isak tangis. Jemari tangannya menutupi wajahnya. Tapi aku mencurigai isak tangisnya. Aku menyangsikan sedunya sebagai bentuk penyesalan. Dengan lunglai aku meninggalkan dia. Tak ada gambaran sang dewi yang cemerlang. Sirna terangnya, menyisakan kegelapan. Akh, haruskah aku tetap memanggilnya IBU?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H